news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Di Balik Sepak Bola, Gazprom yang Durjana Itu Berlindung

11 September 2017 15:46 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Logo Gazprom di Gedung Putih Moskow. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Logo Gazprom di Gedung Putih Moskow. (Foto: Reuters)
ADVERTISEMENT
Babak kedua memasuki menit kesembilan ketika Schalke, dengan kostum tandang biru salmonnya, mendapat hadiah sepak pojok. Dennis Aogo yang menjadi penendang memutuskan untuk mengirim bola langsung ke area kotak penalti tuan rumah, Basel.
ADVERTISEMENT
Bola kiriman Aogo itu dengan sigap disapu oleh salah seorang pemain Basel. Akan tetapi, justru sapuan itulah yang membawa petaka. Pasalnya, bola kemudian justru mengarah kepada Julian Draxler di luar kotak penalti. Tanpa ba-bi-bu, Draxler menghajar bola dengan tendangan voli kaki kanan.
Gol! Bola hasil tendangan Draxler itu meluncur deras ke bagian kiri atas gawang tanpa mampu dibendung Yann Sommer. Sampai wasit Alberto Mallenco meniup peluit panjang, Basel tak kunjung mampu membalas dan akhirnya, Schalke pun keluar sebagai pemenang pada laga itu.
Apa yang diperbuat Draxler itu memang spesial dan menunjukkan bahwa di usianya yang kala itu masih 20 tahun, pemain kelahiran Gladbeck itu sudah layak untuk mengenakan kostum nomor 10 The Royal Blues. Namun, ketika kita membicarakan pertandingan Liga Champions yang digelar pada 1 Oktober 2013 di St. Jakob's Park itu, bukan gol Draxler tersebut yang akan diingat pertama kali.
ADVERTISEMENT
Baru lima menit laga berjalan, empat orang berkostum oranye lengkap dengan helm meluncur turun dari atap stadion dengan menggunakan tali. Mereka tidak sendiri. Bersama mereka, turut serta pula sebuah spanduk raksasa berwarna kuning bertuliskan "Gazprom, don't foul the Arctic" dan "Free The Arctic 30". Dari spanduk tersebut kemudian diketahui bahwa yang aktor di balik aksi itu adalah organisasi pro-lingkungan, Greenpeace.
---
Pada saga transfer Neymar lalu, nama Javier Tebas mendadak jadi buah bibir di mana-mana. Presiden La Liga itu sepertinya memang betul-betul tidak bisa menerima fakta bahwa salah satu bintang terbesar di kompetisinya dibajak begitu saja oleh Paris Saint-Germain.
Yang dipermasalahkan Tebas di situ adalah bagaimana klub seperti PSG bisa memiliki uang sebesar 222 juta euro untuk membeli pemain dan tidak melanggar atauran Financial Fair Play dari UEFA. Menurut Tebas, jika pembeli Neymar adalah Manchester United yang secara konsisten berada di tiga besar klub paling berharga di dunia selama bertahun-tahun, hal itu tidak akan menjadi masalah.
ADVERTISEMENT
Tebas pun menuduh PSG mendapat doping finansial dan sumbernya tak lain dan tak bukan adalah Qatar di mana perusahaan induk Les Parisien, Qatar Sports Investment, berlaku sebagai perantara.
Di saat yang hampir bersamaan, manajer Arsenal, Arsene Wenger, juga turut mengomentari proses transfer Neymar tersebut. Ketika itu, Wenger menyebut bahwa di sini, yang bermain sudah bukan klub lagi tetapi negara.
Bicara soal keterlibatan negara dalam sepak bola profesional, QSI bukan yang pertama dan rasanya takkan jadi yang terakhir. 12 tahun sebelum Qatar membeli Neymar—dan kemudian juga Kylian Mbappe—, Rusia, sebagai sebuah negara, telah menancapkan kuku di sepak bola profesional dengan mengakuisisi Zenit St. Petersburg. Seperti halnya Qatar, Rusia juga menggunakan perantara di situ dan perantara yang dimaksud adalah Gazprom.
ADVERTISEMENT
Gazprom mengakuisisi Zenit pada 2005 setelah sebelumnya, mulai terlibat di sana dengan menjadi sponsor pada 1999. Kebetulan, Putin pertama kali menjabat sebagai perdana menteri Rusia pada tahun tersebut.
Pada prosesnya, Gazprom mengubah klub itu menjadi salah satu klub terkuat di Rusia dan Eropa. Bahkan, pada tahun 2008 lalu, mereka menjadi klub Rusia pertama (dan satu-satunya) yang mampu menjadi juara di kompetisi antarklub Eropa. Pada final Piala UEFA tahun tersebut, klub yang berdiri tahun 1925 ini menuntaskan perlawanan Rangers.
