Jukstaposisi dalam Kemesraan Rui Costa dan Materazzi

18 Oktober 2018 18:36 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kericuhan di Derby della Madonnina 2005. (Foto: AFP/Filippo Monteforte)
zoom-in-whitePerbesar
Kericuhan di Derby della Madonnina 2005. (Foto: AFP/Filippo Monteforte)
ADVERTISEMENT
“All photographs are accurate. None of them is the truth.”
ADVERTISEMENT
— Richard Avedon
Tiga tahun silam, New York Times merilis sebuah galeri foto di situswebnya. Cooper Neill, fotografer yang menyusun galeri tersebut, memberinya judul 'A Game of Juxtaposition'. Dalam galeri tersebut, terdapat sembilan foto yang dijepretnya di berbagai pertandingan American football.
Foto-foto yang diunggah Neill itu semuanya sudah mengalami proses penyuntingan. Sebab, pria asal Dallas itu memang ingin menceritakan bahwa di dalam American football, jukstaposisi adalah sesuatu yang tidak bisa terhindarkan. Dalam olahraga tersebut, pertentangan posisi adalah sebuah kelaziman, entah itu antara dua tim yang bertanding, antara pemain dan penonton, atau pemain dan pelatih.
Dari pertentangan posisi itulah narasi olahraga tersebut dibangun. Untuk tiap pemenang, ada seorang atau sekelompok pecundang. Gampangnya, kira-kira, seperti itu. Pada akhirnya, jukstaposisi adalah nyawa dari olahraga itu sendiri dan hal ini akan semakin terasa ketika ada momen-momen spesial yang tertangkap oleh kamera.
ADVERTISEMENT
Tentunya, American football tidak sendiri. Di sepak bola, pertentangan posisi juga merupakan sumber dari beragam kisah yang terus dan terus direproduksi. Kalah dan menang, besar dan kecil, baik dan buruk. Tanpanya, olahraga mana pun, termasuk sepak bola, akan terasa hambar. Itulah yang sebenarnya selalu diburu oleh para pemburu gambar yang senantiasa berjibaku di tepi lapangan tiap kali sebuah pertandingan digelar.
Stefano Rellandini adalah salah satu jurnalis foto Reuters yang sudah lama bertugas di lapangan hijau. Lahir dan besar di Milan, sebagian besar hasil jepretan Rellandini pun berkisar pada momen-momen akbar yang terjadi seputaran kota tersebut.
Memang, terkadang Rellandini juga ditugasi untuk menjelajah kota lain. Saat Jembatan Morandi di Genoa runtuh beberapa waktu lalu, pria berkepala pelontos ini jugalah yang datang untuk mengabadikannya. Namun, acara-acara besar di Milan tetap menjadi prioritas bagi Rellandini.
ADVERTISEMENT
Pada suatu malam di musim semi 13 tahun silam, Rellandini kebagian jatah meliput pertandingan besar antara dua raksasa Milan. Pertandingan itu bukan pertandingan biasa karena ia terjadi di babak perempat final Liga Champions. Internazionale, yang kalah 0-2 saat berlaku sebagai tamu pada pertemuan pertama, menjamu saudara tuanya, Milan, di Giuseppe Meazza.
Tensi pertandingan ini sudah begitu tinggi sejak awal. Maklum saja, selain karena berada dalam keadaan tertinggal, Inter saat itu juga memendam kesumat. Dua musim sebelumnya, mereka sudah menjejak babak semifinal Liga Champions. Akan tetapi, mereka akhirnya disingkirkan Milan. Yang menyakitkan, tersingkirnya Inter itu terjadi hanya karena mereka kalah agresivitas gol tandang.
Oleh karenanya, Inter pun pada pertandingan ini tak lagi buang-buang waktu untuk segera mempertipis gap. Namun, agresi cepat Inter itu, alih-alih berbuah gol, justru berbuah dua kartu kuning, masing-masing untuk Kily Gonzalez dan Ivan Cordoba. Dalam kurun waktu sebelas menit, dua pemain tersebut, ditambah gelandang Milan, Massimo Ambrosini, sudah mendapat ammonito dari wasit Markus Merk.
ADVERTISEMENT
Andriy Shevchenko merayakan gol bersama Alessandro Nesta. (Foto: AFP/Paco Serinelli)
zoom-in-whitePerbesar
Andriy Shevchenko merayakan gol bersama Alessandro Nesta. (Foto: AFP/Paco Serinelli)
Beruntung bagi para penonton yang ada, kedua tim akhirnya tak cuma berbalas tekel. Andrea Pirlo dan Juan Veron, dua pengatur serangan dari masing-masing tim, mampu menghasilkan peluang yang sanggup membikin jantung siapa pun berdegup tak keruan.
Di momen inilah Milan akhirnya sukses menabur garam di atas luka menganga Inter. Andriy Shevchenko yang sudah mencetak gol pada pertemuan pertama kembali membobol gawang Francesco Toldo. Dari pinggiran kotak penalti, pemain asal Ukraina itu melepas sepakan lengkung dengan kaki kiri yang tak sanggup digapai Toldo.
Gol Shevchenko itu terjadi manakala laga telah berusia setengah jam. Di sisa lima belas menit babak pertama, tak ada lagi gol yang tercipta dan hal itu coba dimanfaatkan pelatih Inter, Roberto Mancini, untuk membangun momentum.
