Brian Clough dan Memori yang Bersemayam

21 September 2017 7:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Brian Clough (tengah) bersama dua pemainnya. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Brian Clough (tengah) bersama dua pemainnya. (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Mungkin hal ini mengejutkan, mungkin juga tidak. Akan tetapi, bagi Roy Keane, manajer terbaik yang pernah melatih dirinya bukanlah Sir Alex Ferguson, tetapi Brian Clough.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini keluar dari mulut Keane pada sebuah program dokumenter rilisan ITV yang berjudul Keane and Vieira: The Best of Enemies. Di situ, Keane bersama rival lawasnya, Patrick Vieira, bicara panjang lebar soal segala yang bisa dibicarakan soal karier menterang mereka di lapangan hijau.
Lalu pertanyaan itu muncul dari mulut Vieira dan Keane pun tanpa ragu menjawab bahwa Cloughie—sapaan karib Brian Clough—adalah sosok manajer terbaik.
Jawaban Keane itu bisa dibilang mengejutkan karena faktanya, dia adalah salah satu kapten terhebat sepanjang sejarah Manchester United. Di era Ferguson, boleh jadi malah dialah yang terbaik. Selama 12 musim berkostum "Iblis Merah", Keano sukses mempersembahkan 17 trofi.
Namun, jawaban itu juga menjadi tidak mengejutkan ketika kita menilik rekam jejak karier Keane sendiri di mana sebelum berkostum merah-putih milik United, pemain kelahiran 1971 ini sudah terlebih dahulu mengenakan kostum merah-putih milik Nottingham Forest. Tidak lama, memang. Hanya tiga musim, antara 1990 s/d 1993.
ADVERTISEMENT
Namun, di situlah Keane muda benar-benar dibentuk sebagai pemain. Berkat Forest-lah Keane kemudian sempat menjadi pemain termahal Britania.
Di Forest itulah Keane bersua dengan Brian Clough dan respek Keane untung sang manajer sudah lahir bahkan sejak hari-hari awalnya di Nottingham. Kala itu, Keane yang masih berusia belasan memang kerapkali merasa rindu dengan kampung halamannya di Cork sana. Melihat pemain mudanya kesulitan, Clough pun berbaik hati memberi izin agar Keane bisa sering pulang.
Apa yang dilakukan Clough ini memang tidak terdengar seperti apa yang seharusnya dilakukan sosok seperti Brian Clough. Di memori khalayak, yang kerapkali muncul apabila bahasan ihwal Clough muncul adalah mulut besar dan kontroversi-kontroversi. Tentunya ini selain prestasinya yang luar biasa sebagai seorang manajer.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya klub besar yang pernah ditangani Brian Clough adalah Leeds United dan di situ, dia justru mengalami masa-masa terburuknya. Bayangkan saja. Di Elland Road, dia hanya bertahan sebagai manajer selama 44 hari. Kisah inilah yang kemudian diabadikan lewat film 'The Damned United'.
Ada dua alasan utama mengapa Clough tidak sukses di Leeds. Pertama, karena pada dasarnya dia membenci klub itu dan kedua, karena di sana, dia tidak didampingi oleh Peter Taylor.
Clough datang ke Leeds untuk menjadi suksesor Don Revie yang ditunjuk untuk menangani Tim Nasional Inggris. Uniknya, Clough dan Revie dikenal sebagai dua sosok yang lebih baik tidak berada bersama-sama dalam satu ruangan. Bagi Clough, kesuksesan Revie di Leeds adalah hasil bermain curang.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa ketika dia jadi pengganti Revie, Clough kemudian mendiamkan para pemain kunci The Whites yang identik dengan permainan kotor Revie. Pemain-pemain yang dimaksud adalah Johnny Giles, Norman Hunter, dan Billy Bremner. Bahkan, dalam sebuah sesi latihan, dia konon pernah berkata, "Buang saja medali kalian itu karena kalian memenanginya dengan bermain curang!"
Sudah datang dengan membawa permusuhan, Clough ketika itu juga tidak didampingi Taylor. Alhasil, dia pun sama sekali tidak memiliki sekutu di Leeds dan akhirnya hanya bertahan selama 44 hari.
Lalu, siapa sebenarnya Peter Taylor ini dan mengapa dia begitu krusial bagi seorang Brian Clough?
Taylor dan Clough bertemu pertama kali pada tahun 1955 ketika mereka berdua sama-sama direkrut oleh Middlesbrough. Usia Taylor ketika itu 27 tahun; lebih tua tujuh tahun dari Clough. Jika Taylor adalah seorang penjaga gawang, maka Clough adalah seorang penyerang. Penyerang yang sangat tajam, malah, di mana dari 213 kali bermain, 197 gol berhasil dia cetak.
