'Freeport Gugat Pemerintah ke Arbitrase karena Merasa Sejajar'

21 Februari 2017 13:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
CEO Freeport Richard Aderkson dan Chappy Hakim. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
CEO Freeport McMoRan Inc. Richard C Adkerson masih terus bernegosiasi dan berkomunikasi dengan pemerintah Indonesia untuk mencari jalan keluar masalah yang membelit PT Freeport Indonesia (PTFI), yaitu soal perubahan Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Bila dalam 120 hari ke depan negosiasi tetap buntu, dia mengancam akan mengurangi biaya operasi, karyawan, dan bahkan mengajukan gugatan ke arbitrase.
ADVERTISEMENT
Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengungkapkan, ancaman Freeport merupakan bentuk arogansi. Hal itu dilakukan karena Freeport merasa sejajar dengan pemerintah Indonesia. Ini disebabkan karena Kontrak Karya (KK) mendudukkan pemerintah sejajar dengan Freeport.
"Secara hukum ini janggal. Apakah mungkin di era saat ini sebuah negara yang berdaulat dengan jumlah penduduk 250 juta diposisikan sejajar dengan pelaku usaha?" kata Hikmahanto melalui keterangan tertulisnya, Selasa (21/2).
Hikmahanto menegaskan, bila Freeport telah salah memposisikan pemerintah Indonesia sejajar mengingat kedudukan pemerintah ada dalam dua dimensi.
Dimensi pertama adalah pemerintah sebagai subyek hukum perdata. Pemerintah kerap memiliki posisi subyek hukum perdata dalam kegiatannya seperti melakukan pengadaan barang dan jasa. Sebagai subyek hukum perdata maka kedudukan pemerintah memang sejajar dengan pelaku usaha.
ADVERTISEMENT
Freeport Indonesia (Foto: Antara/Muhammad Adimaja)
Namun ada dimensi lain dari pemerintah yaitu sebagai subyek hukum publik. Sebagai subyek hukum publik maka posisi pemerintah berada di atas pelaku usaha dan rakyat. Fiksi hukum yang berlaku adalah ketika pemerintah membuat aturan maka semua orang dianggap tahu.
"Pemerintah memaksakan aturan untuk diberlakukan dengan penegakan hukum," tegasnya.
Lalu bila rakyat atau pelaku usaha keberatan dengan aturan yang dibuat maka mereka dapat memanfaatkan proses uji materi baik di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Mahkamah Agung (MA).
Dua dimensi ini yang dinafikan oleh Freeport melalui Kontrak Karya (KK) di mana pemerintah seolah hanya merupakan subyek hukum perdata. Tidak heran bila Freeport hendak membelenggu kedaulatan hukum negara Indonesia dengan KK. Bila demikian apa bedanya Freeport dengan VOC di zaman Belanda?
ADVERTISEMENT
"Perlu dipahami pemerintah sebagai subyek hukum perdata tetap harus tunduk pada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah sebagai subyek hukum publik," paparnya.
Oleh karenanya, KK tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1337 KUH Perdata dimana disebutkan bahwa perjanjian akan terlarang bila bertentangan dengan hukum.
Infografis Babak Baru Indonesia dan Freeport (Foto: Bagus Permadi/kumparan)