Pentingnya Kesehatan Keuangan Klub Jelang Lanjutan Liga Indonesia

Wis Widadi
Suporter Bola Biasa
Konten dari Pengguna
10 Juni 2020 13:41 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wis Widadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana pembukaan kompetisi Sepak Bola Liga 1 Indonesia 2020 di Gelora Bung Tomo (GBT), Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (29/2). Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pembukaan kompetisi Sepak Bola Liga 1 Indonesia 2020 di Gelora Bung Tomo (GBT), Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (29/2). Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Selain kesehatan pemain, jelang kompetisi new normal lanjutan liga Indonesia, Kesehatan Klub khususnya keuangan juga menjadi penting diperhatikan PSSI. Menjelang lanjutan kompetisi, disinyalir sebagian besar klub liga 1 dan liga 2 dalam kondisi keuangan yang kurang sehat.
ADVERTISEMENT
Presiden Persiba Balikpapan, Liga 2, yang juga mantan Direktur Persija, Gede Widiade menyatakan,” Petakan dulu kemampuan finansial klub. Kalau mampu ya lanjutkan. Kalau tidak jangan dipaksakan daripada berhenti tengah jalan”, Kepada Kumparan (9/6).
Sebelum jauh melihat kondisi klub Indonesia, sebagai cerminan, mari kita lihat kondisi keuangan klub eropa yang memang dikelola secara profesional dan orientasi bisnis. Orientasi pengelolaan bisnis klub di eropa dapat dilihat dari posisi mereka yang sudah masuk pasar modal. Seperti perusahaan umum lainya, industri, jasa dan energi. Sepakbola di eropa juga menjadi entitas yang diperdagangkan.
Salah satu syarat masuk bursa pasar modal yaitu dengan klub yang transparan, akuntabel, diaudit oleh auditor keuangan yang kredibel. Dari data inilah kita dapat melihat kinerja keuangan sebuah klub sepakbola. Mari kita lihat dalam laporan keuangan yang disusun oleh auditor dan konsultan keuangan kredibel di dunia olahraga khususnya sepakbola, Deloitte dan KMPG Football Benchmark. Dalam Deloitte Football Money Leauge 2020 dan Laporan KMPG The European Elite 2019 dari beberapa klub besar, kita ambil satu contoh Barcelona yang mempunyai tingkat pendapatan tertinggi sebesar 839 juta euro. Walaupun menjadi klub dengan pendapatan tertinggi, namun keuntungan klub masih kalah jauh tiga kali lipat dibandingkan dengan Manchester United, klub yang paling menguntungkan dengan surplus 171,1 juta euro, sementara barca hanya surplus 45,2 juta euro. Hal ini karena pengeluaran Barca lebih tinggi, terutama dalam hal penggajian pemain pemain bintangnya yang totalnya hampir memakan porsi 81% dari total pendapatan.
ADVERTISEMENT
Pendapatan besar Barca dari 3 komponen yaitu, 383,5 juta euro (46%) dari komersial, 298 juta euro (35%) dari hak siar dan hanya 159,2 Juta Euro (19%) dari tiket pertandingan. Pendapatan komersial terbesar tersebut dari sponsor, penjualan jersey dan dari akun sosial media Barca yang mempunyai sebaran pemasaran 103,2 juta like Facebook, dari instagram 81,7 juta follower, twitter 31,6 pengikut, Youtube 8,7 juta subscriber.
Namun saat ini, situasi berubah. Karena pandemi, potensi pendapatan Barca berkurang drastis. Mereka memangkas gaji sekitar 70 persen gaji pemain dan anggota tim pada musim 2019/2020 hingga berakhir. Dari pemain sendiri tidak ada protes karena sang Kapten dan mega bintangnya, Lionel Messi memimpin kesadaran pemotongan gaji agar karyawan tenaga kerja di Barca tetap mendapat gaji penuh. Messi menjelaskan dalam akun Instagramnya, “ Tiba saatnya mengumumkan bahwa, terlepas dari pengurangan 70 persen gaji kami selama keadaan darurat. Kami akan memberikan kontribusi sehingga karyawan klub bisa mendapatkan 100 dari gaji mereka selama situasi ini berlangsung” Ujar Messi dalam bahawa Spanyol.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi pandemi covid 19 ini, banyak klub akan merugi, Wakil kepala eksekutif Manchester United, Ed Woodward memprediksi pemasukkan terhadap klubnya akan turun 51% dari hak siar atau senilai 53,8 juta pounds. Klub London Tottenham Hotspur bahkan telah menarik utang senilai 175 juta pound atau sekitar 3,1 triliun rupiah untuk mengarungi musim ini dan membayar cicilan “KPR” stadion megahnya. Akibatnya, bintang mereka Harry Kane pun terancam di jual untuk menutupi kerugian ini. Sayangnya, karena Pandemi, nilai transfer pemain pemain akan banyak turun harga.
