Dua Kali Setahun, Inter dan Milan Berebut Restu Bunda Maria

18 Oktober 2018 15:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pemain Inter memberi guard of honour untuk Milan. (Foto: AFP/Giuseppe Cacace)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain Inter memberi guard of honour untuk Milan. (Foto: AFP/Giuseppe Cacace)
ADVERTISEMENT
Ketika ada dua talenta yang sama hebatnya dan menghuni posisi yang sama, apa yang akan Anda lakukan? Memainkan keduanya atau mengorbankan salah satunya? Ferruccio Valcareggi tidak memilih dua opsi tersebut. Tatkala dihadapkan pada dilema demikian, Valcareggi memilih untuk mengambil jalan tengah. Satu kesempatan diberikan pada masing-masing talenta, dengan porsi yang sama, dalam setiap pertandingan.
ADVERTISEMENT
Staffetta, demikian kebijakan Valcareggi itu disebut. Secara harfiah, staffetta berarti estafet. Dalam kebijakan tersebut, Valcareggi akan memainkan salah satu dari dua talenta hebat yang dimilikinya tersebut untuk kemudian menariknya keluar dan memasukkan talenta lainnya. Di Piala Dunia 1970, itulah salah satu resep keberhasilan Timnas Italia untuk mencapai babak final.
Dua talenta yang dimaksud adalah Sandro Mazzola dan Gianni Rivera. Keduanya sama-sama merupakan gelandang serang, atau trequartista, yang biasa beroperasi di belakang striker. Meski begitu, dua pemain ini punya cara dan pendekatan bermain berbeda.
Mazzola tidak punya teknik dan visi sebagus Rivera. Akan tetapi, kekurangan itu dia tutupi dengan etos kerja dan kemampuan fisik yang bakal membuat siapa pun berdecak kagum. Tak cuma itu, Mazzola juga punya fleksibilitas posisional yang lebih bagus ketimbang sang kolega. Jika Rivera lebih sering beroperasi di titik pusat serangan, Mazzola doyan menjelajah sampai ke tepi lapangan.
ADVERTISEMENT
Kemampuan yang dimiliki Mazzola dan Rivera memang berbeda, tetapi soal influens, jangan tanya. Dua pemain itu adalah bintang terbesar Italia pada masanya. Di level klub pun mereka sama-sama sukses. Mazzola adalah tumpuan Grande Inter era Helenio Herrera, sementara Rivera adalah pengatur permainan Milan yang besar bersama Nereo Rocco.
Dua pemain itu datang dari dua kutub berbeda, bermain untuk dua klub yang senantiasa saling sikut, dan Valcareggi pun percaya bahwa mereka tidak bisa dimainkan secara bersamaan. Sang commissario tecnico memilih untuk memainkan Mazzola sebagai starter. Selalu begitu. Di pergantian babak, barulah kemudian dia menarik Mazzola dan memasukkan Rivera. Staffetta.
Kebijakan itu berbuah manis. Puncaknya adalah pada laga semifinal menghadapi Meksiko. Rivera yang masuk di babak kedua berhasil mengangkat penampilan Italia lewat dua golnya sekaligus memastikan tiket ke final berkat kemenangan 4-1 atas tim tuan rumah tersebut. Akan tetapi, semua harmoni itu rusak pada babak final.
ADVERTISEMENT
Valcareggi, pada babak final menghadapi Brasil, menanggalkan kebijakan yang dia buat sendiri. Mazzola memang masih dia mainkan sejak awal pertandingan. Namun, dalam pertandingan yang dilangsungkan di Estadio Azteca itu, Rivera baru tampak batang hidungnya pada menit ke-84. Saat itu, Italia sudah kadung tertinggal 1-3 dan akhirnya, Rivera pun tak mampu berbuat banyak. Brasil menang 4-1 di akhir laga dan berhak atas trofi Jules Rimet untuk kali ketiga.
