Radamel Falcao Hidup Lagi Usai Mati Suri

3 Mei 2017 15:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Radamel "El Tigre" Falcao. (Foto: Reuters/Eric Gaillard)
Tahun 2014 lalu, ada sebuah hype di dunia sepak bola: Kolombia, dengan muka-muka baru yang mapan di klub-klub top Eropa digadang-gadang bakal mampu mengungguli raihan pendahulu mereka di Piala Dunia 1994.
ADVERTISEMENT
Tahun 1994, Kolombia punya Oscar Cordoba, Andres Escobar, Freddy Rincon, Carlos Valderrama, dan Faustino Asprilla. Dua dekade berselang, Kolombia punya tim yang tak kalah hebat. Di sana, bercokol nama-nama seperti David Ospina, Cristian Zapata, Juan Cuadrado, James Rodriguez, dan Radamel Falcao.
Atau, setidaknya begitu rencana awalnya.
Meski mampu berprestasi lebih baik dibanding para pendahulunya, tim Kolombia 2014 akhirnya tetap gagal, dan kesialan Kolombia itu sebenarnya sudah bisa dilacak sejak Januari 2014, atau sekitar enam bulan sebelum mereka berlaga di Brasil.
Pada sebuah laga Piala Prancis yang mempertemukan Monaco dengan Monts Or Azergues, pemain terhebat Kolombia, Radamel Falcao, mengalami cedera di lutut kirinya. Sambil mengaduh dan menahan rasa sakit, Falcao ditandu keluar lapangan. Seketika itu juga Falcao dan segenap pendukung Kolombia tahu: Piala Dunia 2014 tidak akan jadi milik mereka.
ADVERTISEMENT
Tiga setengah tahun usai cedera itu, nama Falcao masih harum. Bersama Kylian Mbappe-Lottin yang lebih muda hampir 13 tahun, dia membentuk duet penyerang paling mengerikan di daratan Eropa.
Tak hanya itu, usai laga perempat final leg kedua melawan Borussia Dortmund, Falcao pun sah menjadi penyerang paling efisien di sejarah kompetisi antarklub Eropa. 45 gol dari 50 pertandingan membuat rasio golnya menjadi 0,90 gol per laga, mengungguli legenda agung Jerman, Gerd Mueller, yang punya rekor 0,87 gol per pertandingan.
Inilah Falcao yang digadang-gadang bakal menjadi protagonis utama Kolombia di Piala Dunia 2014. Inilah Falcao yang membuatnya dihargai 83 juta euro (per Transfermarkt) oleh Atletico Madrid dan Monaco. Inilah Falcao yang layak menyandang julukan El Tigre.
ADVERTISEMENT
Duet maut Monaco, Falcao dan Mbappe. (Foto: Reuters/Eric Gaillard)
Seandainya saja Falcao tidak pernah pergi ke Inggris, barangkali apa yang diraih Falcao saat ini bakal tidak mengejutkan. Lagipula, penyerang satu ini memang punya segalanya, mulai dari teknik, kecepatan, agresivitas, kekuatan, sampai jiwa kepemimpinan.
Namun, dua musim di Inggris itu dijalani Falcao dengan penuh cobaan. Setelah sembuh dari cedera lutut, pemain kelahiran Santa Fe ini memutuskan untuk menerima tantangan dari Manchester United. Akan tetapi, di Old Trafford, El Tigre berubah menjadi El Gato. Si Macan menjadi Si Kucing.
Pergerakannya terlihat lamban dan kerapkali tidak tersinkronisasi dengan baik dengan rekan-rekan setimnya. Bersama United di Premier League, dia memang tampil 26 kali. Akan tetapi, 12 di antaranya dia lakoni sebagai pemain cadangan, dan dari situ, hanya empat gol dan empat assist yang mampu dibukukannya. Di akhir musim, United mengembalikannya kepada Monaco.
ADVERTISEMENT
Namun, pada musim berikutnya, ada satu klub Inggris lain yang tidak kapok melihat buruknya musim Falcao bersama "Setan Merah". Klub itu adalah juara bertahan Chelsea.
Musim itu, Chelsea memang tampil luar biasa buruk. Manajer Jose Mourinho tiba-tiba saja kehilangan kontrol atas anak-anak asuhnya dan akhirnya dipecat di tengah jalan. Chelsea pun mengakhiri musim di peringkat ke-10.
Chelsea tampil buruk, Falcao pun semakin terpuruk. Di Stamford Bridge, dari sepuluh laga yang dijalani, dia hanya bermain sebagai starter sebanyak satu kali. Dari sana, hanya ada satu gol yang bisa disumbangkan Falcao untuk The Blues.
