Mengenang Kelamnya Era "FC Hollywood" di Bayern Muenchen

3 Oktober 2017 16:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bayern Muenchen 1997. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Bayern Muenchen 1997. (Foto: AFP)
ADVERTISEMENT
Ada setidaknya dua pesepak bola yang punya satu halaman kosong di otobiografinya. Pertama, almarhum Len Shackleton, dan kedua, Steffan Effenberg.
ADVERTISEMENT
Shackleton, ketika masih bermain dulu, punya julukan "Pangeran Badut" karena memang dia sama sekali tidak bisa diajak serius. Bagi Shack, sapaan akrabnya, sepak bola memang hanya untuk bersenang-senang. Itulah mengapa, dia kemudian punya hubungan tak baik dengan para penguasa di sepak bola, mulai dari FA, pelatih tim nasional Sir Walter Winterbottom, sampai para direktur di klub-klub yang dia perkuat.
Puncaknya, dalam otobiografinya, 'The Clown Prince of Soccer' yang terbit tahun 1956, dia pun menyelipkan satu halaman kosong. Namun, halaman itu tidak benar-benar kosong karena di atasnya, bagian itu dia beri judul The Average Director's Knowledge of Football atau "Apa yang Diketahui Kebanyakan Direktur soal Sepak Bola".
47 tahun setelah Shack merilis otobiografinya, Stefan Effenberg yang sedang menjalani musim terakhir karier profesionalnya menerbitkan otobiografi dengan judul 'Ich Habe's allen Gezeigt' ("Sudah Kutunjukkan Semuanya"). Di situ, Effenberg mengikuti jejak Shackleton dengan menyelipkan sebuah halaman kosong. Hanya saja, oleh Effenberg halaman kosong itu diberi judul "Apa yang Diketahui Lothar Matthaeus tentang Sepak Bola".
ADVERTISEMENT
Otobiografi Effenberg itu, ketika dirilis, mendapat banyak hujatan dari banyak orang. Tak seperti milik Shackleton yang dipuji karena kejujuran serta orisinalitasnya, otobiografi Effenberg adalah produk sampah yang, meminjam istilah Boris Becker, merupakan hasil dari mulut comberan sang pesepak bola.
Hal ini sejatinya tidak mengherankan karena, yah, itu adalah otobiografi seorang Steffan Effenberg, seorang pembuat ulah yang ulung dan merupakan subjek pemberitaan favorit koran-korang kuning Jerman era 1990-an. Namun, Effenberg sejatinya tidak sendiri karena pada masa tersebut, dia bukan satu-satunya pesepak bola Jerman yang kerapkali menghiasi halaman depan tabloid Jerman. Effenberg hanyalah satu mereka yang menghuni sebuah klub "eksklusif" bernama FC Hollywood.
Neraka Bavaria
Bayern Muenchen adalah klub terbesar, tersukses, dan terkaya di Jerman. Akan tetapi, mereka bukannya sama sekali tidak pernah merasakan imbas dari putaran roda nasib. Mereka memang lebih sering berada di atas, tetapi sekalinya mereka ada di bawah, Bavaria benar-benar menjadi neraka dan kita baru saja menyaksikannya.
ADVERTISEMENT
Ketika Bavaria berubah menjadi neraka, siapa pun dia, tak peduli sementerang apa reputasinya, bisa dengan mudah menjadi korban. Dalam edisi 2017 ini, Carlo Ancelotti, seorang pelatih dengan reputasi yang tak perlu diragukan lagi, menjadi korbannya.
Ekspresi Carlo Ancelotti (Foto: Axel Schmidt/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ekspresi Carlo Ancelotti (Foto: Axel Schmidt/Reuters)
Karl-Heinz Rummenigge, CEO Bayern Muenchen, seketika setelah Ancelotti dipecat sebagai pelatih, menyebut bahwa ada lima orang pemain yang berperan besar dalam proses pencopotan ini. Ada tiga orang pemain, Thomas Mueller, Robert Lewandowski, dan Arjen Robben, yang secara terang-terangan pernah mengeluh di depan publik. Sementara, dua nama lainnya diperkirakan adalah Franck Ribery dan Mats Hummels. Meski begitu, Hummels sudah membantah bahwa dirinya terlibat dalam proses coup itu.
Mueller jadi yang pertama. Pada awal September lalu, wakil kapten Bayern ini mengutarakan rasa frustrasinya karena kerap dicadangkan Ancelotti. Dia mengatakan bahwa dia tidak tahu apa yang dicari Ancelotti dari dirinya. "Pokoknya selalu saja ada yang kurang," keluh Mueller.