***
Kisah rivalitas Mazzola dan Rivera ini merupakan salah satu folklor termasyhur di sejarah sepak bola Italia. Banyak perandaian muncul dari sana. Bagaimana jika Rivera diberi kepercayaan lebih oleh Valcareggi? Bagaimana jika sedari awal mereka sebenarnya bisa dimainkan secara bersamaan? Bagaimana jika begini dan bagaimana jika begitu, banyak sekali.
ADVERTISEMENT
Kisah Mazzola dan Rivera adalah kisah tentang tragedi. Empat tahun sebelum kekalahan menyesakkan di Azteca itu, kedua pemain ini sebetulnya telah menjadi bagian dari bencana nasional yang lebih besar. Menghadapi tim anak bawang Korea Utara di Ayresome Park, Middlesbrough, Mazzola dan Rivera tak mampu menyelematkan Italia dari kekalahan 0-1.
Kekalahan dari Korut di Piala Dunia 1966 itu, sampai sekarang, masih dianggap sebagai salah satu kekalahan terburuk Gli Azzurri dalam sejarah. Bahkan, kekalahan tersebut nantinya membuahkan kebijakan pelarangan penggunaan pemain asing di Serie A. Pelarangan itu akhirnya baru dicabut pada 1980.
Akan tetapi, tragedi hanya mengiringi langkah Mazzola dan Rivera di ajang antarnegara. Ceritanya sangat berbeda ketika kita berbicara soal pencapaian mereka di level klub. Pada masa itu, Mazzola dan Rivera adalah simbol dari era keemasan Milan dan Inter. Di saat Juventus sedang mengalami penurunan, Internazionale dan Milan menjelma jadi raksasa yang membuat klub mana pun, bahkan di seantero Eropa, bergidik.
ADVERTISEMENT
Dekade 1960-an memang merupakan puncak dari rivalitas Inter dan Milan. Kala itu, jangankan Scudetto, trofi European Cup pun secara bergantian mereka rebut. Bersama Benfica, Manchester United, Real Madrid, serta Celtic, Inter dan Milan adalah penguasa sepak bola Eropa pada masa itu dengan raihan total empat trofi di antara mereka.
Gianni Rivera (atas, ketiga dari kiri) dan Sandro Mazzola (bawah, paling kanan) saat memperkuat Timnas Italia. (Foto: AFP/Staff)
zoom-in-whitePerbesar
Gianni Rivera (atas, ketiga dari kiri) dan Sandro Mazzola (bawah, paling kanan) saat memperkuat Timnas Italia. (Foto: AFP/Staff)
Sebenarnya, tidak banyak perbedaan antara Inter dan Milan ketika itu. Mereka memainkan sepak bola yang berasal dari sekolah pemikiran yang sama: Catenaccio. Nereo Rocco adalah suksesor Bapak Catenaccio Italia, Beppe Viani, di Milan. Sedangkan, Helenio Herrera yang besar bersama Milan itu membuat Catenaccio jadi sebuah kata sakti bagi persepakbolaan Italia.
Pada era kepelatihan Herrera dan Rocco inilah rivalitas Inter dan Milan jadi begitu melegenda. Di sini, Derby della Madonnina berhenti menjadi istilah yang asing di kuping. Berkat jasa kedua orang itu, Derby di Milano jadi sebuah tanggal penting di almanak orang-orang yang bernapas dengan sepak bola.
ADVERTISEMENT
***
Bukan rahasia jika Italia adalah salah satu tempat dengan napas Katolik yang begitu kental. Sri Paus, pada dasarnya, tinggal di Italia walaupun secara teknis dia bermukim di sebuah negara berdaulat bernama Vatikan. Inilah mengapa, di setiap kota Italia pasti ada produk budaya Katolik yang melegenda. Khusus di kota Milan, ada patung Madonnina.
Dalam bahasa Indonesia, Madonnina berarti 'Bunda Maria Kecil'. Patung ini terdapat di Duomo di Milano alias Katedral Milan yang bergaya gotik itu. Di atas katedral tersebut, awalnya dibangun sebuah menara kecil yang disebut guglia del tiburio alias menara lentera. Sebagai penghias menara itu, diukirlah patung Bunda Maria kecil berlapis emas oleh Carlo Pellicani. Itulah Madonnina, Bunda Maria Kecil pelindung kota Milan.
