Investasi Rendah Karbon dapat Membantu Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi

WRI Indonesia
Akun resmi dari WRI Indonesia | Lembaga penelitian independen yang berupaya mewujudkan gagasan besar menjadi aksi nyata demi mencapai pembangunan berkelanjutan
Konten dari Pengguna
22 Juni 2020 10:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari WRI Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 adalah tragedi kemanusiaan, menginfeksi lebih dari 120.000 orang dan menewaskan lebih dari 4.200 jiwa per 12 Maret 2020. Hal ini tentunya sangat menyedihkan. Angka kematian ini pun terus bertambah setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Virus korona juga menghantam masyarakat seperti tsunami skala global yang menghalangi orang berpergian dan bertemu, memaksa pabrik-pabrik untuk tutup dan mengganggu stabilitas pasar ekonomi. Saat ini, sektor manufaktur global mengalami kontraksi terburuk sejak resesi 2009. Goldman Sachs memperkirakan perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat tidak akan membukukan pertumbuhan pendapatan sama sekali, sementara perusahaan penerbangan dan pelayaran kesulitan bertahan karena semua orang diam di rumah.
Aksi iklim yang tegas, seperti peningkatan kapasitas energi terbarukan, dapat merangsang pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi polusi udara. Foto oleh Hahaheditor12667/Wikimedia Commons
Tidak mengherankan jika kekacauan global ini menyebabkan penurunan permintaan energi, yang berdampak pada berkurangnya emisi gas rumah kaca global. Sejak krisis dimulai, keluaran industri Cina turun 15 persen ke tingkat 40 persen, yang menyebabkan penurunan emisi sekitar 25 persen dalam periode yang sama.
Pengurangan emisi yang terjadi di tengah krisis ekonomi biasanya bersifat sementara. Emisi umumnya akan kembali bertumbuh saat ekonomi kembali stabil. Setelah krisis keuangan global pada tahun 2008, misalnya, emisi CO2 global dari pembakaran bahan bakar fosil dan produksi semen tumbuh sebesar 5,9 persen pada tahun 2010, jauh melampaui penurunan sebesar 1,4 persen pada tahun 2009.
ADVERTISEMENT
Di tengah pandemi yang berpotensi memicu melambatnya ekonomi global, para pemimpin mencari cara untuk mendorong perekonomian mereka. Langkah yang diambil untuk merangsang pertumbuhan ekonomi akan memiliki dampak jangka panjang, sehingga harus dipilih dengan cermat.
Pemerintah harus berhati-hati dalam upaya mendorong kondisi ekonomi di tengah krisis kesehatan global agar tidak malah memperburuk krisis lainnya – yaitu polusi udara. Paket stimulus yang mendorong peningkatan produksi atau penggunaan bahan bakar fosil akan menyebabkan memperparah krisis tersebut.
NO₂ merupakan polutan udara yang sangat reaktif, dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil dari pembangkit listrik dan kendaraan berbahan bakar bensin. Data dari KNMI, yang ditampilkan di platform Resource Watch WRI, menunjukkan penurunan progresif emisi NO₂ di Cina.
ADVERTISEMENT
Bahaya Kesehatan dari Peningkatan Bahan Bakar Fosil
Lebih dari 5 juta orang di seluruh dunia mengalami kematian dini setiap tahunnya karena polusi udara. Dua pertiga dari kematian akibat polusi udara disebabkan oleh bahan bakar fosil dari berbagai sumber seperti pembangkit listrik, mobil, dan pabrik. Para ahli memperkirakan bahwa kerugian yang ditanggung oleh negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) akibat penyakit dan kematian prematur terkait polusi udara dari transportasi darat mencapai US$1,7 triliun pada tahun 2010. Polusi udara dan virus korona sangat berbahaya bagi orang yang memiliki kondisi pernapasan seperti asma. Jika polusi udara semakin buruk, dampak penyakit dan kematian dari virus korona juga akan bertambah.
