Hikayat Kesebelasan Paling Dibenci se-Jerman

13 September 2017 16:27 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
RB Leipzig (Foto: Reuters/Wolfgang Rattay)
zoom-in-whitePerbesar
RB Leipzig (Foto: Reuters/Wolfgang Rattay)
ADVERTISEMENT
Untuk sebuah klub yang menggunakan kata-kata "pekarangan" di nama mereka, RasenBallsport Leipzig tentu sudah terlalu besar untuk menggelar pertandingan mereka di sebuah pekarangan. Alih-alih pekarangan, RB Leipzig sejak 2010 lalu, atau hanya setahun setelah didirikan, sudah menggelar pertandingan-pertandingannya di Zentralstadion Leipzig yang berkapasitas lebih dari 40 ribu penonton.
ADVERTISEMENT
Dulu, ketika pertama kali dibuka pada 1956, Zentralstadion adalah salah satu stadion terbesar di Eropa. Kapasitasnya ketika itu bisa mencapai 100 ribu penonton. Namun, karena biaya perawatan yang terlampau tinggi, pemerintah setempat kemudian meruntuhkan Zentralstadion yang lama dan membangun stadion baru khusus sepak bola di area yang sama.
Pembangunan Zentralstadion baru itu berlangsung selama empat tahun. Setelah selesai pada 2004, stadion ini juga kemudian digunakan sebagai salah satu venue Piala Dunia 2006.
Belanda, Serbia & Montenegro, Spanyol, Ukraina, Prancis, Korea Selatan, Iran, Angola, Argentina, dan Meksiko adalah negara-ngara peserta yang cukup beruntung karena ketika itu, mereka berkesempatan menyambangi satu-satunya kota eks-Jerman Timur yang ditunjuk jadi tuan rumah turnamen.
Namun, itulah kali terakhir Zentralstadion menggelar pertandingan berprofil tinggi. Setidaknya begitu sampai akhirnya, stadion itu jatuh ke pelukan RasenBallsport Leipzig.
ADVERTISEMENT
RB Leipzig, meski bernama Leipzig, sebenarnya tidak berasal dari kota itu. Sampai tahun 2009 lalu, klub ini belum eksis. Yang ada ketika itu adalah SSV Markranstaedt, sebuah klub divisi lima dari kota tetangga. SSV Markranstaedt inilah yang kemudian bertransformasi menjadi RB Leipzig.
Prosesnya sama sekali tidak sulit. Menurut Andreas Stamkoetter, sama sekali tidak ada kontroversi dalam proses penjualan tersebut.
"Semua anggota direksi menyetujui penjulan tersebut. Para member juga setuju," kisahnnya.
Stamkoetter adalah seorang pengacara. Pada 2009 lalu, dia diminta pihak Markranstaedt untuk bernegosiasi dengan perwakilan dari Austria yang merupakan calon pembeli klub kelahiran 1990 itu. Mereka yang datang dari negara tetangga itu adalah orang-orang suruhan Dietrich Mateschitz, pemilik perusahaan minuman berenergi Red Bull.
ADVERTISEMENT
Bagi Mateschitz, Jerman adalah sebuah tantangan tersendiri. Red Bull memang sudah tidak asing lagi dengan olahraga. Di Formula 1 dan olahraga ekstrem, perusahaan satu ini sudah menjadi nama yang nyaris tak terpisahkan. Keberhasilan Sebastian Vettel menjuarai F1 antara 2010 sampai 2013 mematri nama Red Bull di benak pencinta balap jet darat ini. Kemudian, ketika Felix Baumgartner terjun bebas dari stratosfer pada 2012 lalu, Red Bull juga menjadi sponsor di belakangnya.
Dietrich Mateschitz bersama Daniel Ricciardo. (Foto: Dok. Red Bull)
zoom-in-whitePerbesar
Dietrich Mateschitz bersama Daniel Ricciardo. (Foto: Dok. Red Bull)
Namun, sepopuler-populernya dua olahraga tadi, mereka bukanlah sepak bola dan Mateschitz tahu itu. Pria 73 tahun ini bukannya belum pernah mencoba. Sebelumnya, Red Bull sudah terlebih dahulu membeli Austria Salzburg dan New York/New Jersey MetroStars pada 2005 dan 2006. Kedua klub itu kemudian berubah nama menjadi Red Bull Salzburg dan New York Red Bulls. Setahun berselang, Red Bull juga membuka cabang di Brasil dengan mendirikan Red Bull Brazil.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, itu semua belum cukup karena ketiga klub milik Red Bull itu tidak ada yang berlaga di kompetisi top dunia. Maka dari itu, Mateschitz pun mengarahkan pandangannya ke Jerman. Jerman sebelah timur, tepatnya.