ADVERTISEMENT
Setelah Mueller, ada Lewandowski. Sebenarnya, kritik kapten Tim Nasional Polandia ini tidak sepenuhnya ditujukan kepada Ancelotti, melainkan kepada manajemen Bayern. Intinya, mantan bomber Borussia Dortmund ini mengatakan bahwa dia kecewa karena klub tidak seroyal klub-klub besar lainnya di seantero Eropa.
Terakhir, Robben. Mantan winger Chelsea ini menyebutkan bahwa latihan di bawah Carlo Ancelotti benar-benar mengecewakan. "Tim anakku saja latihannya lebih bagus daripada ini," sembur pria 33 tahun ini. Bahkan, kemudian muncul pula kabar bahwa para pemain Bayern sampai menggelar latihan rahasia tanpa sepengetahuan sang trainer.
Karl-Heinz Rummenigge dan Uli Hoeness. (Foto: AFP/Franck Fife)
zoom-in-whitePerbesar
Karl-Heinz Rummenigge dan Uli Hoeness. (Foto: AFP/Franck Fife)
Selain tiga pemain ini, dua pejabat terpenting Bayern juga kemudian ikut campur. Rummenigge secara spesifik mengkritik Lewandowski yang disebutnya "iri dengan apa yang dilakukan Paris Saint-Germain". Mantan winger Tim Nasional Jerman ini ketika itu mengatakan bahwa siapa pun yang mengkritik pelatih, klub, atau rekan setim akan berhadapan langsung dengannya. Yang ironis, Rummenigge adalah orang yang, setelah Bayern kalah 0-3 dari PSG, mengatakan bahwa dari kekalahan itu harus ada yang bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Lalu, petinggi kedua yang ikut campur adalah presiden klub, Uli Hoeness. Pria 65 tahun itu, sebagai bentuk respons dari pernyataan Lewandowski, justru membela penyerang andalannya itu. Menurut Hoeness, jika seorang pemain khawatir dengan klubnya, itu adalah hal bagus.
Semua yang terjadi, semua komentar yang dilontarkan itu, cuma punya satu penyebab: start buruk Bayern di musim 2017/18 ini. Sebagai tim yang terbiasa memenangi apa pun dengan mudah, Bayern pun kemudian (dipaksa) keluar dari zona nyaman mereka dan akhirnya, muncullah perang komentar tersebut. Dari sini, ingatan publik pun kemudian melayang ke masa di mana Bayern diberi julukan FC Hollywood.
Sengkarut (Nyaris) Tak Berujung
Dalam kurun waktu 1991 s/d 1998, hanya ada lima trofi yang dimenangi oleh Bayern Muenchen. Klub seperti Dortmund atau Schalke mungkin bakal sudah puas dengan capaian semacam ini. Akan tetapi, Bayern adalah entitas yang benar-benar berbeda dan semua ini berawal dari dipecatnya Jupp Heynckes pada awal Oktober 1991, atau hanya sekitar dua bulan ketika Heynckes memasuki tahun kelima di periode pertamanya bersama Die Roten.
ADVERTISEMENT
Heynckes ketika itu sebenarnya sudah mampu mempersembahkan dua trofi Bundesliga dan dua trofi Piala Super Jerman. Namun, pada musim itu suasananya memang berbeda. Ketika itu, mereka kehilangann beberapa pilar di lini belakang. Klaus Augenthaler baru saja pensiun, kemudian Stefan Reuter serta Juergen Kohler sama-sama dibajak oleh Juventus.
Effenberg di final Liga Champions 2001. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Effenberg di final Liga Champions 2001. (Foto: AFP)
Bayern, meminjam istilah Uli Hesse di bukunya 'Tor!', mengalami disintegrasi. Kala itu, mereka memang diperkuat banyak pemain-pemain berusia relatif muda seperti Olaf Thon, Manfred Bender, Oliver Kreuzer, Manfred Schwabl, sampai Bruno Labbadia, Stefan Effenberg, dan Thomas Strunz. Ketiadaan sosok pemimpin yang becus dalam menggiring anak-anak muda ini membuat tugas Heynckes jadi sulit setengah mati.
Heynckes sempat memimpin Bayern di 12 pertandingan. Dari sana, Bayern hanya menang empat kali. Tidak hanya itu, di kancah DFB Pokal pun mereka disingkirkan oleh tim divisi dua, Homburg. Pascakekalahan 1-4 dari Stuttgart Kickers di ajang Bundesliga tanggal 5 Oktober 1991, Heynckes dipecat dan digantikan asistennya, Soeren Lerby, yang juga mantan pemain Bayern.
ADVERTISEMENT
Lerby pun ternyata tidak lebih baik ketimbang Heynckes. 15 kali bertanding, Bayern hanya menang empat kali, bermain imbang lima kali, dan kalah enam kali. Pria Denmark ini pun lalu digantikan oleh Erich Ribbek yang pada akhirnya hanya mampu membawa Bayern finis di urutan 10 Bundesliga.