ADVERTISEMENT
Di balik kehebatannya itu, arogansi pun mulai muncul dari diri Clough. Yang menarik, sasaran tembak favorit Clough ketika itu adalah para pemain bertahan Boro yang memang sangat tidak becus. Malah, dalam beberapa kesempatan Clough pernah menuduh rekan-rekannya di lini belakang terlibat dalam pengaturan hasil pertandingan.
Namun, meski begitu geram dengan para pemain bertahannya, Clough justru menjalin kedekatan dengan Taylor yang notabene merupakan palang pintu terakhir pertahanan tim. Entahlah, mungkin di situ Clough juga ingin agar Taylor tak terlalu kerap menanggung derita.
Kedekatan ini akhirnya benar-benar membuat mereka menjadi dwitunggal. Awalnya adalah ketika Clough pensiun sebagai pemain di usia 30 tahun—setelah membela Sunderland selama tiga musim dan mencetak 54 gol dari 61 laga. Pada 1965, Hartlepools United—sekarang Hartlepool United—meminang Clough. Oleh Clough, Taylor yang kala itu berperan sebagai player-manager di Burton Albion pun ditarik untuk menjadi pendamping.
ADVERTISEMENT
Dua tahun di Hartlepools, Clough dan Taylor menerima pinangan Derby County yang sedang berjuang di Divisi Dua. Di Derby inilah akhirnya dwitunggal ini mulai menunjukkan kapasitas mereka yang sebenarnya. Dari Divisi Dua, The Rams berhasil mereka bawa ke kancah antarklub Eropa. Pada 1973, mereka melaju ke semifinal European Cup sebelum dikalahkan Juventus 1-3.
Setelah kekalahan itu, nama Clough pun semakin dikenal sebagai manajer yang ceplas-ceplos karena di situ, tanpa tedeng aling-aling, Clough mengata-ngatai Juventus dengan sebutan "bajingan licik". Trademark inilah yang nantinya akan dibawa Cloughie sampai akhir hayat.
Bersama Derby, Clough boleh gagal di Eropa. Akan tetapi, enam tahun setelah kekalahan itu, Clough dan Taylor akhirnya berhasil mengangkat "Si Kuping Besar" bersama Nottingham Forest.
ADVERTISEMENT
Kisahnya pun hampir serupa di mana Forest pun awalnya harus mereka angkat dulu dari Divisi Dua. Clough datang ke Forest pada 1975, sedangkan Taylor menyusul semusim berikutnya.
Pada 1978, Forest berhasil dibawa menjadi juara liga sebelum pada 1979, mereka mengalahkan Malmoe di final untuk merengkuh trofi European Cup. Semusim berikutnya, dengan berlaga sebagai juara bertahan, mereka pun sukses mempertahankan gelar usai menundukkan Hamburger. Sampai sekarang, ini adalah salah satu keberhasilan paling fenomenal di ajang yang kini disebut Liga Champions tersebut.
Clough dan Taylor akhirnya berpisah pada 1984 setelah Taylor memutuskan untuk kembali ke Brighton and Hove Albion. Clough sendiri meninggalkan Forest pada 1993; di tahun yang sama dengan kepergian Keane ke Manchester United.
ADVERTISEMENT
Tanpa Taylor, Clough "hanya" mampu mempersembahkan empat trofi tambahan untuk Forest yakni dua Piala Liga dan dua Full-Members Cup. Turnamen yang disebut belakangan itu merupakan "pengganti" European Cup ketika klub-klub Inggris sedang dihukum oleh UEFA menyusul Tragedi Heysel.
Masa-masa akhir Clough di Forest sendiri ternoda oleh sebuah skandal uang pelicin dalam proses transfer pemain. Skandal yang sama juga menimpa George Graham sebelum akhirnya dia diberhentikan Arsenal pada tahun 1995. Clough sendiri akhirnya tidak pernah terbukti bersalah dalam kasus itu meski Lord Alan Sugar, chairman Tottenham Hotspur kala itu, sudah bersaksi bahwa Clough sempat menerima uang pelicin dalam transfer Edward "Teddy" Sheringham tahun 1992.
Sejak saat itu, sampai akhirnya wafat karena kanker perut pada 2004, Clough tidak pernah lagi bersentuhan dengan klub sepak bola. Selain karena penyakit yang dideritanya itu, citra Clough sendiri—kecuali untuk orang-orang Nottingham dan Derby—sudah telanjur memburuk. Meski begitu, pada 2002, Clough akhirnya dimasukkan ke dalam Hall of Fame persepakbolaan Inggris.
ADVERTISEMENT
Tanggal 20 September, tepat 13 tahun lalu, Brian Clough mengembuskan napas terakhir. Namun, bagi sebagian orang, seperti Roy Keane atau 14 ribu orang yang menghadiri memorial service-nya di Pride Park, Brian Howard Clough tidak pernah benar-benar pergi.