Pasca-Perang Dingin, transisi menuju kapitalisme untuk kota dan wilayah eks-Jerman Timur memang sama sekali tidak mulus. Kerapkali, mereka masih harus menggantungkan diri pada subsidi dari "saudara" mereka di barat. Lambatnya pertumbuhan ekonomi ini pada akhirnya berimbas juga pada dunia sepak bola. Bahkan, tanda-tanda sulitnya Timur bersaing dengan Barat ini sudah terlihat sejak Bundesliga mulai dilebur dengan Oberliga pada musim 1991/92.
Ketika itu, dua tim terkuat Oberliga, Dynamo Dresden dan Hansa Rostock, diikutsertakan dalam Bundesliga. Di situ, Hansa berlaga sebagai kampiun terakhir Oberliga. Namun, di akhir musim itu, seteru Sankt Pauli tersebut harus langsung terdegradasi. Sementara, Dynamo hanya mampu finis di peringkat ke-14 dari 20 peserta.
ADVERTISEMENT
Gambaran seperti ini pun terus terjadi di arena sepak bola. Bahkan, terakhir kali ada klub eks-Oberliga yang berlaga di Bundesliga adalah pada musim 2008/09 lalu. Klub itu adalah Energie Cottbus. Sejak terdegradasi pada musim itu, klub kesayangan Angela Merkel ini belum pernah kembali lagi ke level teratas. Di saat yang bersamaan, Red Bull datang ke Leipzig.
Meteor dari Jerman Timur: RB Leipzig (Foto: Reuters/Kai Pfaffenbach)
zoom-in-whitePerbesar
Meteor dari Jerman Timur: RB Leipzig (Foto: Reuters/Kai Pfaffenbach)
Leipzig sendiri adalah kota yang sangat dinamis. Dulu, dari kota inilah lahir protes untuk menentang pemerintahan komunis Jerman Timur. Akan tetapi, setelah itu mereka justru menjadi salah satu kota yang paling tersiksa dengan kapitalisme. Dalam kurun waktu 1989 s/d 1998, mereka kehilangan hampir seratus ribu penduduk karena lesunya perekonomian.
Namun, kini wajah kota itu sudah mulai berubah. Bahkan, menurut proyeksi, di tahun 2020 nanti, jumlah penduduk di kota ini bisa mencapai angka 600 ribu jiwa dari sebelumnya 450 ribu jiwa pada akhir 1990-an itu. Di sini pun juga dapat dengan mudah ditemui perwakilan korporasi berskala global seperti BMW, DHL, dan Amazon. Pesatnya perkembagan Leipzig dalam 15-20 tahun terakhir inilah yang kemudian diberi nama Hypezig oleh penduduk setempat.
ADVERTISEMENT
Sudah menjadi pemimpin eks-Jerman Timur di bidang perekonomian, sepak bola kemudian menjadi satu-satunya hal yang kurang di kota ini. Padahal, Leipzig adalah sebuah kota bersejarah bagi persepakbolaan Jerman. Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) didirikan di sana pada tahun 1900. Kemudian, kompetisi antarklub pertama di Jerman pun dimenangi oleh klub dari kota ini, yakni VfB Leipzig yang kemudian bertransformasi menjadi Lokomotive Leipzig pada era komunis. Lokomotive sendiri pada era Oberliga dulu sempat menjadi juara Piala Jerman Timur sebanyak empat kali.
Namun setelah itu, aktivitas sepak bola level tertinggi praktis absen dari Leipzig dan kesempatan inilah yang tidak disia-siakan oleh Red Bull. Pada 2009 itu, lisensi SVV Markranstaedt untuk berlaga di divisi lima dibeli oleh mereka dan mulai musim 2009/10, RB Leipzig muncul di konstelasi persepakbolaan Jerman.