Menghadapi krisis-krisis ekonomi sebelumnya, beberapa negara menerapkan paket stimulus untuk mendorong investasi dalam proyek-proyek infrastruktur agar dapat dilaksanakan dengan cepat. Proyek-proyek ini termasuk pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara atau fosil lainnya, perbaikan jalan, investasi di industri berat seperti manufaktur mobil, dan masih banyak lagi. Menghadapi pandemi COVID-19 dengan cara lama akan menjadi kesalahan besar, karena akan memperparah krisis kesehatan polusi udara.
ADVERTISEMENT
Saat ini, dampak terparah dari wabah COVID-19 dirasakan oleh Cina. Negara ini juga memiliki tingkat polusi udara tertinggi. Pada tahun 2013, polusi udara terkait batu bara menyebabkan sekitar 366.000 kematian dini di Cina. Tentu saja, Cina tidak sendirian. Dari 30 kota paling tercemar di dunia, 22 berada di India. Begitu beracunnya kabut asap di ibu kota New Delhi pada November 2019, pemerintah setempat terpaksa menetapkan darurat kesehatan masyarakat, sehingga sekolah harus ditutup dan penduduk dihimbau untuk tidak keluar rumah.
Semua negara sedang mencari cara untuk mendorong ekonomi mereka di tengah wabah COVID-19. Pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang sedang membentuk paket stimulus sebagai bagian dari upaya ini memiliki dua pilihan: Mereka dapat memilih arah pengembangan yang mengakibatkan polusi, tidak efisien, menghasilkan karbon dan tidak berkelanjutan yang dampaknya akan dirasakan selama beberapa dekade ke depan, atau mereka dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk beralih ke sistem energi dan transportasi rendah karbon yang semakin terjangkau, yang akan membawa manfaat ekonomi jangka panjang. Pilihan terakhir ini juga efektif dalam memerangi dua krisis besar lainnya: polusi udara dan darurat iklim yang semakin buruk.
ADVERTISEMENT
Manfaat Pembangunan Rendah Karbon dari Sisi Ekonomi
Kabar baiknya, sudah terbukti bahwa pertumbuhan rendah karbon dan tahan iklim sangat efektif dalam menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial dalam jangka panjang. Menurut New Climate Economy, aksi iklim yang tegas dapat menghasilkan manfaat ekonomi global sebesar $26 triliun sampai dengan 2030 dibandingkan dengan jika tidak ada perubahan yang dibuat. Manfaat ekonomi ini termasuk 65 juta pekerjaan rendah karbon baru di tahun 2030, setara dengan keseluruhan tenaga kerja di Inggris dan Mesir saat ini.
Hal ini juga berlaku di skala nasional. Indonesia adalah salah satu ekonomi terbesar di dunia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah mengidentifikasi jalur pertumbuhan rendah karbon yang melampaui komitmen iklimnya saat ini dan akan menghasilkan pertumbuhan PDB rata-rata lebih dari 6 persen per tahun sampai 2045. Bukti menunjukkan bahwa alur pertumbuhan rendah karbon ini akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi jika semua berjalan sepert biasa sejak tahun pertama, serta menghasilkan serangkaian manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan di Indonesia. Pada tahun 2045, manfaat yang akan muncul antara lain 15 juta kesempatan kerja tambahan yang lebih ramah lingkungan dengan tingkatan gaji yang lebih tinggi, mempercepat pengurangan kemiskinan, serta memberikan manfaat lainnya bagi kesetaraan gender dan daerah.
ADVERTISEMENT
Infrastruktur rendah karbon yang berkelanjutan harus menjadi fokus dalam setiap stimulus dari pemerintah untuk menghadapi wabah COVID-19. Pemerintah memiliki peran penting dalam menetapkan strategi investasi yang tepat, jelas, dan berkelanjutan. Investasi infrastruktur berkelanjutan akan membuka lapangan kerja untuk saat ini serta memiliki banyak manfaat sosial dan ekonomi untuk masa depan. Undang-Undang Pemulihan dan Reinvestasi Amerika tahun 2009, misalnya, menghasilkan beberapa manfaat sosial dan ekonomi, termasuk mendorong sekitar 900.000 pekerjaan energi bersih di Amerika Serikat dari tahun 2009 sampai 2015. Investasi paket stimulus juga seharusnya membantu membangun ketahanan masyarakat kita terhadap dampak perubahan iklim. Menurut Komisi Global untuk Adaptasi, manfaat bersih dari investasi infrastruktur dengan ketahanan tinggi dalam satu dekade ke depan di negara-negara berkembang akan mencapai $4,2 triliun selama masa hidup infrastruktur tersebut, dengan nilai manfaat sebesar $4 untuk setiap $1 yang diinvestasikan.
