Benfica dan Belenggu Bela Guttmann

8 Maret 2017 15:35 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Benfica, sulit lepas dari kutukan. (Foto: REUTERS/Pedro Nunes)
Mei 1990, seorang pria paruh baya berkulit legam berjalan dengan langkah berat ke sebuah pemakaman tua di pusat kota Wina, Austria. Di sana, bersemayam jasad pria yang dulu membimbingnya menuju kejayaan.
ADVERTISEMENT
Setelah menemukan makam sang guru, pria kulit hitam itu berlutut. Sembari berdoa kepada Yang Kuasa, dia tak lupa mengiba kepada dia yang tubuhnya terbaring enam kaki di bawah tanah.
Di momen itu, tangisnya pecah. Dengan suara parau, pria paruh baya itu memohon sejadi-jadinya agar sang guru mau melepas kutukan yang dia lontarkan hampir tiga dekade sebelumnya.
Pria kulit hitam itu adalah Eusebio da Silva Ferreira, seorang Portugis kelahiran Mozambik. Sang guru bernama Bela Guttmann, seorang Yahudi yang lahir, besar, dan akhirnya wafat di Wina. Kutukan yang dimaksud adalah kutukan yang dilontarkan Guttmann untuk tim sepak bola klub Benfica dari Lisbon.
Ketika muda dulu, seperti halnya Eusebio, Guttmann juga merupakan pesepak bola. Bermain sebagai pemain belakang, Bela Guttmann dikenal sebagai pemain yang enggan menggunakan kekuatan fisiknya. Selain karena memang posturnya yang tergolong kecil, Guttmann juga lebih menghargai kecerdasan. Dengan cara bermain yang elegan itu, dia sempat membawa Hakoah Vienna menjuarai Liga Austria pada tahun 1925.
ADVERTISEMENT
Namun, Guttmann si pesepak bola tidaklah sebesar Guttmann si pelatih sepak bola. Meski tidak buruk, kiprahnya sebagai pemain memang tidak sehebat ketika dia berdiri di tepi lapangan meneriakkan instruksi bagi anak-anak asuhnya. Puncaknya adalah ketika Bela Guttmann membawa Benfica menjadi jawara Eropa pada tahun 1961 dan 1962. Mereka, ketika itu, mampu memutus dominasi Real Madrid yang sebelumnya tak pernah absen mengangkat trofi sejak Piala Eropa pertama kali digulirkan. Benfica menjadi tim raksasa dan nama Eusebio, si pemain andalan, pun turut menjadi masyhur.
Merasa kinerjanya bagus, Guttmann kemudian mendatangi manajemen Benfica. Permintaannya sederhana dan seharusnya dapat dikabulkan dengan mudah. Guttmann, ketika itu, meminta kenaikan gaji.
Namun, para direktur Benfica bergeming. Mereka merasa itu semua belum apa-apa. Permintaan sang pelatih mereka tolak mentah-mentah.
ADVERTISEMENT
Mendengar penolakan itu, Guttmann meradang. Dia tidak terima karena sebelum dilatihnya, Benfica cuma jago kandang. Bagaimana mungkin prestasi di ajang antarklub Eropa tidak berarti apa-apa?
Guttmann pun kemudian memutuskan untuk hengkang dari Benfica. Dengan memendam rasa dongkol yang mendalam, ketika melangkahkan kaki keluar dari markas klub, dia melontarkan kutukan, "Tidak akan mungkin dalam 100 tahun kalian akan menjadi juara di Eropa!"
Dan benar saja. Sampai sekarang, hampir 55 tahun sudah, kutukan itu belum juga lepas. Meski Eusebio telah mengiba dan meratap di kuburnya lebih dari seperempat abad lalu, rasa sakit hati Bela Guttmann belum juga luntur.
Pada tahun 2014 lalu, Benfica berhasil melaju sampai ke final Liga Europa. Berhadapan dengan Sevilla di Juventus Stadium, mereka kalah adu penalti. Kegagalan Oscar Cardozo dan Rodrigo menaklukkan Beto -- yang sialnya merupakan kiper didikan rival sekota Benfica, Sporting CP -- membuat mereka harus kalah untuk kedelapan kalinya dalam delapan final terakhir.
