Strategi Pemerintah Genjot Pajak dari Bisnis Digital

17 Maret 2017 11:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Diskusi Perpajakan Internasional di Ditjen Pajak. (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
Pemerintah akan mengusulkan penyeimbangan hak pemajakan bisnis digital (digital economy) antar negara kepada anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Usulan ini dilayangkan karena selama ini banyak potensi pajak negara berkembang hilang dari pajak bisnis digital.
ADVERTISEMENT
Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Poltak Maruli John Liberty Hutagaol mengatakan, potensi pajak yang hilang dari bisnis digital di masing-masing negara berkembang cukup tinggi. Hilangnya potensi penerimaan di negara berkembang tersebut disebabkan oleh pemindahan penghasilan atau profit shifting bisnis digital.
Menurut John, Indonesia sebagai salah satu anggota dari the inclusive framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) telah membentuk tim kerja untuk merumuskan formula pajak bagi bisnis digital. Nantinya akan ada penelitian mengenai dampak bisnis model dan value chain yang mengikuti perkembangan teknologi informasi.
BEPS merupakan cara wajib pajak, baik pribadi ataupun badan, memanfaatkan kelemahan aturan pajak di suatu negara. Bisa dikatakan, BEPS merupakan pelarian pajak ke negara dengan tarif pajak rendah atau tax haven. 
ADVERTISEMENT
"Inclusive framework for BEPS, setiap regulator bertemu, kemarin di Paris dan Kyoto, nanti Juni kami akan ketemu di Belanda. Kami sharing motivasi sesama anggota negara untuk benahi domestic regulation untuk adopsi 15 aksi rekomendasi anti BEPS ," kata pria yang akrab disapa John tersebut di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (17/3).
Nantinya pada pertemuan tersebut, Indonesia akan menciptakan keseimbangan hak pemajakan antar negara berkembang dan negara maju terkait dengan pendapatan bisnis yang dihasilkan dari kegiatan digital economy, contohnya over the top (OTT) seperti Google, Facebook, Twitter, e-commerce, dan sebagainya.
Ilustrasi bisnis online (Foto: Thinkstock)
Sebagai gambaran, penggunaan instrumen lain untuk memajaki bisnis digital seperti yang dilakukan oleh India dan Inggris pada Google. Pemerintah Inggris misalnya membentuk peraturan perpajakan jenis baru, yakni diverted profit tax (DPT) atau yang dikenal secara internasional "Google Tax."
ADVERTISEMENT
Pajak tersebut merupakan pajak agresif sebesar 25 persen dari keuntungan perusahaan yang belum berwujud Bentuk Usaha Tetap (BUT), bila terbukti keuntungannya dibawa ke negara lain yang pajaknya lebih rendah.
Sebelumnya, John pernah mengatakan salah satu aksi rekomendasi anti BEPS adalah ekonomi digital (digital economy). Yaitu untuk mengatasi isu-isu digital, khususnya mengidentifikasi aturan perpajakan tertentu yang sesuai dengan bisnis digital. 
Ia juga mengatakan, Indonesia akan menciptakan keseimbangan hak pemajakan antarnegara berkembang dan negara maju terkait pendapatan bisnis yang dihasilkan dari kegiatan bisnis digital, seperti e-commerce, perusahaan over the top (OTT) yaitu Google, Facebook, dan sebagainya. 
"Penciptaan keseimbangan pemajakan ini perlu dilakukan, kalau hal ini tidak diatasi, negara berkembang dan negara yang diperlukan tidak adil akan melakukan instrumen-instrumen lain untuk bisa memakai bisnis digital," ujar John di Gedung Ikatan Akuntansi Indonesia, Jakarta, Kamis lalu (2/2). 
ADVERTISEMENT
Sebagai gambaran, risiko pajak yang terjadi akibat profit shifting atau BEPS totalnya sebesar 600 miliar dolar AS setiap tahun. Sedangkan khusus negara berkembang totalnya mencapai 200 miliar dolar AS. 
"2013 kami memitigasi risiko pajak yang terjadi akibat profit shifting yang kita kenal dengan BEPS, totalnya ada 600 miliar dolar AS secara dunia tiap tahunnya hilang, khusus developing country 200 miliar dolar AS. Nah penyebabnya salah satunya digital economy," pungkasnya.