ADVERTISEMENT
Para pemimpin bisnis dan sektor keuangan sudah mulai menyadari risiko berinvestasi pada aktivitas berkarbon tinggi dan manfaat ekonomi yang dapat dihasilkan oleh ekonomi rendah karbon dengan ketahanan tinggi – dan pemerintah seharusnya mengikuti jejak mereka. Lebih dari 16 pemilik aset utama dengan nilai investasi global yang mencapai hampir $4 triliun telah berkomitmen untuk mengalihkan seluruh portofolio investasi mereka ke investasi dengan emisi nol bersih pada tahun 2050 dan banyak investor lain yang gencar beralih dari investasi bahan bakar fosil. Perusahaan-perusahaan yang berkelanjutan sudah menunjukkan kinerja yang lebih baik. Contohnya, perusahaan-perusahaan yang berkomitmen untuk mencapai 100 persen energi terbarukan menunjukkan margin laba bersih dan pendapatan yang lebih baik dibandingkan mereka yang tidak memiliki komitmen ini. Sementara itu, imbal hasil investasi perusahaan-perusahaan yang secara aktif menyesuaikan pengelolaan dan rencana bisnisnya dengan perubahan iklim tercatat 18 persen lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang tidak melakukan penyesuaian ini – dan 67 persen lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang tidak membuka tingkat emisinya.
ADVERTISEMENT
Aksi Iklim Adalah Kunci Pemulihan Ekonomi dan Kesejahteraan Jangka Panjang
Wabah global COVID-19 membuktikan bahwa pemerintah memiliki kemampuan untuk mengambil tindakan langsung dan radikal untuk mengatasi krisis. Permasalahan ini tidak mudah dan memerlukan kontribusi dari kita semua. Namun, dalam mengatasi krisis ini, kita tidak boleh lupa bahwa investasi jangka panjang yang tidak efektif bukanlah solusi dalam menghadapi krisis ekonomi jangka pendek. Saat ini, kita memiliki kesempatan untuk mengambil langkah-langkah stimulus pasca krisis kesehatan COVID-19 yang dapat mengurangi polusi udara dan membantu mengatasi krisis iklim.
Saat ini, krisis iklim semakin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, kita perlu segera mengambil tindakan untuk mengurangi emisi. Sekaranglah saatnya untuk mengambil langkah ini, dengan teknologi bersih yang semakin berkembang dan biaya yang semakin rendah. Meskipun pembatasan perjalanan dan pertemuan dalam jumlah besar masih menjadi tantangan tersendiri, pada akhirnya tantangan ini dapat membantu kita mengubah cara kita bekerja, belajar, dan berpergian agar lebih berkelanjutan, termasuk melihat peluang dan manfaat yang lebih luas dari teleworking dan pertemuan virtual. Saat ini, kita dipaksa untuk mengatur kembali kebiasaan kita. Momen ini dapat digunakan sebagai pembelajaran yang dapat diterapkan setelah krisis ini selesai.
ADVERTISEMENT
Kita tidak bisa menunda lagi darurat iklim. Tahun ini, negara-negara harus memberikan komitmen iklim nasional mereka untuk tahun 2030, sejalan dengan target emisi nol bersih dunia pada tahun 2050.
Meskipun COVID-19 dan dampak ekonominya menjadi fokus utama pemerintah saat ini, kita juga perlu mempertimbangkan implikasi jangka panjang dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Bagi negara-negara yang berusaha untuk mendorong perekonomian mereka di masa krisis dan mencapai pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan, aksi iklim menjadi pilihan yang menjanjikan.
Oleh: Helen Mountford (WRI)
Baca artikel lainnya di wri-indonesia.org.
Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di wri-indonesia.org pada 26 Maret 2020.