ADVERTISEMENT
Sinisa Mihajlovic, Julio Cruz, dan Obafemi Martins pun kemudian dimasukkan Mancini pada awal babak kedua. Sejak itu, Inter terus menekan pertahanan Milan yang digalang Paolo Maldini dan Jaap Stam. Upaya Inter tersebut akhirnya berbuah hasil saat laga telah memasuki menit ke-70. Esteban Cambiasso akhirnya sukses menaklukkan Nelson de Jesus Silva, alias Dida, yang berjaga di bawah mistar gawang Milan.
Ini adalah momen yang akhirnya mengubah segalanya. Bukannya menguntungkan Inter, gol Cambiasso ini justru menjadi musabab dari segala kehancuran La Beneamata malam itu.
Nelson Dida mendapat perawatan usai dilempar cerawat. (Foto: AFP/Paco Serinelli)
zoom-in-whitePerbesar
Nelson Dida mendapat perawatan usai dilempar cerawat. (Foto: AFP/Paco Serinelli)
Semua berawal dari keputusan Merk. Wasit asal Jerman itu menganggap bahwa sebelum mencetak gol, Cambiasso sudah terlebih dahulu melakukan pelanggaran. Merk menganulir gol tersebut dan tak lama berselang memberi kartu kuning pada Cambiasso yang terus melancarkan protes. Keputusan-keputusan sang arbitro ini akhirnya membuat tribune utara menyalak.
ADVERTISEMENT
Di Giuseppe Meazza, suporter Inter memang mendapat jatah untuk menyuarakan dukungan mereka dari tribune utara alias curva nord. Sementara, suporter Milan berada di sisi seberang. Dari tribune utara itulah mulai muncul api merah tanda cerawat-cerawat sudah mulai dinyalakan. Tak cuma itu, lapangan pertandingan pun dihujani oleh beragam objek -- mulai dari botol plastik sampai payung -- oleh para Interisti.
Celakalah Dida karena dia sedang berada di sana. Salah satu dari cerawat yang dilemparkan itu mengenai bahu kiper asal Brasil terebut. Dida mengaduh, terjatuh ke tanah, berguling-guling, dan Merk pun langsung menyetop pertandingan.
Penyetopan pertandingan oleh Merk itu tak membuat hujan misil berhenti. Bahkan, petugas keamanan sampai petugas pemadam kebakaran pun harus dikerahkan untuk meredakan suasana. Suasana kaos itu membuat Merk kudu mengambil keputusan cepat: Apakah pertandingan ini masih bisa diselamatkan atau tidak.
ADVERTISEMENT
Di antara kekacauan tersebut, lahirlah sebuah momen indah yang akhirnya berhasil diabadikan oleh Rellandini. Dengan latar lapangan yang memerah akibat asap cerawat, dua pemain dari kubu berseberangan terlihat sedang berangkulan. Mereka adalah bek Inter, Marco Materazzi, dan gelandang serang Milan, Manuel Rui Costa.
Foto legendaris Marco Materazzi dan Manuel Rui Costa. (Foto: Reuters/Stefano Rellandini)
zoom-in-whitePerbesar
Foto legendaris Marco Materazzi dan Manuel Rui Costa. (Foto: Reuters/Stefano Rellandini)
Sebenarnya, momen Materazzi dan Rui Costa berangkulan itu hanyalah secuil narasi dari apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dalam rangkaian foto lain, situasi kaos akibat lemparan cerawat tadi masih begitu terasa. Ada kebingungan yang tampak di wajah pemain-pemain lain di lapangan.
Dalam foto yang diambil Rellandini itu sebenarnya tidak terlihat seperti apa wajah Materazzi dan Rui Costa karena posisi kedua pemain itu memang tengah membelakangi kamera. Namun, dari gesturnya bisa terlihat bahwa kedua pemain itu justru sama sekali tidak tegang. Mereka begitu santai, bahkan terlihat seperti sejoli yang tengah menyaksikan pesta kembang api tanggal 4 Juli.
ADVERTISEMENT
Ada dua jukstaposisi dalam foto tersebut. Pertama, adanya pertentangan posisi antara Materazzi dan Rui Costa sendiri sebagai pemain. Materazzi adalah seorang pemain yang dikenal karena tingkah polahnya yang brutal. Sementara, Rui Costa adalah seniman lapangan hijau. Di momen itu, keduanya bisa berdampingan seakan-akan tak ada jurang menganga di antara mereka.
Jukstaposisi kedua adalah bagaimana ketenangan Materazzi dan Rui Costa itu sendiri dihadapkan dengan situasi kaos di seputaran mereka. Masih sulit dicerna akal sehat bagaimana di situasi yang akhirnya membuat Inter dinyatakan kalah walkover dan dihukum enam laga Eropa tanpa penonton itu Materazzi dan Rui Costa bisa berlaku begitu santai. Apalagi, mereka membela dua tim rival sekota yang tak mengenal apa itu gencatan senjata.
ADVERTISEMENT
Foto yang ditangkap Rellandini itu pada akhirnya menjadi salah satu foto sepak bola paling masyhur di dunia. Entah sudah berapa ratus, bahkan ribu, kali ia disebarluaskan lewat jagat maya. Namun, pesonanya tetap masih terasa sampai detik ini. Lewat foto itu, bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwasanya sepak bola memang lebih dari sekadar permainan sebelas lawan sebelas. Sepak bola, singkat kata, adalah lumbung cerita.