ADVERTISEMENT
Ada sebuah relasi romantis antara penduduk kota Milan dan Madonnina. Di kota yang dikenal sebagai pusat mode dunia itu, tidak boleh ada bangunan yang tingginya melebihi Madonnina. Pada akhirnya, memang ada bangunan-bangunan baru yang dibangun melebihi tinggi Madonnina, tetapi itu semua mereka akali dengan menempatkan Madonnina-Madonnina tiruan di tempat lain sehingga, pada akhirnya, tetap tak ada bangunan yang lebih tinggi dari Sang Bunda.
Romansa antara warga Milan dan Madonnina-nya ini salah satunya terwujud dalam sebuah lagu rakyat berjudul 'O Mia Bela Madunina'. Jika di-bahasa Indonesia-kan, judul lagu itu berarti 'Oh, Madonna Kecilku yang Cantik'. Lagu itu sendiri secara khusus ditulis oleh komponis Giovanni D'Anzi dalam dialek Milanese dan akhirnya jadi anthem tidak resmi kota Milan.
ADVERTISEMENT
Dalam persepakbolaan Italia, sebuah derbi hampir selalu diasosiasikan dengan perebutan simbol kota. Genoa, misalnya, punya Derby della Lanterna, sementara Turin punya Derby della Mole. Lanterna, dalam derbi Genoa tersebut, adalah sebuah mercusuar tua yang telah berdiri sejak 1128 Masehi. Mercusuar itu adalah simbol Genoa yang merupakan kota pelabuhan.
Patung Madonnina di Katedral Milan. (Foto: AFP/Giuseppe Cacace)
zoom-in-whitePerbesar
Patung Madonnina di Katedral Milan. (Foto: AFP/Giuseppe Cacace)
Di Turin, Mole yang dimaksud dalam Derby della Mole adalah sebuah gedung bernama Mole Antonelliana. Awalnya, gedung itu merupakan sinagoga, tetapi saat ini ia beralih fungsi menjadi Museum Film Nasional. Gedung ini dibangun pada 1863 menyusul Unifikasi Italia yang memang berpusat di Piemonte -- di mana Turin adalah ibu kotanya -- dan sejak itulah ia menjadi simbol kota.
Lanterna, Mole, Madonnina. Semua punya fungsi sama. Maka dari itu, derbi antara Genoa dan Sampdoria, Juventus dan Torino, serta Internazionale dan Milan pada dasarnya punya tujuan yang sama. Yakni, merebut hak atas simbol kota itu dari saudaranya.
ADVERTISEMENT
***
Bicara soal saudara, Inter dan Milan awalnya berasal dari satu rahim. Milan didirikan oleh seorang pria Inggris bernama Herbert Kilpin pada 1899. Awalnya, Milan adalah klub yang hanya menerima pemain berdarah Inggris dan Italia. Akan tetapi, seiring dengan makin lunturnya pengaruh Inggris -- kecuali soal nama di mana 'Milan' adalah nama Inggris untuk 'Milano' --, Milan berubah jadi sebuah klub yang secara khusus menerima pemain Italia saja.
Inilah yang kemudian memicu perpecahan. Akhirnya, pada 1908, secara resmi Internazionale Milano, atau Inter, didirikan. Di klub ini, rekrutmen lebih terbuka di mana pemain-pemain asing, khususnya mereka yang berasal dari Swiss, diizinkan untuk bergabung. Pendirian Inter ini kemudian Milan mengalami masa kemunduran.
ADVERTISEMENT
Sebelum Inter lahir, Milan adalah satu-satunya tim yang berhasil menghentikan dominasi Genoa di persepakbolaan Italia. Namun, setelah gelar juara ketiga yang diraih pada 1907, Milan harus puasa gelar sampai lebih dari empat dekade. Pada musim 1950/51, barulah Milan berhasil jadi juara kembali. Di kala Milan mengalami paceklik tersebut, Inter sanggup mengumpulkan enam trofi juara liga dan Coppa Italia, termasuk saat sempat bernama Ambrosiana.
