Ada Kartini, Suwarsih, dan Rukiah di Bulan April

Konten dari Pengguna
27 April 2018 18:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari yerry wirawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
S Roekiah (Foto: istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
S Roekiah (Foto: istimewa)
ADVERTISEMENT
Bulan April seakan memiliki hubungan khusus dengan perempuan di Indonesia. Sekurangnya ada tiga perempuan penulis yang kebetulan lahir dalam bulan ini di periode yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Perempuan pertama, seperti telah umum ketahui, adalah Kartini lahir pada 21 April 1879. Nama Kartini telah sangat dikenal oleh masyarakat dan ketokohannya diakui dari Pemerintah Belanda hingga Pemerintah Indonesia. Pada tahun 1964 hari kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Kartini yang diperingati setiap tahunnya.
Berbeda dengan Kartini, dua perempuan penulis lainnya tidak sepopuler beliau. Dua perempuan penulis tersebut adalah Suwarsih Djojopuspito yang lahir persis di tanggal yang sama dengan Kartini yaitu 21 April tahun 1912 dan Rukiah Kertapati yang lahir 25 April 1927.
Seperti juga Kartini, kedua perempuan penulis ini Suwarsih Djojopuspito dan Rukiah Kertapati penting untuk digaris bawahi keberadaannya. Dengan menjadi penulis, Suwarsih dan Rukiah menerobos feodalisme dan keterbelakangan sistem masyarakat yang masih sangat kuat saat itu.
ADVERTISEMENT
Mereka menjadi contoh model perempuan modern terdidik di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas masih buta huruf dan umumnya anak perempuan sulit mendapatkan ijin bersekolah.
Di usia dewasanya, Suwarsih dan Rukiah menjalani kehidupan sebagai perempuan-perempuan merdeka. Dalam soal perjodohan, mereka tidak seperti adat perjodohan yang kaku. Suwarsih dan Rukiah menikah dengan pria-pria pilihannya sendiri. Suwarsih menikah dengan Sugondo Djojopuspito, seorang pria asal Yogyakarta yang menjadi mahasiswa Hukum dan tokoh penting Kongres Pemuda 1928 yang ditemuinya di Batavia. Rukiah menikah dengan Sidik Kertapati, seorang pria keturunan Bali dan tokoh penting pejuang revolusi fisik 1945-1949.
Di antara ketiga perempuan ini, sepertinya Suwarsih yang mengalami kehidupan paling beragam dalam periode ini. Suwarsih lahir dan besar dalam alam kebudayaan Sunda. Dia lahir di Cibatok, sekitar 12 km dari Bogor dengan ayah yang berasal dari Cirebon dan ibu dari keluarga Tionghoa Muslim. Dalam usia 6 tahun Suwarsih mendapat kesempatan mengenal pendidikan dan kebudayaan Belanda.
ADVERTISEMENT
Dia bersekolah di sekolah Kartini, sebuah sekolah yang dikelola oleh Yayasan van Denventer (sesuai nama pendirinya seorang tokoh penting Politik Etik) bagi anak-anak perempuan kalangan atas. Dalam masa dewasanya di kemudian hari, Suwarsih tinggal berpindah-pindah tempat mulai dari Bogor, Purwakarta, Bandung, Semarang hingga kemudian di Yogyakarta.
Tidak seperti Suwarsih, di masa mudanya Rukiah tidak berpindah-pindah tempat tinggal. Dia lahir dan besar di Purwakarta, sebuah kota kecil yang tenang tempat asal keluarganya berasal. Namun pada periode revolusi, Purwakarta, yang tidak jauh dari Karawang, Cikampek dan Bekasi menjadi bagian dari wilayah Republik dan front terdepan pertempuran.
Karenanya daerah ini dibanjiri pemuda-pemuda pejuang dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka lah yang kemudian mengubah wajah Purwakarta dan para generasi muda setempat termasuk Rukiah.
ADVERTISEMENT
Arti Penting Karya Sastra Suwarsih dan Rukiah
Karya penting dari Suwarsih adalah novel otobiografisnya yang berjudul Buiten Het Gareel yang ditulis dan diterbitkan tahun 1940 di Belanda. Awalnya, Suwarsih menuliskan novel dalam bahasa Sunda yang dikirimkannya ke Balai Pustaka. Namun karya ini ditolak karena isi dianggap tidak cocok dengan penerbitan Balai Pustaka.
Buku Buiten Het Gareel di Belanda sendiri belum bisa mencapai para pembaca di Indonesia dikarenakan perang dunia kedua yang berkecamuk di Eropa, karyanya ini baru dapat mencapai Tanah Air setelah penerbitan ulang tahun 1946.
Dengan novelnya ini, Suwarsih merupakan perempuan pertama Indonesia yang menerbitkan bukunya dalam bahasa Belanda. Di tahun 1975, buku ini kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Manusia Bebas. Dalam karyanya ini, Suwarsih menceritakan kehidupan sepasang suami istri yang bekerja sebagai guru dan sekaligus aktivis pergerakan nasional.
ADVERTISEMENT
Pasangan ini menggambarkan generasi muda Indonesia yang sebenarnya berlatar belakang kelas menengah namun sebagai aktivis pergerakan nasional dengan konsekuen menjalani hidup sederhana sebagai pilihan hidupnya.
Sedangkan Rukiah menjadi penulis kedua yang menerbitkan novelnya pada pasca perang yaitu Kedjatuhan dan Hati pada tahun 1950. Dua tahun kemudian beliau menerbitkan kumpulan cerita pendek dan puisi yang berjudul Tandus. Karyanya ini mendapatkan hadiah Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun 1953.
Karena bergabung dengan LEKRA, setelah Peristiwa 1965 karya-karya Rukiah ditarik dari peredaran dan namanya dihapus dari sejarah sastra Indonesia.
Dalam karyanya, Rukiah melukiskan kehidupan orang-orang sederhana di sebuah kota kecil yang mengalami perbenturan antara kebiasaan lama mereka dengan semangat perubahan yang dibawa oleh pejuang-pejuang revolusi.
ADVERTISEMENT
Atau dengan kata lain, karyanya ini menggambarkan pandangan perempuan muda melihat fase paling awal masyarakat Indonesia berkenalan dengan gagasan-gagasan revolusi.
Singkat kata, seperti juga karya Kartini, tulisan-tulisan Suwarsih dan Rukiah memberikan gambaran yang lebih luas akan kehidupan perempuan muda masing-masing dari sebuah era yang sangat penting dalam sejarah Indonesia.
Ketiganya menjadi bagian dalam sejarah: Kartini di awal kemunculan gagasan nasionalisme, Suwarsih di masa pergerakan nasional dan Rukiah di periode revolusi kemerdekaan. Sebuah kebetulan ketiganya lahir di bulan April. Karenanya bulan ini dapat dijadikan momentum bagi kita merayakannya dengan membaca karya-karya mereka.