Pertemuan yang Kusyukuri

Konten dari Pengguna
13 Januari 2018 19:39 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wisnu Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aku berdiam di sudut jalan gelap. Tak ada sorot lampu, hanya ada secercah cahaya menyorot dari ponselku. 
ADVERTISEMENT
Aku berjalan sejenak.  Suara hentakan kakiku begitu nyaring. Sangat nyaring. Padahal aku melangkah pelan, tak bergegas.  Aku berhenti. Berhenti karena ada dedaunan yang jatuh tepat di hadapanku.  Tak ada masalah sama sekali, ku hanya berpikir sejenak. Dari mana daun itu? Padahal di sekitarku tak ada pohon sama sekali.  Ya seperti kubilang tadi, itu bukan masalah. Ku lanjutkan melangkah perlahan, langkah demi langkah tanpa arah.  Aku hanya berjalan tanpa arah. Sampai suatu ketika kubertemu dengan sosok yang tak asing lagi. Di pertigaan jalan yang dulu selalu kulalui ketika ingin ke 'rumah'.  Rupanya tak berubah. Hanya sedikit lebih dewasa, tetapi tetap riang seperti dulu kala.  Kucoba memberanikan diri untuk menghampirinya. Tidak memanggilnya keras, karena kutakut mengganggunya.  Sampai saat kita begitu dekat, aku merasa aneh dan tak biasa. Sementara dia? Dia menatapku tenang seperti tak pernah terjadi apa-apa. "Apa kabar?"  Kalimat itu yang pertama kali keluar dari mulutku saat di dekatnya.  Dia tak membalas, hanya cengangas-cengenges layaknya dia yang dahulu pernah menemani hari-hariku.  Baru setelah kugerakkan tanganku di depan wajahnya, dia menanggapiku.  "Haha. Baik," ujarnya singkat. Setelah itu aku dan dia tak beranjak dari tempat yang tak asing itu. Mungkin hanya sekitar 7 menit.  Aku hanya berbincang seputar, apa yang dia lakukan saat ini. Apa dia merasa senang dengan apa yang dilakukannya. Dan dia bercerita dengan begitu lepasnya.  Seperti biasa, dengan cengagas-cengeges.  Sampai akhirnya kulihat wajahnya begitu lelah. Aku tak ingin memaksanya meladeniku seperti dulu lagi, dari pagi sampai pagi lagi.  "Mau langsung pulang? Naik apa?" Dia menjawab lugas. Dia seakan merasa aneh dengan pertanyaan itu. Karena menurutnya, tak ada yang berubah. Semua seperti dahulu.  Dia naik kereta, kemudian melanjutkan perjalanannya dengan dijemput sang ayah di stasiun dekat rumahnya.  Pertemuan itu memang singkat.  Aku tak berniat mengantarkannya pulang, atau sekadar menemaninya ke stasiun favoritku dengannya.  Semua kubiarkan berlalu begitu saja. Karena kupikir, semuanya akan baik-baik saja jika berjalan apa adanya.  Tidak ada yang dipaksakan, sampai aku dan dia (mungkin) akan bertemu di tempat yang sama. Suatu saat nanti.  Kuanggap pertemuan hari itu hanya sebatas kuasa Yang Maha Tinggi. Bukan pertanda aku dengannya bakal kembali lagi.  Menghabiskan waktu dari pagi ke pagi lagi. Bicara banyak hal, dari mulai soal kebisingan tetangga sebelah sampai soal hantu di acara Dunia Lain yang tak penting sama sekali.  Ku tak ingin atau belum ingin momen itu datang lagi. Sebab, dulu, aku dan dia melepaskan diri satu sama lain tanpa ada alasan yang jelas.  Malam itu, aku ingat betul. Dia tak ingin aku menggilainya. Dia ingin menjaga jarak, agar apa yang kurasakan tak lagi menjadi obsesi.  Lagu dengan lirik: "Aku sakit, aku sakit hati. Kau terbangkan ku ke awan lalu jatuhkan ke dasar jurang" menjadi pertanda dia 'pergi'.  Aku sempat 'gila' beberapa waktu.  Karena itu, aku tak mau pertemuanku dengannya malam itu kuperpanjang.  Aku hanya mensyukuri aku dipertemukan dengan dia, yang mampu membuatku menjadi diri sendiri. Aku betul-betul bersyukur, karena aku sempat berbincang lagi dengan dia, wanita terhebat, di luar ibuku, yang pertama kutemui.  Lantas, akankah kuberjalan tanpa arah (lagi) setelah ini? 
ADVERTISEMENT