Surat untuk Bapak dan Ibu Guru Jelang Tahun Ajaran Baru

Konten dari Pengguna
22 Juni 2021 8:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Windy Goestiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Pixabay
ADVERTISEMENT
Tidak ada sekolah seharga nyawa. Setiap orang tua pasti sepakat dengan hal itu. Terutama di masa pandemi yang tidak terlihat ujung akhirnya ini, tingginya jumlah kematian anak karena COVID-19, membuat semua pihak dilanda cemas.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan wawancara Berita Anak Surabaya dengan Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Jatim, per tanggal 14 Juni 2021, secara kumulatif terdapat 2.949 anak di Jatim yang terkonfirmasi COVID-19, dan 24 anak dinyatakan meninggal dunia.
Haruskah orang tua mengirim anak kembali ke sekolah di tengah kasus yang sedang tinggi? Ataukah orang tua harus memilih kembali tertatih dan penuh emosi mendampingi anak sekolah dari rumah sendiri?
Bukan pilihan yang mudah untuk anak. Karena kenyataannya, kasus kekerasan pada anak selama pandemi juga tinggi.
Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Juli 2020 menyebut, sebanyak 60,4% ibu melakukan kekerasan pada anak selama pandemi.
Tak cuma ibu, sosok kepercayaan di rumah seperti kakak, adik, ayah, serta kakek, nenek, saudara, bahkan tetangga juga ikut-ikutan melakukan kekerasan.
ADVERTISEMENT
Apa bentuk kekerasannya? Survei tersebut menunjukkan bahwa anak seringkali menerima tindak kekerasan dengan dicubit sebanyak 23%, dipukul 10%, dijewer 9%, dijambak 6%, didorong 6%, ditarik 5%, ditendang 4%, dikurung 4%, ditampar 3%, serta diinjak 2%.
Tidak berhenti di situ, dari survei yang melibatkan 25.164 responden anak dan 14.169 responden orang tua yang tersebar di 34 Provinsi terungkap, anak juga banyak mengalami kekerasan psikis seperti dimarahi 56%, dibandingkan dengan anak lain 34%, dibentak 23%, dipelototin 13%, dan lain-lain.
Pixabay
Pelaku kekerasan psikis tersebut secara berurutan adalah ibu 79,5%, ayah 42%, kakak atau adik 20,4%, dan lain-lain.
Anak adalah pihak yang paling dirugikan dalam hal ini. Sudah pelajaran sekolahnya susah, nilai tak boleh kalah, kalau masuk sekolah tertular corona, kalau di rumah jadi "samsak" keluarga.
ADVERTISEMENT
Bisakah kita punya sedikit empati untuk anak-anak ini? Kalau yang dewasa saja bisa terkena 'zoom fatigue' karena terlalu banyak menjalani video conference, apalagi anak-anak yang daya tahan tubuh dan penglihatannya lebih rapuh dari orang dewasa?
Belum lagi anak-anak harus mengombinasikan pembelajaran lewat siaran televisi dan tugas di Classroom atau Google Class yang kebanyakan metodenya berupa : anak diminta baca halaman tertentu - nggak ngerti maksudnya - sudah enggak ngerti, tetap diminta kerjakan tugas - nggak ada yang bisa ditanya - internet lemot - laptop panas - baterai hp drop - tugas ditunggu pak guru - tiba-tiba terlewat siaran belajar di TV - ternyata tugasnya diminta menjawab konten siaran TV tadi - belum selesai bikin tugas - sudah lelah - belum boleh istirahat - begitu terus sampai ketemu tahun ajaran baru.
ADVERTISEMENT
Apa menariknya proses belajar jika seperti itu? Saya yakin tidak akan ada anak Indonesia yang menyukai proses belajar karena bagi mereka belajar hanya tentang mengerjakan tugas dan ujian.
Afiqah Mutiara Tungga Dewi, siswi SD kelas 1 di Surabaya, bersama sang kakak sedang merawat tanaman melatinya. Foto-foto: Masruroh/Basra
Kalau begitu harus ada solusi lain. Apabila replikasi virus corona ini belum bisa ditekan dalam rentang waktu liburan sekolah anak, maka saya akan mewakili anak-anak berharap ke pihak sekolah agar lebih ramah dalam hal kurikulum, beban tugas, dan metode belajar.