Keberhasilan Inter di kala Milan tenggelam itulah yang akhirnya membuat para pendukung Nerazzurri menyebut stadion mereka dengan sebutan Stadio Giuseppe Meazza. Sebaliknya, para pendukung Milan sampai sekarang tetap menyebut stadion itu sebagai San Siro, merujuk pada lokasi tempatnya berada.
Secara resmi, sejak 1980 nama stadion tersebut memang berubah dari San Siro menjadi Giuseppe Meazza. Nama itu diambil dari nama legenda sepak bola Italia era 1920-an s/d 1930-an. Nama Meazza dipilih karena pria yang dikenal sebagai seorang hedonis itu memang pernah bermain untuk Inter dan Milan. Akan tetapi, namanya besar bersama Inter. Sedangkan, Milan hanya menikmati ampas kehebatan Meazza.
ADVERTISEMENT
Oleh pendukung Milan, stadion ini disebut San Siro, oleh suporter Inter, ia disebut Giuseppe Meazza. (Foto: AFP/Miguel Medina)
zoom-in-whitePerbesar
Oleh pendukung Milan, stadion ini disebut San Siro, oleh suporter Inter, ia disebut Giuseppe Meazza. (Foto: AFP/Miguel Medina)
Kebangkitan Milan di era 1950-an tadi tidak lepas dari keberhasilan mereka mendatangkan legenda-legenda sepak bola seperti Cesare Maldini sampai Gunnar Gren, Gunnar Nordahl, dan Nils Liedholm yang belakangan disebut sebagai Trio GreNoLi. Pelatih tersukses mereka pada era ini adalah sosok yang digantikan Rocco, Beppe Viani.
Sejak itulah Derbi Milan menjadi derbi yang besar. Kesuksesan kedua klub tersebut menjadi pendorong. Bahkan, rivalitas mereka tak lagi berkutat di ranah domestik saja. Di level Eropa, kedua klub ini juga pernah terlibat persaingan sengit yang berujung pada kerusuhan di sebuah pertandingan Liga Champions musim 2004/05.
***
Awalnya, Derbi Milan ini lebih dari sekadar derbi antara klub yang menolak pemain asing dan klub yang menyambut mereka dengan tangan terbuka. Secara natural, basis penggemar pun terbentuk di kota. Mereka yang menyukai Milan biasanya masyarakat kelas menengah ke bawah. Sementara, para penyokong Inter umumnya berasal dari kalangan borjuis, kecil maupun besar.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, stereotip tersebut perlahan memudar seiring dengan meningkatnya popularitas kedua kesebelasan tersebut. Saat ini, Inter dan Milan tak lagi cuma milik mereka yang bermukim di sana. Lebih dari itu, kedua kesebelasan tersebut adalah milik sepak bola dunia. Kejayaan mereka dirayakan dan kejatuhan mereka diratapi oleh banyak sekali manusia di seluruh penjuru bumi.
Setelah pada era 1960-an, puncak kejayaan rivalitas Inter dan Milan pernah terjadi lagi pada era 2000-an. Akan tetapi, memasuki dekade kedua di milenium ketiga, pamor derbi ini sempat mengalami penurunan akibat krisis ekonomi dan prestasi yang melanda keduanya. Beruntung, pergantian kepemilikan mampu membuat kualitas perseteruan Inter dan Milan menanjak kembali.
Saat ini, Inter dan Milan memang masih belum betul-betul kembali ke khitahnya. Namun, jalan yang benar sudah mereka tempuh. Baik Nerazzurri maupun Rossoneri sama-sama sedang membangun ulang kekuatannya. Sejauh ini, Inter masih unggul karena mereka tengah berada di papan atas. Walau demikian, Milan pun tak bisa diremehkan karena tren permainan mereka terus membaik dari pekan ke pekan.
ADVERTISEMENT