11 Warga Yahukimo Papua Meninggal dengan Cara Tragis

20 Oktober 2017 10:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Mayat. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mayat. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Sebanyak 11 warga Distrik Samenage, Kabupaten Yahukimo, Papua, meninggal secara tragis dan misterius pada Oktober 2017. Mereka meninggal setelah mengalami gejala rambut rontok, badan bengkak, dan kulit terkelupas.
ADVERTISEMENT
Pastor John Jonga Pr bersama masyarakat Yahukimo saat jumpa pers di Wamena, Ibu Kota Kabupaten Jayawijaya, Rabu, mengatakan sebelumnya telah dikirim kader kesehatan gereja untuk memberikan pertolongan bagi 11 orang tersebut, namun karena diagnosis pasti tidak diketahui sehingga belasan warga itu tidak dapat tertolong.
"Mulai dari Mei sampai sekarang sudah lebih dari 40, hampir 50 orang yang meninggal, karena data terakhir dalam bulan Oktober ada tambahan 11 orang. Dalam bulan Oktober ini baru kemarin pemerintah mengutus seorang dokter yang sudah berangkat kemarin. Saya tidak tahu apakah satu dokter ini mampu melayani warga sembilan desa di sana atau tidak," kata John seperti dilansir Antara, Jumat (20/10).
Berdasarkan informasi dari kader kesehatan yang ditempatkan pihak gereja di Samenage, menurut pastor John, sebelum meninggal, masyarakat mengalami gejala-gejala diagnosis yang tidak diketahui secara pasti oleh kader yang ditempatkan di sana.
ADVERTISEMENT
"Saya dengar dari kader kesehatan, kematian terjadi setelah masyarakat mengalami gejala badan bengkak, rambut rontok, sesak nafas," katanya.
Di tempat yang sama, Kader Kesehatan Gereja yang bertugas di Samenage Habel Lokon mengatakan, kesehatan masyarakat di Samenage kurang baik sebab banyak pasien mengalami sesak napas, cacingan, mencret, kudas, lemah, kulit terkelupas dan rambut rontok.
"11 orang yang meninggal ini terhitung mulai tanggal 9 Oktober sampai pertengahan bulan. Sebelum meninggal pasien mengalami gejala telinga tuli, kulit terkelupas, rambut rontok, baik orang dewasa, pelajar SMA dan SD," katanya.
Untuk memberikan pertolongan sebelum pasien meninggal, Habel mengatakan memberikan Tetra, Amocxcilin, vitamin karena beberapa kejadian fisik pada pasien seperti kulit terkelupas dan kurus.
Sekretaris Desa Hubi Lokon, Samenage Niko Huge mengatakan kepala puskesmas pembantu (pustu) dan kepala puskesmas yang ditempatkan di Samenage tidak pernah berada di tempat walau mereka terus menerima gaji dan tunjangan dari pemerintah.
ADVERTISEMENT
"Biasa kami ditolong oleh pastor (Pastor John Jonga Pr) apabila masyarakat terkena penyakit. Pastor bukan kepala puskesmas, tetapi yang menyelamatkan masyarakat adalah pastor. Ada suster yang diutus oleh pastor John juga ke kampung kami. Kami minta kepala pustu dan kepala puskesmas diganti. Kami minta orang baru," katanya.
Hal yang sama disampaikan Kepala Suku Haleroma Emanuel Esema. Menurut dia, beberapa tahun terakhir petugas kesehatan dan pendidikan yang ditempatkan di sana tidak berada di tempat.
"Pemimpinnya tidak ada yang serius, baik guru, manteri, sehingga banyak masyarakat yang korban. Selama ini kami harapkan mantri adat sehingga kami tidak tertolong. Kepala puskesmas dan pustu harus diganti. Itu salah satu masukan dari kami kepada pemkab. Beberapa tahun ini pastor sendiri yang berjuang menyelamatkan kami, sementara petugas yang ditempatkan pemerintah tidak ada di tempat," katanya.
ADVERTISEMENT
Kepala Desa Muke, Distrik Semenage, Saha Yagaze Hugi mengatakan kepala puskesmas dan kepala pustu harus bertanggung jawab terhadap kematian warganya karena petugas tidak menjalankan tugas sehigga masyarakat meninggal.
"Orang-orang sudah mati, jadi kami harapkan ada tanggung jawab dari pemerintah (kepala puskesmas dan kepala pusat pembantu kesehatan), jangan ambil gaji saja, tetapi tidak melakukan pelayanan," katanya.