ADVERTISEMENT
Sang Maestro, Bela Guttmann. (Foto: Wikimedia)
Suka tidak suka, percaya tidak percaya, kutukan Bela Guttmann itu memang ada. Meski sebenarnya bisa dijelaskan secara rasional, tetap saja delapan kekalahan dalam delapan final adalah sebuah hal yang absurd. Bagaimana bisa tidak ada satu laga pun yang mereka menangi?
Entahlah, yang jelas ketika menghadapi Sevilla tahun 2014 lalu, Benfica memang berada dalam posisi yang lebih tidak diunggulkan. Masalahnya, Sevilla memang jagoannya Liga Europa. Setelah sebelumnya menjadi juara pada 2006 dan 2007, mereka juga kemudian memenanginya pada 2014 tadi, lalu 2015, dan 2016.
Tetapi, apa yang dialami Benfica ini tetap saja sulit dicerna akal sehat. Pada dekade 1960-an, misalnya, mereka langsung kalah di tiga final Piala Eropa setelah Guttmann angkat kaki. Tahun 1963 mereka kalah dari Milan, dua tahun kemudian dari Internazionale, dan pada 1968 dari Manchester United. Lalu, pada 1988 dan 1990 mereka juga kalah di final Piala Eropa, masing-masing dari PSV Eindhoven dan Milan.
ADVERTISEMENT
Kekalahan dari Sevilla sendiri merupakan kekalahan ketiga mereka di turnamen Eropa kelas dua. Persis setahun sebelumnya, mereka ditaklukkan Chelsea. Sementara itu, kekalahan pertama terjadi pada tahun 1983 di tangan Anderlecht saat ajang itu masih disebut Piala UEFA.
Musim ini, Benfica masih berusaha untuk mementahkan kutukan Bela Guttmann tersebut. Perjalanan mereka pun saat ini masih belum terhenti. Apalagi, di leg pertama babak 16 besar Liga Champions melawan Borussia Dortmund, Luisao dkk. berhasil mengantongi kemenangan.
Namun, meski kenyang pengalaman di Eropa, Benfica bukanlah tim kelas satu seperti di dekade 1960-an dulu. Kini, Benfica paling banter berstatus kuda hitam dan meski berhasil meraih kemenangan, Dortmund tetap lebih diunggulkan dibanding mereka.
Bukan apa-apa, tetapi prestasi Dortmund di Eropa dalam beberapa tahun terakhir memang lebih meyakinkan. Jika Benfica "hanya" mampu menjadi runner-up dua kali di ajang Liga Europa, Dortmund "berhasil" menjadi runner-up di Liga Champions, meski hanya sekali. Anak-anak asuh Thomas Tuchel pun diyakini bakal mampu membalikkan keadaan untuk lolos ke babak perempat final.
ADVERTISEMENT
Tetapi, satu hal yang perlu diingat adalah bahwa di pertemuan pertama, Dortmund mati kutu. Pelatih Benfica, Rui Vitoria, secara jeli mampu melihat kekuatan utama Dortmund dan mematikannya. Dengan memasang Eliseu, Andre Carillo, Ljubomir Fejsa, dan Victor Lindelof di sisi kiri permainan, Benfica berhasil mematikan Ousmane Dembele yang jadi sumber utama serangan Dortmund.
Keberhasilan taktikal Vitoria itu menunjukkan bahwa meski kecil, Benfica tetap punya kans. Apalagi, Dortmund yang sekarang bukanlah Dortmund yang lolos ke partai final lima tahun lalu. Marco Reus dkk. saat ini lebih dikenal sebagai tim dengan level inkonsistensi tinggi dan Benfica seharusnya mampu mengeksploitasi itu.
Akan tetapi, seandainya mereka lolos pun, kemungkinan besar Benfica bakal berhadapan dengan raksasa-raksasa Eropa lain yang performa dan sumberdayanya jauh lebih meyakinkan. Real Madrid dan Bayern Muenchen, misalnya, sudah memastikan lolos ke babak perempat final.
ADVERTISEMENT
Jika Benfica ingin mencoba mematahkan kutukan Guttmann, Liga Champions jelas bukan tempat yang tepat. Setidaknya begitu di atas kertas. Selain itu, dua final Liga Europa pada dua musim berturut-turut juga menunjukkan bahwa saat ini, habitat yang pas bagi Benfica memang di turnamen level kedua.
Dengan begini, setidaknya untuk musim ini Benfica kemungkinan besar masih bakal belum bisa mematahkan kutukan Bela Guttmann tersebut. Tanpa mengurangi rasa hormat, Benfica memang kalah kelas.