Bahaya Laten Koperasi Rente

Wildanshah
Komisaris Perkumpulan Warga Muda. Direktur Utama PT Gerakan Masa Depan. CEO Gorengin. Deputi Riset dan Manajemen Pengetahuan Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation. Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia.
Konten dari Pengguna
30 September 2021 18:02 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wildanshah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bahaya Laten Koperasi Rente
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kita sama-sama tahu bahwa tidak semua koperasi di Indonesia menjalankan prinsip-prinsipnya. Ada beberapa oknum yang membuat koperasi menjadi pemburu rente.
ADVERTISEMENT
Kita dapat merujuk pada pemikiran Gordon Tullock, ia mengenalkan teori mengenai rent seeking (pemburu rente).
Menurutnya, pemburu rente adalah suatu proses dimana individu atau sebuah kelompok mencari keuntungan ekonomi dengan memanipulasi atau merekayasa politik, aturan-aturan, regulasi, tarif, kebijakan hingga alokasi anggaran negara.
Koperasi pemburu rente diisi oleh anggota-anggota yang hanya memikirkan bagaimana cara mengakumulasi kekayaan pribadi dengan menjadi parasit pada sumberdaya negara.
Sederhananya, koperasi rente merupakan bentuk persekongkolan jahat antara oknum anggota koperasi dengan oknum birokrasi (pemegang wewenang).
Persekutuan ini yang membuat sulit untuk menjinakan kepentingan pribadi di dalam agenda kolektif. Bahkan, yang sering terjadi adalah kepentingan pribadi mampu membajak agenda kolektif. Karena kepentingan pribadi tidak bisa terwujud kalau dikerjakan sendiri-sendiri.
ADVERTISEMENT
Ini seperti yang terjadi di dalam banyak kasus perburuan rente di koperasi kita. Tabiat merusak ini hadir pada enam tahap.
Tahap pertama, masih lemahnya institusi dan regulasi untuk meminimalisir celah praktik kolusi juga nepotisme baik di birokrasi level pusat maupun daerah. Tahap kedua, “koperasi rente” memperoleh sumber daya lebih banyak dari “koperasi baik”.
Tahap ketiga, “koperasi baik” merasa ia akan terus dirugikan jika tidak ikut berburu rente. Tahap keempat, semua koperasi "terdorong" mulai mencoba menjadi “koperasi rente” untuk berebut sumber daya.
Kelima, ekosistem koperasi mulai tercemar dari yang awalnya berbisnis menjadi berpolitik. Keenam, koperasi-koperasi rente mulai terfragmentasi, berkonflik dan mulai melupakan tujuan utama dalam mensejahterakan anggota juga membangun kemandirian masyarakat.
ADVERTISEMENT
Koperasi pemburu rente akan semakin banyak dalam sistem ekonomi dan politik yang eksklusif dan tidak transparan.
Hal ini terjadi karena oknum-oknum koperasi yang dekat pemegang kekuasaan menjadikan persekutuan tertutup ini sebagai “sarana bagi-bagi rejeki” antara keduabelah pihak.
Konsekuensi dari praktik curang ini adalah akan semakin banyak upaya lobi juga makin tingginya campur tangan oknum birokrasi. Para birokrat adalah manusia biasa yang juga memiliki muatan kepentingan pribadi yang bahkan seringkali tidak sejalan dengan tujuan mulia birokrasi.
Dengan demikian, campur tangan “oknum birokrasi” tidak selamanya untuk melayani para penggiat koperasi tapi bisa jadi malah digiring untuk memenuhi kepentingan individu, perusahaan, golongan atau “koperasi tertentu”.
Berangkat dari situasi buruk ini, kita harus membangun “mekanisme pengawasan” dimana setiap pihak dapat saling mengawasi dan saling menjaga dari bahaya laten koperasi rente.
ADVERTISEMENT
Namun, pertanyaan yang paling dilematis adalah siapa yang mengawasi pengawas?