ADVERTISEMENT
Perjalanan Leipzig memang bak meteor. Mereka begitu cepat melesat dari divisi antah berantah hingga kini, delapan tahun setelah bertanding secara resmi untuk pertama kali, mereka berhasil mencapai babak utama Liga Champions Eropa.
Apa yang diraih Leipzig ini kemudian menimbulkan kebencian dari klub-klub lain di Jerman. Di Bundesliga, suporter Borussia Dortmund adalah yang paling kencang menyuarakan keberatan mereka. Pada musim lalu, suporter Dortmund memboikot laga tandang ke Leipzig dan lebih memilih untuk menyaksikan laga tim junior. Kemudian, ketika Leipzig bertandang ke Dortmund, sebagian suporter garis keras Dortmund pun menyerang suporter Leipzig di stasiun kereta.
Suporter tandang RB Leipzig. (Foto: Dok. RB Leipzig)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter tandang RB Leipzig. (Foto: Dok. RB Leipzig)
Dortmund bukan yang pertama. Pada laga DFB Pokal bulan November 2016 lalu, suporter Dynamo Dresden melemparkan sebuah kepala banteng ke area dekat lapangan. Di situ, mereka juga membentangkan spanduk bertuliskan "Kamu tidak bisa membeli tradisi" serta melempar koin ke arah seorang pemain Leipzig.
ADVERTISEMENT
Para suporter itu, meski tindakannya sama sekali tak bisa dibenarkan, punya alasan yang kuat untuk membenci RB Leipzig. Pasalnya, klub satu ini bukan hanya tak punya sejarah dan tradisi, tetapi juga sudah mengakali satu peraturan yang membuat klub-klub Jerman berbeda dengan klub-klub dari Inggris, Italia, atau Prancis.
Di Jerman, ada aturan 50+1 dan aturan itu ada untuk memastikan agar klub tidak kehilangan relasi dengan suporter. Dengan adanya aturan tersebut, secara teknis hampir semua klub di Jerman adalah milik suporter—disebut sebagai member—dengan persentase 51%. Pengecualian terjadi pada klub-klub yang secara tradisional, atau sudah lebih dari 20 tahun, dimiliki korporasi seperti Bayer Leverkusen (milik perusahaan farmasi Bayer) dan VfL Wolfsburg (milik perusahaan mobil Volkswagen).
ADVERTISEMENT
Secara teknis, Leipzig memang secara mayoritas dimiliki oleh member. Akan tetapi, di sinilah masalahnya.
Bayern Muenchen, meski punya bekingan banyak korporasi raksasa di belakangnya seperti Allianz dan Audi, tetap patuh dengan aturan ini. Saat ini, mereka punya lebih dari 200 ribu member dengan biaya iuran tahunan hanya 60 euro.
Sementara itu, Leipzig mengakali aturan ini dengan memasang harga iuran tahunan sampai 1.000 euro per tahun. Selain itu, mereka juga berhak untuk menolak keanggotaan seseorang tanpa harus memberi alasan yang jelas. Tak heran jika kini hanya ada 17 orang yang berstatus sebagai "member" klub dan sebagian besar dari member itu adalah orang-orang yang punya afiliasi dengan Red Bull.
RB Leipzig, debutan yang diunggulkan. (Foto: Dok. RB Leipzig)
zoom-in-whitePerbesar
RB Leipzig, debutan yang diunggulkan. (Foto: Dok. RB Leipzig)
Selain soal tradisi dan aturan yang diakali ini, kebencian para suporter Jerman terhadap Leipzig sebenarnya juga berdasar pada sebuah ketakutan. Bagaimana jika nantinya Dietrich Mateschitz wafat? Bagaimana jika nantinya Red Bull memutuskan bahwa RB Leipzig tidak menguntungkan dan memutuskan untuk angkat kaki dari sana?
ADVERTISEMENT
Yang kemudian tidak banyak diketahui adalah Red Bull sebelumnya sudah menandatangani sebuah perjanjian yang intinya berisi komitmen untuk setidaknya tidak akan pergi dari Leipzig selama 20 tahun. Kemudian, apabila kita melihat bagaimana Leipzig menjalankan klub, kita bisa menarik kesimpulan bahwa segala yang mereka lakukan adalah untuk masa depan.
