Kilas Balik : Sengketa Lembaga Negara Antara DPR dan Presiden

Yayang Nuraini Zulfiani
Penulis dan Aktivis
Konten dari Pengguna
5 November 2022 16:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yayang Nuraini Zulfiani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Sengketa Lembaga Negara antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden dalam artikel ini, penulis kembali merujuk pada kilas balik dalam Kasus Sengketa Lembaga Negara tentang penonaktifan Kapolri dan dikeluarkannya Maklumat Presiden.

Sengketa lembaga negara antara DPR dengan Presiden seringkali terjadi dan tidak menutup kemungkinan akan terus terjadi dari tahun ke tahun sebagai bentuk interaksi antar lembaga yang memiliki suatu kepentingan.
zoom-in-whitePerbesar
Sengketa lembaga negara antara DPR dengan Presiden seringkali terjadi dan tidak menutup kemungkinan akan terus terjadi dari tahun ke tahun sebagai bentuk interaksi antar lembaga yang memiliki suatu kepentingan.
Sengketa lembaga negara antara Dewan Perwakilan Rakyat atau biasa disebut sebagai DPR dengan Presiden berkaitan pula dengan pernyataan Montesquieu dalam The Spirit of Law Book XI – 6, yang menyatakan bahwa : “In order to have this liberty, it is requisite the government be so constituted as one man need not be afraid of another When legislative and executive powers are united in the same person, or in the same body of magistrates, there can be no liberty; because apprehension may arise, lest the same monarch or senate should enact tyrannical laws, to execute them in a tyrannic manner. Again, there is no liberty, if the judiciary power not be separated from legislative and executive.”
ADVERTISEMENT
Sengketa lembaga negara antara dewan perwakilan rakyat (DPR) dengan presiden menurut penulis, tentunya sangat berkaitan dengan kewenangan oleh karenanya di dalam menjalankan kewenangannya setiap lembaga negara memiliki interaksi dan kebutuhan akan berhubungan dengan lembaga-lembaga negara lain sehingga interaksi maupun hubungan-hubungan ini yang justru dapat bermanfaat dalam menjalankan kewenangan maupun dapat menimbulkan sengketa antar lembaga-lembaga negara sehingga menurut opini penulis, sengketa lembaga negara dapat disebut sebagai “a conflict or controversy”.
Sengketa lembaga negara menurut Jimly Asshiddiqie adalah “sengketa kewenangan antarlembaga negara yaitu, perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim antarlembaga negara yang satu dengan lembaga negara lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut” sehingga dalam implementasinya menurut penulis memang besar sekali kemungkinan lembaga negara di Indonesia mengalami sengketa.
ADVERTISEMENT
Sengketa lembaga negara pernah terjadi antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kilas baliknya hal ini terjadi ketika dilaksanakannya penonaktifan Kapolri dan dikeluarkannya maklum Presiden, dengan kewenangannya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan memorandum satu kepada presiden Gus Dur dengan argumentasi bahwa Presiden Gus Dur dianggap telah terlibat dalam kasus Buloggate dan Bruneigate serta dianggap melawan atau tidak mau kompromi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sehingga sengketa lembaga negara antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Presiden Gus Dur saat proses pelengseran adalah hal yang termasuk kedalam sengketa lembaga negara, Mahfud MD melakukan analisa bahwa secara hukum tata negara memorandum yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut salah karena seharusnya Presiden baru dapat diberi memorandum apabila telah terbukti melanggar haluan negara, bukan hanya dugaan saja. Kasus sengketa lembaga negara yang lain pun terjadi ketika Presiden Gus Dur melakukan pecatan Kapolri tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang harusnya dalam prosesinya perlu mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meskipun keadaannya mendesak sekalipun, sehingga dalam hal ini jelas terjadi sengketa kewenangan negara, bahkan menurut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hal ini dianggap sangat salah barulah saat itu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) segera menggelar sidang istimewa karena presiden telah melanggar haluan negara. Tidak hanya itu, sengketa muncul ketika Presiden Gus Dur mengeluarkan maklumat yang isinya membubarkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) meminta pendapat kepada Mahkamah Agung (MA) terkait tindakan membubarkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti itu melanggar konstitusi atau tidak melanggar konstitusi, tentu saja hal ini melanggar konstitusi, namun Presiden Gus Dur tetap tegas bahwa yang melanggar konstitusi adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu sendiri.
Penjelasan singkat terkait alasan Sengketa Lembaga Negara antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Presiden
Analisisnya menurut penulis, dalam kasus ini sengketa telah memenuhi tolak ukur untuk mengajukan perkara ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana dalam Undang-Undang, yaitu sengketa memuat:
ADVERTISEMENT
a. Kewenangan
b. Yang menjadi pihak adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945;
c. Lembaga negara memiliki kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan
Kemudian, terkait kewenangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dalam kedudukannya adalah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 beserta Penjelasan Umum nomor VII, Bab 22 bagian pertama tentang susunan dan kedudukan MPR/DPR RI maka Majelis Permusyawaratan Rakyat sangat bertanggung jawab pada Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan subjudul III tentang kekuatan tertinggi berada di tangan MPR. Oleh karena itu, dari segi hukum positif pada saat itu tentunya presiden tidak bisa membubarkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Seiring perkembangan zaman, untuk mengurangi "gesekan" sengketa antar lembaga negara maka check and balances diterapkan kepada berbagai lembaga negara karena kedudukannya setara dan tidak ada lagi lembaga tertinggi, sehingga amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dapat melaksanakan implementasi dengan baik untuk penyelesaian sengketa antara lembaga negara yakni melalui Mahkamah Konstitusi yang dijelaskan didalam Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang berbunyi: “Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”.
ADVERTISEMENT
Sumber :
1. Hamdan Zoelva, sistem penyelenggaraan kekuasaan negara menurut UUD 1945
2. H. UU Nurul Huda, hukum lembaga negara, refika aditama : Bandung, 2020
3. Kelik Iswandi, penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara independen di Indonesia, 2020, fakultas hukum universitas muhammadiyah Yogyakarta
4. Montesquieu dalam the spirit of law book XI – 6
5. Peraturan perundang-undangan