Zenit saat menjuarai Piala UEFA 2008. (Foto: Dok. UEFA)
zoom-in-whitePerbesar
Zenit saat menjuarai Piala UEFA 2008. (Foto: Dok. UEFA)
Zenit adalah awal dari segalanya. Pasalnya, langkah Gazprom tidak berhenti begitu saja. Schalke 04, sebuah klub kaya sejarah dari lembah Ruhr di Jerman, menjadi pemberhentian berikut sebelum akhirnya, Crvena Zvezda, Chelsea, hingga UEFA dan FIFA jatuh ke cengkeraman mereka.
ADVERTISEMENT
Memulai dari Zenit adalah langkah yang paling masuk akal bagi mereka, mengingat St. Petersburg—dulu disebut Leningrad—adalah kota kelahiran Vladimir Putin. Di sana, mereka mengawai apa yang di kemudian hari bisa disebut sebagai "pencucian reputasi".
Bahwa Gazprom adalah sebuah perusahaan yang patut dipertanyakan, itu sudah jadi rahasia umum. Pertama kali didirikan oleh pemerintah Uni Soviet pada tahun 1960-an sebagai Kementerian Industri Gas, Gazprom menjadi "mandiri" pada 1989 sebelum akhirnya (di atas kertas) jadi perusahaan publik pada pertengahan 1990-an.
Meski begitu, campur tangan pemerintah Rusia di sana sangatlah besar. Meski sudah melantai di bursa saham, secara teknis, Gazprom masih jadi milik pemerintah yang menguasai 51% saham sejak 2005. Sebagai pemilik "mayoritas", pemerintah Rusia pun berhak atas monopoli ekspor gas produksi Gazprom.
ADVERTISEMENT
Perlu dicatat bahwa produksi gas perusahaan ini sangatlah besar di mana 72% produksi gas Rusia dilakukan oleh mereka. Jika dikonversi ke level dunia, Gazprom menguasai 15% hasil produksi. Mereka pun bertanggung jawab atas 8% produk domestik bruto Rusia.
Semua yang dicapai Gazprom ini tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Vladimir Putin. Pada tahun 2001, Putin menyingkirkan Rem Vyakhirev dari posisi sebagai CEO dan sejak itu, pria kelahiran 1952 ini benar-benar menjadi dalang dari semua yang terjadi di perusahaan.
Di sana, dia memasukkan orang-orang dekatnya, seperti Viktor Zubov (mantan Perdana Menteri Rusia) dan Alexei Miller (mantan Deputi Menteri Energi Rusia), sebagai CEO. Sejak itulah Gazprom praktis menjadi milik sang pemimpin Rusia dan dalam prosesnya, menjadi alat untuk menjalankan kebijakan luar negeri. Salah satu buktinya adalah bagaimana Crvena Zvezda bisa jatuh ke cengkeraman Gazprom.
ADVERTISEMENT
Crvena Zvezda diselamatkan Gazprom. (Foto: Reuters/Marko Djurica)
zoom-in-whitePerbesar
Crvena Zvezda diselamatkan Gazprom. (Foto: Reuters/Marko Djurica)
Meski Perang Dingin secara resmi telah usai hampir tiga dekade lalu, keberadaan "Blok Barat" dan "Blok Timur" sebenarnya tidak pernah berhenti. Untuk membendung pengaruh Uni Eropa, Putin pun mengampanyekan Pan Slavia Raya di kawasan Balkan yang kebetulan, menggantungkan sebagian besar suplai gasnya dari Rusia.
Salah satu upaya untuk mewujudkan Pan Slavia Raya ini adalah dengan menyelamatkan Crvena Zvezda dari kebangkrutan. Status sebagai klub paling ikonik dari Serbia membuat langkah Gazprom untuk menyelamatkan Crvena Zvezda ini sangatlah logis. Dua kali Gazprom melakukan hal ini. Pertama pada 2010 dan kedua, pada tahun 2014 ketika Crvena Zvezda ditolak masuk Liga Champions lantaran belum memenuhi kewajiban gaji.
Selain Serbia, Jerman juga menjadi target utama dari Gazprom. Pasalnya, Jerman adalah salah satu pasar terbesar mereka di mana 35% impor gas Jerman berasal dari perusahaan ini.
