Ilmuwan Sosial Kosmopolitan

Anicetus Windarto
Bekerja sebagai peneliti di Litbang Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Konten dari Pengguna
29 April 2021 10:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anicetus Windarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu maha karya terakhir dari Benedict Anderson tentang ilmuwan sosial kosmopolitan. Photo by: A. Windarto
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu maha karya terakhir dari Benedict Anderson tentang ilmuwan sosial kosmopolitan. Photo by: A. Windarto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Terkait dengan gagasan untuk mengembangkan ilmu-ilmu sosial-humaniora yang lebih memperhatikan konteks masyarakat, sosok ilmuwan sosial memang dituntut untuk hidup dan berkarya secara radikal. Dalam arti ini, ilmuwan sosial, khususnya di Asia Tenggara, diharapkan mampu untuk membongkar konsep dan teori ilmu sosialnya dengan perspektif non-Barat yang selama ini didominasi oleh pemikiran dan cara berpikir ilmuwan sosial Barat.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, apakah ilmuwan sosial non-Barat tidak sama saja dengan ilmuwan sosial Barat dalam hal menjadi “orang-orang terdidik di dalam suatu masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tak terdidik”? Jawabannya, tentulah sama. Sebab mereka sesungguhnya merupakan bagian dari kelas yang berkuasa dengan “kekuatan yang tidak diperoleh dari kemampuan menyebarkan konsep-konsep baru, melainkan karena kemampuannya untuk menembus dan melestarikan pengetahuan lama dan rahasia.” (Benedict Anderson, Kuasa-Kata. Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia, Yogyakarta: MataBangsa, 2000).
Atas dasar itu, menjadi tidak relevan lagi untuk mengoposisikan secara biner antara ilmuwan non-Barat dengan Barat, atau bahkan Asia dengan Eropa/Amerika sekalipun. Sebab keduanya sebenarnya adalah kaum penguasa yang ditandai dengan kemampuan membaca dan menulis secara rahasia dan tak terduga. Itulah mengapa hanya segelintir orang saja yang mendapat kekuasaan/kesaktian tersebut. Dalam masyarakat tradisional Jawa, hal itu disebut sebagai “kejatuhan/ketiban pulung”.
ADVERTISEMENT
Tepat di sinilah kritik yang perlu diwaspadai dengan jeli oleh para ilmuwan sosial. Bahwa kekuasaan yang diperlihatkan melalui kekuatan atas “pengetahuan lama dan rahasia” telah menutupi, menyembunyikan, dan bahkan menghilangkan kemampuan di luar tanda-tanda kepemilikan pengetahuan. Karena itulah, masyarakat yang tidak memiliki akses ke dalamnya hanya tinggal sebagai kelas yang dikuasai dalam relasi patron-klien yang kaku dan beku. Maka masuk akal jika pengetahuan cenderung hanya menghasilkan bahasa suci dan mitos-mitos yang melanggengkan pusat-pusat kekuasaan.
Sekali lagi, Benedict Anderson mencatat dalam tulisannya berjudul “Nasionalisme Indonesia Kini dan di Masa Depan” (1999) bahwa akibat dari kekuatan genggaman aksiomatis kekuasaan, termasuk yang dihasilkan oleh pengetahuan, penjajahan dipikirkan hanya dapat dilakukan oleh orang Barat kepada orang non-Barat. Padahal di Papua misalnya, tidak sedikit orang di sana yang mulai merasa bahwa mereka sedang dijajah. Itulah mengapa hingga saat ini selalu terjadi kekerasan di Papua, bahkan penolakan khususnya terhadap proyek Otsus (Otonomi Khusus) di sana.
ilustrasi pixabay.com
Kenyataan itu sesungguhnya menjadi tanda yang terang-benderang betapa kekuasaan dan pengetahuan adalah sesuatu yang bukan sekadar menerapkan ilmu politik bergaya Barat atau non-Barat. Tetapi, hal itu juga memperhitungkan peran dari luar manusiawi yang kerap kali dinyatakan melalui keajaiban, kehebatan seksualitas, dan penyamaran. Maka dalam hal ini para ilmuwan sosial perlu mengakrabi apa yang dibayangkan oleh komunitas-komunitas yang memiliki banyak kabar, pengetahuan dan pengaruh dari berbagai penjuru dunia. Dengan kemampuan menyadur, diharapkan mereka dapat mengolah dan menampilkan keterkaitan di antara komunitas-komunitas itu untuk menghasilkan suatu “proyek bersama” yang tidak membuat saling rikuh dan tidak saling mencerminkan (Siegel, 2009). Dari sanalah dapat dihadirkan komunitas dunia yang mampu berkomunikasi/berdialog secara seimbang dan sesuai dengan inspirasi serta imajinasi tentang masyarakat yang rela berkorban demi kepentingan bersama.
ADVERTISEMENT
Benedict Anderson yang dikenang sebagai acuan keilmuwanan sosial dalam Simposium "Thinking Social Science" di Shimla, India, adalah orang yang begitu mencintai nasionalisme Indonesia hingga abu dari jasadnya ditebar di perairan Laut Jawa. Tetapi, ia juga amat kagum dan bangga dengan beberapa tokoh di Filipina dan Thailand misalnya yang masih punya rasa malu ketika negara/pemerintahnya terlibat kriminalitas. Bagi dialah, “obor estafet” ilmuwan sosial kosmopolitan layak dipersembahkan.