Pada musim 2010/11, mereka menunjuk Ralf Rangnick untuk menjadi direktur olahraga. Penunjukkan ini punya dua dasar kuat. Pertama, Rangnick adalah seorang pelatih yang punya pengalaman dan filosofi bermain jelas. Pressing yang menjadi ciri khas RB Leipzig saat ini datangnya dari kepala Rangnick. Kedua, mantan pelatih Schalke 04 ini sebelumnya sudah pernah mengorbitkan Hoffenheim ke Bundesliga 1.
Bicara soal Hoffenheim, klub satu ini sebenarnya punya kemiripan dengan Leipzig. Pertama, mereka aslinya adalah klub kecil dari sebuah desa kecil yang tidak punya rekam jejak apa pun di sepak bola level teratas. Kedua, klub ini juga punya bekingan korporasi lewat Dietmar Hopp, pendiri perusahaan piranti lunak SAP, yang sebelumnya pernah bermain di tim junior Hoffenheim.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan Rangnick di Hoffenheim itu kemudian diulanginya di Leipzig. Namun, ada satu perbedaan signifikan yang membedakan proyek Hoffenheim dengan RB Leipzig, yakni bagaimana mereka melakukan pembelian pemain.
Sampai Kevin Kampl dibeli pada musim panas 2017 ini, Leipzig belum pernah sekali pun membeli pemain berusia di atas 24 tahun. Ini adalah kebijakan yang dulu mampu meyakinkan seorang Yussuf Poulsen untuk bergabung. Pemain Denmark keturunan Tanzania ini datang ke Leipzig pada musim 2013/14 saat Die Roten Bullen masih berkompetisi di divisi tiga. Sampai saat ini, Poulsen masih menjadi salah satu pemain inti di bawah arahan Ralph Hassenhuetl dan bahkan, di Tim Nasional Denmark.
Penggawa-penggawa belia RB Leipzig. (Foto: Dok. RB Leipzig)
zoom-in-whitePerbesar
Penggawa-penggawa belia RB Leipzig. (Foto: Dok. RB Leipzig)
Hal inilah yang kemudian mementahkan anggapan bahwa Leipzig telah membeli kesuksesan. Memang benar bahwa mereka telah mengeluarkan banyak uang. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan Bayern Muenchen, Leipzig masih kalah jauh. Untuk membangun skuat musim 2016/17 lalu, Leipzig hanya mengeluarkan uang senilai kurang lebih 65 juta euro, sedangkan Bayern Muenchen menggelontorkan 314 juta euro.
ADVERTISEMENT
Kunci dari keberhasilan RB Leipzig ini sebenarnya adalah profesionalitas dan efisiensi dalam bermanuver, terutama dalam mendatangkan pemain-pemain incaran. Ketika membeli Oliver Burke dari Nottingham Forest pada musim lalu, misalnya, RB Leipzig sebenarnya harus bersaing dengan Arsenal dan Tottenham Hotspur.
Namun, ketika duo London Utara itu masih berdebat soal berapa duit yang layak untuk Burke, sang pemain sudah berada di atas helikopter bersama Ralf Rangnick. Di sana, Rangnick menceritakan soal semua fasilitas yang dimiliki pihak klub dan bagaimana suasana kota Leipzig. Burke pada akhirnya memang kembali lagi ke Premier League, tetapi pada musim lalu, pemain 20 tahun ini tampil 25 kali untuk Leipzig.
Inilah yang seringkali luput dari pandangan mata orang-orang. Bagaimana RB Leipzig sebenarnya sedang menunjukkan bagaimana caranya mengelola sebuah klub sepak bola dengan baik dan benar. Selain itu, orang-orang juga sepertinya enggan peduli dengan fakta bahwa keberadaan klub sepak bola satu ini mampu menggerakkan roda perekonomian di kota Leipzig.
ADVERTISEMENT
Menurut catatan Financial Times, ada sekitar 1.500 lapangan pekerjaan yang diciptakan setelah RB Leipzig promosi ke Bundesliga 1, terutama di bidang jasa keramahtamahan. Hal ini adalah bukti nyata bagaimana klub ini punya arti penting bagi penduduk kota Leipzig dan tak heran jika setelah dulu mengenakan kostum RB Leipzig sempat menjadi tabu, kini hal itu sudah jadi sesuatu yang membanggakan.