ADVERTISEMENT
Untuk mengamankan Jerman sebagai pasar, Gazprom pun menunjuk mantan kanselir, Gerhard Schroeder, sebagai chairman Nordstream. Nordstream sendiri merupakan perusahaan pipa gas Balkan yang menghubungkan Rusia dengan Jerman. Yang menarik, meski merupakan suporter Borussia Dortmund, Schroeder-lah yang kemudian menyarankan kepada Gazprom agar membantu Schalke yang pada pertengahan 2000-an lalu sedang dilanda krisis keuangan.
Jadilah kemudian Gazprom menyelamatkan Schalke dan cara yang mereka lakukan pun sederhana saja, yakni dengan menjadi sponsor dada klub asal Gelsenkirchen tersebut. Sejak 2007 hingga kini, Schalke masih menjadi papan iklan berjalan bagi Gazprom.
Klub terakhir yang punya relasi dengan Gazprom adalah Chelsea dan hal ini dapat dengan mudah dilacak sampai ke tahun 2005 ketika Roman Abramovich menjual perusahaan minyaknya, Sibneft, kepada Gazprom. Tujuh tahun berselang, Gazprom menjadi sponsor energi Chelsea dan banyak pihak yang menuding bahwa hal itu merupakan akal-akalan Abramovich untuk mengadali aturan FFP yang menyebutkan bahwa pemilik klub tidak boleh menyalurkan uang pribadi untuk kepentingan klub.
ADVERTISEMENT
Gazprom sendiri sebenarnya tidak hanya berkecimpung di sepak bola, tetapi aktivitas mereka di olahraga inilah yang kemudian membuat nama mereka dikenal khalayak. Dengan berlindung di balik jargon The Beautiful Game, Gazprom berusaha memulihkan reputasi mereka yang ternoda karena korupsi, kolusi, dan nepotisme Vladimir Putin.
Schalke jadi "wakil" Gazprom di Jerman. (Foto: Reuters/Wolfgang Rattay)
zoom-in-whitePerbesar
Schalke jadi "wakil" Gazprom di Jerman. (Foto: Reuters/Wolfgang Rattay)
Selain korupsi yang dilakukan Putin, nama Gazprom juga ternoda ketika Yulia Tymoshenko, lewat Wikileaks, membeberkan keterlibatan mafia Rusia di dalamnya. Dalam dokumen milik Tymoshenko tersebut, disebutkan bahwa Gazprom memiliki 50% saham di RosUkrEnergo, sebuah perusahaan energi Ukraina, dan 50% saham lainnya dimiliki oleh Dmitry Firtash.
Akan tetapi, Firtash di situ sebenarnya hanya boneka. Sedangkan, sosok yang benar-benar mengontrol saham milik Firtash itu adalah seorang mafia Rusia bernama Semyon Mogilevich.
ADVERTISEMENT
Reputasi-reputasi miring inilah yang ingin dihapus, atau lebih tepatnya dicuci, oleh Gazprom lewat sepak bola. Hal ini sebenarnya pernah dikatakan Alexei Miller ketika pada 2012 lalu, Gazprom untuk pertama kalinya menjalin kerja sama dengan UEFA.
"Saya yakin kerja sama ini akan meningkatkan reputasi Gazprom dan meningkatkan brand awareness kami di level global," ujar Miller kala itu. Normatif, memang, tetapi persis seperti itulah yang dilakukan Gazprom saat ini. Setelah UEFA, mereka pun juga menjalin relasi dengan FIFA hingga akhirnya menjadi salah satu sponsor utama Piala Dunia 2018.
Meski begitu, tak semua orang tertipu dan para aktivis Greenpeace di St. Jakob's Park adalah contohnya. Selain kontroversi-kontroversi yang disebut di atas, Gazprom juga bertanggung jawab atas pengeboran minyak tak bertanggung jawab di lingkar Arktik. Lewat aksi protesnya tadi, mereka berusaha untuk membuka mata para suporter sepak bola agar tidak diam saja melihat permainan yang mereka cintai dinodai oleh Gazprom dan Putin.
ADVERTISEMENT
Namun, sepertinya apa yang dilakukan oleh para aktivis Greenpeace itu hanya masuk dari kuping kanan dan keluar lewat kuping kiri. Masalahnya, selama klub mereka bisa berprestasi, para suporter bakal tetap terbuai dan hal ini tak hanya berlaku untuk klub-klub yang disponsori Gazprom saja.
Dengan mensponsori Liga Champions, Gazprom secara tidak langsung juga berkontribusi secara finansial terhadap klub-klub elite Eropa lainnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai investasi kultural dan sejauh ini, upaya itu berhasil. Entahlah. Mungkin, jika Karl Marx hidup di zaman modern ini, yang disebutnya sebagai candu bukanlah agama, melainkan sepak bola.