Déjà vu

Wisnu Prasetiyo
Wartawan kumparan
Konten dari Pengguna
11 November 2018 15:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wisnu Prasetiyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Déjà vu
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Mengapa harus wartawan? Apa wartawan bisa mengantarku jadi hartawan?
ADVERTISEMENT
Jawabannya 'tergantung'.
Tergantung seberapa keras aku berusaha, seberapa cepat aku menulis, seberapa andal aku melobi, dan seberapa besar passion di dunia ini.
Menjadi reporter berarti menjadi mata, telinga, dan hati manusia banyak. Visiku tak muluk, hanya ingin memastikan, reportase atau tulisanku sesuai fakta dan disukai pembaca.
5 Oktober 2015 aku memulai perjalanan. Tugas pertamaku mencari ide tentang liputan sejarah apa yang menarik.
Maklum, sedari awal aku masuk ke tempat kerja pertamaku, aku selalu bangga menceritakan bahwa aku lulusan Ilmu Sejarah.
Proyek pertama cukup berhasil, sepekan aku mengulik soal Kapten Muslihat. Pahlawan yang patungnya ada di Bogor, yang mungkin banyak orang belum tahu siapa dia dan bagaimana perjuangannya.
ADVERTISEMENT
Setelahnya aku mengerjakan tugas wartawan sesungguhnya. Pertama kali, tugasku adalah liputan demonstrasi di depan Kedutaan Besar Arab Saudi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Boom. Langsung dimarahi oleh seniorku di kantor. Masalahnya, aku melaporkan sesuatu dengan sapaan "gue elo".
Tapi kuanggap ini hanya biasa saja, uji mental pertama yang harus kulalui.
Dan memang selesai. Meski aku tak menulis apa-apa di hari itu.
Déjà vu (1)
zoom-in-whitePerbesar
Hari-hari berikutnya dunia wartawan yang keras itu kurasakan. Dua bulan pertama, aku selalu membawa bekal makan siang sisa sarapanku. Tak lupa sebotol air mineral 1 liter.
Ini caraku mengirit pengeluaran. Sebab, di dunia kerja ini aku sama sekali tak mau menyusahkan siapa-siapa lagi.
ADVERTISEMENT
Rata-rata sepekan dua kali aku dimarahi redaktur. Ada saja alasannya, dari mulai reportase kurang lengkap, laporan atau tulisan typo atau yang lebih parah bobol berita dari media lain.
Sempat dua kali ingin menyerah selama perjalananku setahun menjadi wartawan. Faktornya dua, uang yang tak cukup lagi dan rasa lelah yang tak terbayarkan.
Kalau soal uang itu jelas dan tidak perlu kujelaskan rasanya. Nah, soal rasa lelah yang tak terbayarkan itu begini.
Aku sudah merasa melakukan sesuatu yang kurasa sudah full dengan hati, tapi ada yang tertinggal karena keteledoran.
Contohnya, saat aku meliput rusuh di pertandingan final Piala Presiden antara Persib Bandung vs Sriwijaya. Aku sudah berusaha meliput sejak jam 5 pagi, stand by di JPO Halte GBK, hingga dini hari.
ADVERTISEMENT
Namun, aku lupa membeli power bank baru saat itu. Aku kelimpungan karena harus beberapa kali bolak-balik musala hanya untuk isi ulang baterai.
Ini kesalahan, yang seharusnya tak terjadi. Padahal di hari itu aku sangat menikmati pekerjaanku.
Naik pesawat pertama kali pun terwujud karena aku menjadi wartawan. Saat itu aku sudah dicoba beberapa kali di desk politik sebelumnya, sehingga aku dikirim ke Banjarmasin untuk meliput acara Golkar.
Dan, di kali pertamaku naik pesawat itu, aku hampir saja mati. Sebab, pesawat yang kutumpangi, ketika ingin mendarat, harus menghantam awan tebal karena di Soekarno-Hatta sedang hujan. Turbulensinya cukup kuat dan lama. Namun, alhamdulillah, Allah masih memberikan kami keselamatan.
Pada dasarnya aku adalah wartawan politik, delapan bulan menjadi penghuni gedung DPR. Dari pagi hingga malam. Aku tak pernah meliput bencana, hanya dua kali meliput kejadian tembak-menembak, dan tiga kali berkutat dengan kebakaran.
ADVERTISEMENT
Tapi, menurutku, semua memang ada porsinya. Aku tetap mencintai pekerjaan ini meski pengalamanku tak sekaya mereka.
Dari DPR, aku belajar banyak hal, terutama soal lobi. Ya, hanya dengan lobi-lobi cantik para politikus itu mau berbagi kue pengalaman yang mahal.
Dari mulai kejahilan hingga bau busuk di sekeliling mereka ceritakan.
Jelang setahun, aku makin percaya diri. Menjadi wartawan, mencari berita dari pagi hingga malam sudah menjadi passion-ku. Tak ada lagi lelah, tak ada lagi keluh, gaji pun bukan masalah.
Déjà vu (2)
zoom-in-whitePerbesar
Di saat aku ikhlas mengerjakan semuanya, mesin waktu berputar.
Singkatnya, aku harus beralih dari kantor lamaku untuk bergabung dengan orang-orang hebat di kumparan. Bermodal restu orang tua, aku memulai semuanya.
ADVERTISEMENT
Tugasku di kumparan agak berbeda. Aku harus terus menciptakan ide, membuat konten yang berbeda dan bermanfaat bagi banyak orang.