Wahai pihak sekolah, bapak dan ibu guru yang saya hormati, dan mas menteri pendidikan yang saya segani, tak bisakah kita mengabaikan sejenak target kurikulum dan mulai memperhatikan kesehatan jiwa anak-anak?
Bila selama 1,5 tahun ini anak-anak sudah habis-habisan mengikuti aturan main orang dewasa, maka izinkanlah dalam 6 bulan ke depan mereka memanfaatkan tahun ajaran baru dengan metode belajar baru yang lebih menyenangkan dan lebih memanusiakan mereka.
ADVERTISEMENT
Saya ingat betul, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI telah membuat Pedoman Pembelajaran Pada Masa Pandemi COVID-19 salah satunya untuk jenjang SMP.
Ada poin penting terkait pembelajaran yang sebenarnya berpihak ke kondisi psikis anak tapi ternyata tak banyak dipraktikkan oleh pihak sekolah.
Padahal pada "Prinsip-Prinsip Belajar Dari Rumah Melalui Pembelajaran Jarak Jauh" (sesuai dengan Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 tahun 2020) poin nomor dua dan lima berbunyi, "Memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum." Sedangkan pada poin kelima berbunyi "Pilihan akivitas dan penugasan dapat bervariasi antar daerah, sekolah dan siswa, sesuai minat dan kondisi masing-masing, termasuk mempertimbangkan kesenjangan akses terhadap fasilitas."
Serta jangan lupa, Kemdikbud juga membuat Skenario ABC untuk Pembelajaran Jarak Jauh. Skenario A adalah pembelajaran lengkap, pelajaran terstruktur mengikuti kurikulum. Skenario B adalah pembelajaran lengkap, pelajaran terstruktur difokuskan pada pengetahuan dan keterampilan inti. Sedangkan Skenario C adalah konten pembelajaran dan kegiatan yang dipilih untuk membantu siswa mengatasi pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, sesungguhnya pihak sekolah punya hak untuk menyesuaikan metode belajar dan capaian belajar siswa yang fokus pada kecakapan hidup, serta keselamatan dan kesehatan lahir batin siswa. Merujuk ke Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 tahun 2020.
Tristan Kesyandria Ali Pasha pembudidaya maggot lalat Black Soldier Fly untuk olah 3,5 ton sampah organik di rumah. Foto: Windy Goestiana/Basra
Saya mewakili anak-anak yang secara fisik dan batin lelah menjalani sekolah jarak jauh mengajak Bapak Ibu guru untuk memberi kesempatan anak mengeksplorasi sembilan bentuk kecerdasan alaminya.
Dalam banyak materinya, Howard Gardner, Ph.D, pakar psikologi dari Amerika Serikat, membedakan 9 kecerdasan itu meliputi kecerdasan musikal, naturalis, linguistik, interpersonal, intrapersonal, visual spasial, logika matematika, kinestetik, dan kecerdasan moral.
Saya membayangkan, alangkah bahagia anak-anak yang senang bermusik diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam bernyanyi, memainkan alat musik, atau membuat bunyi-bunyian unik dari peralatan sederhana.
ADVERTISEMENT
Saya membayangkan, betapa asyik melihat anak-anak belajar 'critical thinking' melalui analisa sederhana tentang digital crime atau cyberbullying di dunia maya sehingga mereka bisa melindungi diri.
Saya membayangkan, keren sekali kalau setiap minggu anak-anak diajak membuat percobaan-percobaan sederhana untuk belajar tentang sains. Anak bereksplorasi, kemampuan nalarnya berkembang pesat, dan jadi kecanduan dengan ilmu pengetahuan. Karena itu semua dilakukan tanpa beban dan asyik.
Saya membayangkan, anak-anak di Papua, Aceh, Sulawesi, bahkan di Jepara bisa bertukar cerita tentang permainan daerah mereka, kuliner khas, aktivitas masyarakat, kondisi sekolah, dan masih banyak lainnya.
Bahkan anak-anak bisa membuat project lingkungan bernilai ekonomis yang sekaligus mengajarkan mereka tentang alam, keuangan, hitung-menghitung, potensi alam, dan mengembangkan kemampuan menulis.
ADVERTISEMENT
Contohnya seperti ini :
Sekolah seharusnya seasyik itu Bapak, Ibu. Anak-anak dimanapun berada, mereka berhak mendapatkannya.