Itulah mengapa, tak banyak orang yang peduli ketika Monaco akhirnya benar-benar kembali ke Monaco. Orang berpikir, Falcao sudah habis, dan kalau boleh jujur, kelihatannya memang begitu. Bagaimana mungkin pemain sekelas Falcao gagal total dalam dua musim berturut-turut kalau memang dia belum habis?
ADVERTISEMENT
Nyatanya, Falcao sama sekali belum habis. Sebaliknya, auman El Tigre justru makin keras dan terkamannya makin mematikan.
Sampai pekan ke-35 di Ligue 1, Monaco masih memimpin klasemen dengan keunggulan tiga poin plus tabungan satu laga. Mereka pun menjadi tim paling produktif di liga dengan 95 golnya dan Falcao adalah sosok paling bertanggung jawab atas raihan tersebut. Pasalnya, dia kini merupakan pencetak gol terbanyak tim dengan 19 golnya. Mantan penyerang Porto itu kini ada di peringkat ketiga daftar pencetak gol terbanyak.
Masih belum cukup? Di Liga Champions, bersama Mbappe, Falcao menjadi pencetak gol terbanyak bersama Monaco dengan lima golnya.
Satu dari lima gol itu dia cetak ke gawang Manchester City dengan cara yang sangat, sangat Falcao. Dengan kekuatan dan kemampuan tekniknya, dia membuat bek berharga 55 juta euro, John Stones, terjengkang. Setelah itu, dia mencungkil bola melewati kiper Willy Caballero. Gol!
ADVERTISEMENT
Gol yang dicetak Falcao ke gawang City itu sedikit mengingatkan pada sebuah gol cantik yang dicetaknya ke gawang Barcelona pada 2012 lalu saat masih berseragam Atletico Madrid. Ketika itu, setelah menerima umpan Tiago Mendes yang berhasil merebut bola dari Lionel Messi, Falcao berlari kencang dari tengah lapangan. Sergio Busquets yang berusaha mengejar dibuatnya seperti pemain amatir dan ketika sudah sampai di kotak penalti, sebuah cungkilan halus lewat kaki kiri pun mampu mengecoh Victor Valdes.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana sebenarnya cara Falcao bangkit dari dua musim yang kelam itu?
"Kuncinya adalah kontinuitas," beber Falcao seperti dikutip dari ESPN. "Dengan begitu, saya bisa menunjukkan kemampuan saya yang sebenarnya."
Sederhana saja, rupanya, dan apa yang dikatakan Falcao sebenarnya masuk akal.
ADVERTISEMENT
Di United dan Chelsea, baik Louis van Gaal maupun Mourinho tidak pernah mempercayai Falcao sepenuhnya. Keberadaan Robin van Persie dan Diego Costa di kedua tim tersebut membuat Falcao pun secara otomatis menjadi pilihan kedua.
Sialnya lagi, Falcao datang ke tempat yang salah di waktu yang salah. Baik United maupun Chelsea sedang berada dalam situasi yang buruk ketika Falcao datang. Untuk mengeluarkan kemampuan terbaik pemain-pemain yang sebelumnya sudah tampil bagus saja mereka tidak bisa, apalagi untuk membangkitkan karier Falcao yang terhantam cedera parah?
Ketika Falcao datang ke Monaco untuk pertama kalinya dulu, banyak orang yang menyayangkannya. Untuk apa pemain seperti dirinya pindah dari Atletico Madrid ke klub yang lebih kecil? Meski bukan sepenuhnya salah Falcao -- salahkan agensi yang menaunginya --, tetap saja kepindahan itu dirasa tidak tepat. Apalagi, kemudian dia mengalami cedera parah.
ADVERTISEMENT
Kini, hampir empat tahun sejak kepindahan itu, Monaco justru menjadi tempat di mana Falcao menjadi besar kembali. Dengan tim ultraofensif yang begitu energik, Falcao seperti berada di surga. Tim Monaco yang berhasil menembus semifinal Liga Champions ini adalah personifikasi dari cara bermain Falcao sendiri.
Di Monaco, Falcao pun tak hanya diberi kepercayaan untuk tampil, melainkan menjadi pemimpin bagi skuat muda asuhan Leonardo Jardim. Direktur Olahraga Monaco, Antonio Cordon, mengatakan bahwa di ruang ganti, Falcao yang merupakan sosok profesional itu dijadikan panutan bagi rekan-rekannya.
Anak-anak muda Monaco pun memilih panutan yang benar. Ketika tak ada orang yang percaya lagi padanya, Falcao terus berusaha. Dia mempersetankan segala anggapan miring yang ditujukan padanya. Bagi Falcao, tidak akan ada orang yang lupa caranya bermain sepak bola, dan kini, sudah terbukti bahwa memang dia belum lupa. Sama sekali belum.
ADVERTISEMENT