Bagaimana dengan kondisi klub di Indonesia? Sebelum membahas ini, ada tantangan tersendiri melihat kondisi keuangan klub di Indonesia. Secara data, keuangan klub liga Indonesia masih tertutup. Tidak dapat dilihat dan dianalisis seperti eropa. Transparansi dan akuntabilitas sangat minim, walaupun standar minimalnya harusnya ada di website klub masing masing.
ADVERTISEMENT
Hanya Bali United, klub yang memang sudah masuk bursa pasar modal Indonesia tahun 2019 lalu. Di mana untuk masuk bursa minimal klub mempunyai laporan keuangan bagus selama minimal dua tahun terakhir, dan Bali United punya itu. Dalam website www.baliutd.com dapat dilihat finansial highlight, tahun 2019 mereka mempunyai laba keuntungan sebesar Rp. 7,1 miliar naik tipis dibandingkan tahun sebelumnya Rp. 6,96 miliar.
Pendapatan Bali United tahun 2019, sebesar Rp. 72,6 miliar sedangkan pengeluaran yang didalamnya termasuk gaji pemain sebesar Rp. 65,2 miliar. Kondisi tersebut sebelum dijual ke Bursa dan mendapat suntikan modal Rp. 300 miliar, sehingga posisi Kas dan Setara Kas 2019 sebesar Rp. 306,1 miliar dibanding tahun sebelumnya hanya Rp. 3,35 miliar. Kunci peningkatan valuasi Bali United yang tidak mempunyai stadion, yaitu dengan kerjasama pihak ketiga dengan pemerintah daerah untuk mengelola stadion dalam jangka panjang. Keberhasilan ini juga yang memuluskan langkah masuknya ke bursa modal karena klub mempunyai aset dalam jangka panjang. Yang tidak lain dari kontrak jangka panjang karena klub indonesia memang tidak ada mempunyai stadion sendiri.
ADVERTISEMENT
Luar biasa valuasi Bali United, saya merasa ini prestasi tersendiri, sebuah contoh yang baik bagi sepakbola Indonesia. Sebelumnya pada tahun 2010, cita cita ini pernah di mulai oleh Liga Premier Indonesia (LPI) menuju klub profesional, di mana seluruh klub diaudit oleh Delloitt dan terlihat laporan keuangannya yang masih bergantung pada APBD.
Sejak 10 tahun lalu saat cita cita membangun bisnis di sepakbola LPI, Bali United menjadi contoh yang baik. Contoh bagi klub ataupun bagi operator PT. Liga Indonesia Baru dan PSSI. Bagaimana tidak, kita sulit mendapatkan laporan keuangan walaupun di Website PT. LIB dan PSSI.
Kembali pada bahasan utama, mari kita meraba buka bukaan isi dompet klub Indonesia jelang lanjutan kompetisi. Seperti apa kondisinya.
ADVERTISEMENT
Pertama, pendapatan klub. Kita lihat dari sisi pendapatan klub menurun. Semenjak dihentikannya kompetisi oleh PSSI dalam masa pandemi, secara otomatis juga pendapatan klub juga terhenti. Terutama dari penjual tiket penonton. Tiket penonton ini termasuk variabel terbesar dalam komponen pendapatan klub. Selain tiket penonton, penjualan marchendise juga macet, hanya sedikit melalui online. Ini dapat terlihat dari store persebaya surabaya yang nampak sepi pembeli. Dari hak siar, yang biasanya dibagi akhir kompetisi kalau di liga Indonesia, ini juga belum pasti karena tayangan televisi terhenti.
Dari sponsor tim memang biasanya masih berjalan sesuai kontrak, namun dengan kondisi seperti ini, pasti pihak sponsor juga akan mengajukan amandemen perubahan kontrak dan nominal sesuai dengan kondisi. Bagaimanapun, sponsor pasti juga menjadi entitas bisnis yang terdampak karena pandemi.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, klub pasti akan mengeluarkan kas tabungan mereka. Untuk klub yang manajemennya bagus, dengan kas yang stanby seperti Bali United hanya sedikit mengalami kesulitan. Tapi untuk klub yang belum sepenuhnya profesional, uang dari kantong pribadi pemilik pasti yang akan banyak dikuras.
Kedua, pengeluaran klub. Kompetisi berhenti, tidak ada pendapatan namun beban gaji pemain harus terus dibayarkan. PSSI sendiri telah menetapkan status force majeure dari Maret hingga Juni 2020. Selama periode tersebut klub hanya diwajibkan membayar gaji pemain dan offisial 25 persen dari nilai kontrak. Artinya jika kompetisi berjalan lagi, berarti gaji normal.
Namun, situasi tersebut akan coba diantisipasi oleh klub. Dalam beberapa rapat meeting dengan PSSI dan LIB, beberapa klub menyatakan, jika kompetisi berjalan maka PSSI perlu mengeluarkan kebijakan boleh merevisi atau kontrak ulang dengan pemain terkait gaji. Namun ada juga klub yang akan menaati kontrak awal, karena takut adanya gugatan dari para pemain, hal ini jika tidak ada keputusan dari PSSI.