Ini adalah titik mula dekadensi Bayern di era 1990-an. Setelah itu, sampai Ottmar Hitzfield datang pada 1998, mereka berubah dari klub sepak bola menjadi klub drama. Pemain-pemain mereka, terutama Effenberg, Strunz, hingga kemudian Lothar Matthaeus dan Juergen Klinsmann, menjadi "media darling". Bukan karena prestasinya, tetapi lebih karena aksi saling tikam yang senantiasa terjadi di antara mereka.
Matthaeus jelang final Liga Champions 1999. (Foto: AFP/Patrick Hertzog)
zoom-in-whitePerbesar
Matthaeus jelang final Liga Champions 1999. (Foto: AFP/Patrick Hertzog)
Sama-sama mengawali karier di Borussia Moenchengladbach, Effenberg dan Matthaeus praktis hanya bersama-sama di Bayern selama dua musim yakni pada 1998 s/d 2000. Akan tetapi, mereka sebelumnya sudah bersua di tim nasional dan karena kejadian di timnas itulah kedua pemain ini jadi saling benci.
ADVERTISEMENT
Bagi Effenberg, Matthaeus adalah seorang pengecut karena enggan mengambil tendangan penalti di final Piala Dunia 1990. Namun, Matthaeus punya alasan tersendiri untuk itu, yakni karena sebelumnya, dia harus mengganti sepatu dan untuk alasan itu, dia merasa tidak nyaman menendang bola. Keributan kedua pemain ini memuncak setelah Bayern kalah dari Manchester United di final Liga Champions 1999. Saat itu, Matthaeus yang sudah berusia 38 tahun memang ditarik keluar di tengah babak kedua dan setelah itu, Bayern kemasukan dua gol.
Apa yang terjadi antara Effenberg dan Matthaeus itu sebenarnya hanya sisa-sisa dari ke-Hollywood-an Bayern. Namun, mengingat profil kedua pemain yang sangat tinggi, hal ini justru jadi simbol utama dari era dekadensi Bayern tadi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, dengan Strunz, kasus yang dialami Effenberg sebenarnya lebih parah lagi karena di sini, dia merebut istri dari rekan setimnya itu. Kala itu, Effenberg sudah memiliki seorang istri bernama Martina. Akan tetapi, dia kemudian berselingkuh dengan Claudia Strunz. Stefan dan Claudia sendiri akhirnya menikah pada 2004 silam sebelum pindah ke Amerika Serikat.
Trapattoni (kanan) saat melatih Bayern. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Trapattoni (kanan) saat melatih Bayern. (Foto: AFP)
Lalu, selain dengan Effenberg, Matthaeus pun bernah berkonflik dengan Juergen Klinsmann. Padahal, kedua pemain ini sebelumnya pernah sama-sama berpetualang di Italia bersama Internazionale. Kedua pemain berprofil besar ini pernah terlibat keributan di tim nasional dan di Bayern dengan alasan sama: mereka berebut ban kapten. Ini terjadi pada kurun waktu 1995 s/d 1997 sebelum Klinsi menyingkir ke Sampdoria. Di Bayern, Klinsmann boleh kalah, tetapi di timnas ceritanya lain.
ADVERTISEMENT
Menariknya, turbulensi di tubuh Bayern ini pun tidak hanya bersumber dari para pemain saja, tetapi juga dari pelatih. Adapun, sosok pelatih paling kontroversial di era ini adalah Giovanni Trapattoni yang melatih Bayern pada 1994/96 dan 1996 s/d 1998. Puncak dari segala tingkah polah Mr. Trap selama di Bayern adalah konferensi persnya tiga pekan sebelum mundur dari jabatannya sebagai pelatih tahun 1998 dan kembali ke Italia untuk membesut Fiorentina.
Ketika itu, dalam sebuah orasi selama tiga setengah menit, Trapattoni memaki-maki habis Thomas Strunz, Mehmet Scholl, dan Mario Basler. Dia menganggap tiga pemain itu sebagai biang keladi kekalahan 0-1 Bayern dari Kaiserslautern hingga akhirnya tim asuhan Otto Rehhagel itu menjadi juara Bundesliga.
ADVERTISEMENT
Trapattoni boleh jadi dicintai karena warisan taktikal serta pemain-pemain macam Sammy Kuffour dan Bixente Lizarazu, tetapi menurut Uli Hesse, konferensi pers itulah yang selalu diingat orang dari masa kepelatihan Trapattoni. Konferensi pers ini pada akhirnya menjadi puncak sekaligus titik jenuh dari drama ala Hollywood di kubu Bayern dan meski riak-riaknya masih terasa di era Hitzfeld, secara perlahan ia menghilang seiring membaiknya prestasi Bayern di atas lapangan. Sampai sekarang, setidaknya.