Seakan Déjà vu, tugas pertamaku di kumparan adalah mencari peristiwa atau tokoh sejarah yang menarik diulik.
Dan aku memilih Halim Perdanakusumah sebagai objek risetku.
Duet bersama Ulfa Rahayu, dan atas arahan redaktur panutan, Anggi Kusumadewi, aku menyelesaikan proyek itu dalam waktu 10 hari.
Kami berhasil merunut sejarah hingga akhirnya bertemu dengan anak semata wayang Halim, Ian Perdanakusumah.
Dari Ian, kumparan menyajikan cerita sejarah yang menarik. Dari soal perjuangan Halim yang mati muda, strategi perang yang baru terungkap, sosok Halim yang romantis dan pandai main biola, hingga kisah cintanya dengan Kussadalina.
Déjà vu (3)
zoom-in-whitePerbesar
Proyek berikutnya yang masih kukenang adalah membuktikan kabar viral soal karateka muda asal Ngawi, Aulia Siva Real Teassis. Singkatnya begini, waktu itu ramai cerita Aulia yang begitu sedih karena didiskualifikasi dari kompetisi karate junior nasional karena ia mengenakan hijab.
ADVERTISEMENT
Saat itu, aku bersama kawanku Ridho Robby menelusuri jejak Aulia dari Magetan hingga Ngawi. Kesimpulannya, persoalan ini murni soal komunikasi. Aulia seharusnya memakai jilbab standar intenasional agar ia bisa bertanding.
Namun di balik kesimpulan itu, mengungkapkan fakta adalah kebahagiaan bagi seorang wartawan. Dan di kumparan aku selalu belajar untuk demikian.
Hari-hari berikutnya tugasku semakin berbeda. Di kantor aku lebih sering mengurusi persiapan liputan hingga analisis data. Aku belajar Google Analytics, Crowdtanggle, hingga Search Engine Optimazation (SEO).
Di kumparan pun aku juga mulai dekat dengan orang-orang hebat yang sebelumnya ngobrol saja pun tak pernah.
Ada abangku, Muhammad Iqbal, redaktur politik yang sekarang begitu akrab denganku. Ya meski karena celoteh-celotehnya. Padahal dulu, di kantor lama, ngobrol saja tak pernah. Atau mungkin dia sama sekali tak mengenalku.
ADVERTISEMENT
Mba Nurul Hidayati, sosok panutan yang sering kuajak berdiskusi ketika berada di kumparan. Sebelumnya, aku juga tak pernah ngobrol meski satu kantor. Yang kuingat, dia pernah memberiku kartu untuk naik TransJakarta ketika aku tak memilikinya. Sekarang, aku bersyukur, mendapat banyak kesempatan untuk berbincang dengannya soal menulis yang baik.
Yang terakhir, aku juga dapat kesempatan berbincang dan berdiskusi langsung dengan pemimpin redaksi, Arifin Asydhad. Di sini aku diajarkan banyak hal, secara langsung, olehnya. Meski sambil bercanda tak jarang diomeli, dari Mas Asy aku belajar banyak hal utamanya soal menjaga kepercayaan narasumber. Dulu, di kantor lama, boro-boro ngobrol, ditegur saja hampir tak pernah.
Meski bukan lagi menjadi wartawan lapangan, tetapi di kumparan aku selalu berusaha belajar untuk menjadi wartawan yang sebenar-benarnya.
ADVERTISEMENT
Menjalani hal berbeda juga tak mudah tentunya. Hampir sama, dua pekan sekali aku dinasihati atasan. Kini alasannya karena ide yang tak berkembang hingga tak mampu menjadi penjembatan. Namun, ya berarti ini sama saja seperti awal aku menjadi wartawan lapangan dulu. Déjà vu.
Menjaga konten agar tetap banyak dibaca dan kredibel. Membuat perencanaan mendetail untuk reporter, hingga belajar untuk menjadi seseorang yang mengerti data.
Déjà vu (4)
zoom-in-whitePerbesar
Dari data-data yang sudah sejauh ini aku pelajari, pembaca kumparan yang terus bertumbuh tiap bulannya, memiliki karakter tersendiri.
Mereka tidak suka berita dengan judul clickbait, pembaca kumparan juga menyukai breaking news cepat yang tetap disertai dengan visual yang bagus, serta mereka akan marah dan tak segan mengoreksi apabila redaksi atau bagian media sosial alpa.
ADVERTISEMENT
Dari sini aku mengerti bahwa kumparan harus mencetak wartawan-wartawan yang kompeten, sehingga tidak mengecewakan pembacanya. Untuk itu, kumparan memfasilitasi seluruh wartawannya agar tersertifikasi. Itu semata-mata untuk memenuhi ekspektasi pembaca tadi.
Lewat uji kompetensi wartawan, karyawan kumparan memastikan, bahwa informasi yang pada akhirnya sampai ke mata pembaca adalah informasi valid dan enak diikuti.
Menjadi wartawan tersertifikasi rasanya menyenangkan. Setelah tiga tahun aku baru bisa merasakan hal ini di kumparan. Menyenangkan bukan?
Ketika orang di luar profesi ini bertanya kepadaku aku sekarang kerja apa.
Aku dengan tegas menjawab,"Gue wartawan."
Dengan status tersertifikasi, bertanggung jawab aku dan kumparan menyajikan berita yang valid dan enak dibaca menjadi prioritas.
Sebab, pembaca kumparan yang terus bertumbuh itu tidak akan mau dikecewakan.
ADVERTISEMENT
Kok rasanya seperti Déjà vu ya.