Sekilas Fenomena Post-Familialism

Wildanshah
Komisaris Perkumpulan Warga Muda. Direktur Utama PT Gerakan Masa Depan. CEO Gorengin. Deputi Riset dan Manajemen Pengetahuan Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation. Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia.
Konten dari Pengguna
5 Agustus 2021 16:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wildanshah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sekilas Fenomena Post-Familialism
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sepanjang sejarah peradaban, semua bangsa memahami keluarga terdiri dari orang tua dan anak-anak yang berdiri sebagai unit sentral dari tatanan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kita mulai menyaksikan semangat norma baru dalam melihat keluarga. Generasi muda, mulai memilih untuk menikah tanpa memiliki anak atau memilih tetap hidup sendiri.
Belum lagi, maraknya kemunculan keluarga LGBTQ yang mulai diakui negara-negara seperti Agentina, Ekuador, Taiwan hingga negara-negara Eropa dan kemajuan teknologi yang memungkinkan surogasi dan bayi tabung.
Bisa dikatakan fitur keluarga tradisional di negara-negara tersebut mulai dipertanyakan oleh generasi sekarang.
Menurut artikel “The Rise of Post-Familialism: Humanity’s Future” karya Joel Kotkin, ini diakibatkan kebangkitan fenomena pasca-kekeluargaan di negara dunia yang berpanghasilan tinggi, terutama di Eropa dan Amerika, termasuk sejumlah negara Islam dan negara berkembang lainnya.
Fenomena Post-Familialism didorong oleh berbagai faktor, dan sangat tergantung dari negara dan budaya setempat. Misalnya, di negara-negara yang menganut sistem kapitalisme dan liberalisme, sering menekan individu untuk memilih antara mengejar karir atau membangun keluarga, salah satu yang paling ekstrim adalah di Jepang.
ADVERTISEMENT
Akibat dari sistem ekonomi yang berpondasi pada kompetisi tersebut mengubah pandangan para pekerja, konsumen dan bagaimana mereka memandang konsep keluarga.
Perangkat sosial baru ini menjadi lebih sekuler, mengabaikan peran agama dalam keluarga, dan bertumpu pada kebahagian individu dalam mengejar kesuksesan sosial dan ekonomi pribadi.
Perubahan tersebut, juga memperbaiki posisi perempuan modern dari sisi kesetaraan di sektor ekonomi, di tengah emansipasi perempuan, pada titik yang radikal membuat beberapa wanita modern menolak melahirkan anak dan pernikahan.
Perekonomian global yang semakin merosot akibat pandemi, juga menjadi faktor bagi pria maupun wanita untuk menunda pernikahan atau memilih hidup sendiri.
Mereka sadar, bahwa membangun keluarga membutuhkan biaya yang besar, dan pandemi semakin membuat generasi muda pesimisme untuk memiliki anak.
ADVERTISEMENT
Ahli demografi asal Austria, Wolfgang Lutz, menbaca, jika tren Post-Familialism makin masif di masa depan pada negara maju, akan terjadi pergeseran juga di masyarakat negara berkembang untuk membuat keluarga tanpa anak atau memiliki satu anak semakin menjadi pilihan dominan.
Muda-mudi yang memilih melajang dan tidak ingin mempunyai anak memiliki kecenderungan memenuhi kebutuhan jangka pendek dibandingkan menyiapkan kebutuhan keluarga yang berorientasi pada masa depan.
Industri akan mulai bergerak untuk menciptakan “masyarakat sekarang”, dengan dipermudah dengan bantuan kredit, generasi muda dibentuk untuk mengkonsumsi kebutuhan tersier jangka pendek, dengan mengorbankan kebutuhan rill mereka hari esok. Dengan demikian, konsep menyiapkan dana pensiun pun bisa jadi akan berubah total.
Dan bagi banyak masyarakat, misalnya di Indonesia, motivasi dasar bekerja keras adalah mencari nafkah untuk membangun keluarga. Tanpa dukungan keluarga atau keinginan untuk tidak membangun keluarga, bisa jadi etos kerja di masa depan akan banyak berubah jika dibandingkan pada hari ini.
ADVERTISEMENT
Dampak paling nyata dari fenomena Post-Familialism ini adalah penurunan demografis seperti yang terjadi di seluruh Eropa selatan, dan pada dekade mendatang Singapura diprediksi akan menghadapi fenomena yang sama.