Salat Idul Fitri di Masa Kolonial: Diawasi, Dibatasi

25 Juni 2017 11:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tahanan di Rutan Cipinang menjalankan Salat Id. (Foto: Dok. Istimewa)
Pernah membayangkan seperti apa salat Idul Fitri pada masa lalu, saat Indonesia masih dalam cengkeraman penjajah? Mari sejenak kita kembali ke masa itu.
ADVERTISEMENT
Kala itu, Lebaran masih terasa dingin, tak seperti saat ini yang jadi momen hangat bagi keluarga. Jangankan makan ketupat, sekadar salat saja harus diatur sedemikian rupa dan dilakukan di bawah pengawasan ketat pemerintah kolonial.
Salat id di masa kolonial. (Foto: dok. Youtube)
Pada masa penjajahan Belanda, salat id berjemaah di ruang terbuka diizinkan pertama kali tahun 1929. Saat itu, salat id dilaksanakan di lapangan terbuka Koningsplein atau Stasiun Gambir, Jakarta Pusat (kala itu masih bernama Batavia).
Ribuan orang dari penjuru ibu kota berduyun-duyun ke Koningsplein untuk melakukan salah sunah dua rakaat dan takbir bersama itu. Pengeras suara boleh digunakan.
Meski begitu, pemerintah Belanda mengawasi ketat berlangsungnya salat id, termasuk gerak-gerik umat yang bersembahyang dan mendengar ceramah.
ADVERTISEMENT
Ceramah, lebih-lebih, dimonitor khusus. Pemerintah kolonial mengawasi betul siapa yang membawakan ceramah, dan apa yang disampaikan saat khotbah usai salat berlangsung.
Belanda paham, saat itu di Indonesia, bibit-bibit pergerakan nasional telah muncul dan terasa betul bertumbuh di kalangan kaum muda dan intelektual.
Selain di Gambir, salat Idul Fitri kemudian juga dilakukan di Waterlooplein atau Lapangan Waterloo (sekarang Lapangan Banteng), pusat Batavia.
Dikutip dari arsip Belanda, Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, panitia untuk salat id di Waterlooplein biasanya terdiri dari 14 organisasi massa dan organisasi lain, termasuk relawan.
Untuk memudahkan mobilitas umat Islam menuju Waterlooplein, pemerintah kolonial Belanda saat itu mengerahkan trem ekstra dari Meester Cornelis (kini Jatinegara) ke Benedenstad (Kota Tua).
ADVERTISEMENT
Salat id selanjutnya juga digelar di dekat Istana Negara. Tentu tetap di bawah pengawasan..
Pada masa Jepang, dwitunggal Sukarno-Hatta mengambil jalan politik kolaborasi dengan pemerintahan pendudukan Jepang --yang berisiko yang sempat menjadi blunder.
Saat Idul Fitri, Jepang yang bercokol di Indonesia selama 1940-1945, memberikan keleluasaan bagi rakyat pribumi untuk merayakan Idul Fitri.
Namun, keleluasaan itu ada batasnya. Termasuk batasan waktu. Saat itu, salat id harus digelar pagi buta, usai salat subuh, dengan waktu salat yang juga dibatasi.
Kenapa gerangan harus demikian?
Dikutip dari buku Indonesia di Bawah Pendudukan Jepang 1940-1942, Jepang saat itu punya tradisi yang tidak boleh ditinggal sebelum matahari terbit, yakni Seikerei alias upacara menyembah Dewa Matahari dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari terbit.
ADVERTISEMENT
Menurut kepercayaan Shinto, agama resmi di Jepang dari masa Restorasi Meiji (1866) hingga akhir Perang Dunia II (1945), Kaisar Jepang ialah keturunan Dewa Matahari, Amaterasu. Itu sebabnya kala itu orang Jepang memberi hormat pada matahari tiap pagi.
Upacara Seikerei, masalahnya, dilakukan di Lapangan Banteng yang juga jadi tempat salat Idul Fitri. Alhasil, umat Islam Indonesia harus mengalah pada Jepang si “saudara tua” dengan menggelar salat id lebih dini sebelum mentari bersinar.
Presiden Soekarno (Foto: Wikimedia Commons)
Pada masa pendudukan militer Jepang itu, Sukarno muda mengucapkan selamat Lebaran seraya meyakinkan rakyat bahwa Indonesia nanti pasti merdeka.
“Tiada bangsa dapat mencapai kemenangan, kalau tiada tahan menderita. Inna ma’al usri yusro –kebahagiaan sesudah kesusahan! Bulan puasa diangggap sebagai medan latihan diri untuk tahan menderita. Marilah kita hadapi tahun yang baru ini sebagai satu bangsa, yang benar-benar telah terlatih tahan menderita dalam bulan Ramadhan,” kata Sukarno dengan semangat membara, usai salat id tahun 1941.
ADVERTISEMENT
Video di atas merupakan dokumentasi suasana saat salat Idul Fitri yang dibuat sebagai bagian dari propaganda Jepang untuk meyakinkan dunia bahwa rakyat pribumi bebas menunaikan salat id di tempat terbuka.
Dalam video tersebut, pengisi suara mengatakan seluruh rakyat berhak salat di mana saja, tak cuma di masjid-masjid besar.
Bahkan salat id direkam untuk kepentingan propaganda. Ah, sungguh khas pemerintah kolonial.
Salat Id masa penjajahan. (Foto: dok.Youtube)