ADVERTISEMENT
Cerita dari Persita Tangerang masalah gaji pemain malah lebih rendah dari aturan PSSI. Saat kompetisi dihentikan, Manejemen Persita mengambil kebijakan memotong gaji pemain hingga 90 persen. Situasi tersebut cukup viral, manajemen Persita menjelaskan kebijakan tersebut karena berkurangnya pendapatan klub saat pandemi. Manajer Tim Persita, I Nyoman Suryanthara menjelaskan, “ Bagaimanapun juga penghentian kompetisi sementara ini memang pasti berdampak kurang baik, terutama untuk pemasukan klub. Kami mau tidak mau harus menyesuaikan untuk bisa menjamin operasional tim kedepan. Jadi ini sudah kami perhitungkan secara matang”.
Dengan kondisi besarnya pengeluaran daripada pendapatan diatas menyebabkan klub kesulitan jika kompetisi dilanjutkan. Setidaknya hal tersebut tercermin dari banyaknya klub yang mengusulkan lebih baik kompetisi dihentikan. Ini wajar karena, lebih sulit mengelola klub saat situasi krisis seperti ini.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, klub menuntut janji PT LIB dan PSSI, meminta dana subsidi. Klub klub juga dalam RUPS PT. LIB bulan Mei lalu, menuntut agar dana subsidi ke Klub dicairkan. Dan memang sebagian sudah dicairkan untuk Klub Liga 1 dan Liga 2. Dan akhirnya dicairkan sebagaian, klub liga 2 sudah cair Rp. 250 juta sedangkan klub Liga 1 sebesar Rp. 509 juta.
Bahkan, jika kompetisi dilanjutkan, klub klub juga meminta nilai subsidi dinaikkan. PSSI pun terdesak dan menebar janji manis PSSI terhadap klub saat menggelar kompetisi lagi yaitu akan memberi subsidi sebesar Rp. 800 juga per klub Liga 1 dan Rp. 150 juta untuk klub Liga 2.
Rencana tersebut mendapat tanggapan pro dan kontra dari klub. Klub Liga 1, Persik Kediri, melalui Presiden Klubnya Abdul Hakim Bafagih meminta subsidi atau hak komersial klub dinaikkan menjadi Rp. 1,2 miliar – Rp. 1,5 miliar. Pertimbangan tersebut jika stadion dengan penonton dan asumsi terisi hanya setengah stadion. Sedangkan klub Liga 2 Persis Solo melalui Manajernya Hari Purnomo berharap jika tanpa penonton maka dana subdisi perlu dinaikkan dua kali lipat menjadi Rp. 2 miliar.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, banyak juga aspirasi dari klub yang relevan untuk dipikirkan PSSI, misalnya seperti usul Persik Kediri, PSSI meminta relaksasi untuk pajak di sepakbola yaitu pajak penghasilan pemain dan pelatih. Usul dari Persikabo Bogor juga menarik, dimana pembagian hak siar berdasarkan jumlah penonton sebuah klub di televisi dan media streaming lainnya. Harapannya pembagian menjadi lebih adil karena tidak ada tiket penonton. Ada juga usul Persik dan Persis Solo, tetap ada penonton dengan standar protokol kesehatan yang ketat. Usul adanya operator khusus Liga 2 juga menarik untuk kompetisi dan bisnis sepakbola di kasta kedua itu.
Jadi secara keseluruhan, memang kondisi keuangan klub cukup mengkhawatirkan untuk melanjutkan kompetisi. Jadi perlu dipikirkan bagaimana klub jangan sampai rugi saat kompetisi new normal, walaupun memang tidak untung. Minimal asal pemain dapat di gaji dan operasional klub jalan lagi. Bayangannya agar tidak gagap saat kompetisi 2021 nanti.
ADVERTISEMENT
Semoga rapat PSSI dan Exco nanti dapat mengambil keputusan yang terbaik. Jangan juga memberikan subsidi penuh ke klub karena hal tersebut tidak bagus untuk kemandirian tim. Alangkah lebih baiknya misalnya PSSI memfasilitasi sponsor sponsor untuk klub. Tidak usah gengsi dan harus besar, misalnya ada iklan UMKM, gak masalah. Selain itu, hak siar harus transparan untuk subsidi besar ke klub yang telah dijanjikan.
Dibalik kondisi ini, lagi lagi perlunya klub di kelola profesional dan bisnis orientasi. Jangan tergantung kepada pribadi pemilik klub. Sebelumnya ada peristiwa di Kalimantan, untuk menutupi gaji pemain ada pemilik klub yang mengeluarkan uang pribadi. Ini tidak baik walau terkesan simpatik. Contohlah Bali United yang minimal mereka mempunyai Kas yang lumayan tebal untuk level klub Indonesia. Karena mereka sudah menjadi perusahaan terbuka seperti klub di eropa.
ADVERTISEMENT
Semoga menjelang kompetisi bergulir, para pemain dan juga klub dalam kondisi sehat. Terutama kesehatan keuangan, agar tidak mudah disusupi mafia bola.