Bea Masuk Ikan RI ke Uni Eropa yang Bikin Geregetan Susi

28 November 2017 19:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Susi bersama Roberto di markas PBB (Foto: Arifin Asydhad/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Susi bersama Roberto di markas PBB (Foto: Arifin Asydhad/kumparan)
ADVERTISEMENT
Thailand, Filipina, dan Papua Nugini mendapatkan tarif bea masuk 0 persen atas produk ikan mereka yang masuk ke Uni Eropa (UE). Sebentar lagi, Vietnam juga akan diberi UE bea masuk 0 persen. Tapi, Indonesia yang memiliki lautan luas mendapatkan perlakuan yang berbeda. Indonesia diberi tarif bea masuk sebesar 20-24 persen. Tentu ini membuat Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti geregetan.
ADVERTISEMENT
Thailand, Filipina, Papua Nugini, dan Vietnam merupakan negara-negara tetangga Indonesia. Mereka tidak memiliki laut seluas Indonesia. Lantas, dari mana mereka bisa mendapatkan ikan yang kemudian diekspor ke UE? Selama ini sudah diketahui oleh banyak pihak bahwa kapal-kapal dari beberapa negara itu tertangkap di wilayah perairan Indonesia melakukan pencurian ikan (illegal fishing).
“Seharusnya Uni Eropa juga memperhatikan dari mana ikan-ikan mereka. Seharusnya Indonesia yang sudah berkomitmen dalam pemberantasan IUU (illegal, unreported and unregulated) fishing, mendapatkan bea tarif yang lebih murah,” kata Susi di Jenewa, Swiss, Senin (27/11) petang waktu setempat.
Tarif bea masuk ini penting buat Indonesia, agar bisa mengekspor produk ikan dan hasil laut ke UE dengan harga yang lebih kompetitif.
ADVERTISEMENT
Tingginya bea tarif produk ikan Indonesia di UE ini menjadi salah satu hal yang disampaikan Susi saat bertemu Dirjen Word Trade Organization (WTO) Roberto Azevedo di markas WTO, Jenewa, Swiss.. Selain soal bea tarif, hal lain yang dibahas adalah dorongan penghentian subsidi terkait penangkapan ikan ilegal (illegal fishing) yang dilakukan banyak negara.
Susi bersama Roberto di markas PBB (Foto: Arifin Asyhdad/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Susi bersama Roberto di markas PBB (Foto: Arifin Asyhdad/kumparan)
Dalam pertemuan tersebut, Susi didampingi Kepala PTRI (Perwakilan Tetap Republik Indonesia) di Jenewa Hasan Kleib, Dirjen Perikanan Tangkap KKP Sjarief Widjaja, Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan R Nilanto Perbowo, Koordinator Staf Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa, Penasihat MKP Laksdya TNI (Purn) Widodo, dan Dubes yang juga Wakil Kepala PTRI untuk WTO Sondang Anggraini.
ADVERTISEMENT
Seusai pertemuan, Nilanto menjelaskan Susi menyampaikan berbagai upaya terkait illegal, IUU fishing yang dilakukan pemerintah tiga tahun terakhir. Akibat pemberantasan IUU fishing ini, saat ini teritorial laut Indonesia sudah kosong dengan kapal-kapal ilegal.
Namun, kapal-kapal ilegal dari negara-negara asing ini pindah ke laut lepas yang berdekatan dengan wilayah Indonesia. “Ibu minta ini yang harus diwaspadai, karena kalau laut lepas merupakan wilayah yang tidak bertuan, sudah tidak ada yang mengawasi,” kata Nilanto.
Hasan Kleib bersama Roberto (Foto: Arifin Asydhad/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Hasan Kleib bersama Roberto (Foto: Arifin Asydhad/kumparan)
Susi juga menyampaikan kepada Roberto mengenai pentingnya industri perikanan dan kelautan yang berkelanjutan dan menghargai hak asasi manusia (HAM). Kasus Benjina memperlihatkan bahwa banyak pekerja yang dipekerjakan seperti budak, puluhan tahun tidak pulang ke negara asalnya. Ini jelas melanggar HAM.
ADVERTISEMENT
Sedangkan terkait industri yang berkelanjutan, Susi mempersoalkan subsidi yang diberikan beberapa negara seperti China, Korea Selatan, dan Taiwan terhadap kapal-kapal yang bisa menjelajahi kawasan laut negara lain. “Intinya ibu menteri menyampaikan agar kapal-kapal yang menjelajahi kawasan laut negara lain jangan sampai dapat subsidi. Subsidi sebaiknya dikasih kepada nelayan kecil di wilayah masing-masing,” jelas Nilanto.
Kapal-kapal besar dari berbagai negara masuk ke laut lepas di sekitar wilayah Indonesia diduga melakukan penangkapan ikan secara serampangan, yang bisa merusak lingkungan dan mengurangi stok ikan dunia. Sangat penting saat ini untuk menjaga stok ikan dan hasil laut di masa mendatang demi kebutuhan generasi mendatang.
Susi bersama perwakilan berbagai dunia di PBB (Foto: Dok. KKP )
zoom-in-whitePerbesar
Susi bersama perwakilan berbagai dunia di PBB (Foto: Dok. KKP )
Mereka segaja diberi subsidi sebagai upaya penyediaan kebutuhan ikan di negara masing-masing. "Kita berharap diberi tarif bea masuk yang lebih baik. Indonesia kan selama ini ikut menjaga pangan dunia. WTO harus respek terhadap Indonesia," kata Nilanto.
ADVERTISEMENT
Sebagai catatan, nilai ekspor hasil laut Indonesia ke UE selama tahun 2016 mencapai US$ 318,4 juta. Bila Indonesia mendapat tarif bea masuk lebih kecil, maka nilai ekspor hasil laut ke UE akan lebih besar.
Sementara itu, Sjarief Widjaja, menjelaskan bahwa kapal-kapal yang menjelajahi kawasan negara lain itu bukanlah kapal nelayan, tapi korporasi. “Pemerintah mereka ingin memastikan korporasi ini bisa menyuplai ikan secara kontinu, selain juga menyadari korporasi perikanan ini menyerap tenaga kerja,” ujar Syarief. Indonesia, kata Sjarief, mendorong subsidi diberikan kepada para nelayan kecil.
Terhadap permintaan Susi, Roberto menyampaikan bahwa soal HAM terkait anak buah kapal (ABK) bukan mandat WTO. Nanti ILO yang akan menindaklanjutinya.
Roberto juga meminta Indonesia lebih aktif terlibat dalam proses pengaturan subsidi dalam penangkapan ikan di laut, bila ingin berkomitmen memperjuangkan. Ini terkait dengan Konferensi Tingkat Menteri di Brazil pertengahan Desember 2017 nanti.
ADVERTISEMENT
Laporan Arifin Asydhad dari Jenewa, Swiss