Ronaldo dan Messi Bertarung, Sepak Bola Numpang Lewat di Tengahnya

11 Januari 2017 18:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Messi & Ronaldo (Ilustrasi) (Foto: Denis Doyle/Stringer)
Sepak bola sedang berada dalam bahaya. Dominasi Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo adalah penyebabnya.
ADVERTISEMENT
Buktinya bisa dilihat dengan jelas. Sejak tahun 2008, gelar pemain terbaik dunia selalu digilir dua orang ini. Kalau tidak Messi, ya, Ronaldo. Atau sebaliknya.
Dalam sembilan kali penganugerahan pemain terbaik dunia -- baik itu bertajuk FIFA World Player of the Year, FIFA Ballon d'Or, maupun The Best FIFA Men's Player -- Messi sudah berhasil mengoleksi 5 trofi, sementara Ronaldo 4 trofi. Ini artinya, dalam satu dekade terakhir, hanya ada dua pemain yang dianggap terbaik di dunia. Saking dominannya dua orang ini, pemain-pemain seperti Xavi Hernandez, Andres Iniesta, dan Luka Modric pun harus rela gigit jari. Mereka bertiga adalah pemain yang tingkat kehebatannya sudah di atas awang-awang, tetapi Messi dan Ronaldo adalah dua spesies yang sama sekali lain.
ADVERTISEMENT
Sialnya, mencari kekurangan dua orang ini pun sulitnya setengah mati. Messi dan Ronaldo secara konstan mampu membuktikan bahwa mereka berdua memang yang terbaik saat ini. Parahnya lagi, setidaknya dalam waktu dekat, dominasi kedua orang ini masih akan berlangsung.
Lalu, apa salahnya? Bukankah dengan keberadaan dua pemain sehebat itu sepak bola justru beruntung? Bukankah para fans (netral) justru terhibur oleh kehadiran dua sosok larger than life itu?
Jawabannya bisa ya dan tidak.
Bagi tim yang mereka bela, jelas keberadaan kedua pemain itu adalah nikmat yang mustahil untuk diingkari. Dalam laga La Liga kontra Vilarreal, Senin (9/1/2017) lalu misalnya. Jika tak ada Messi, hampir pasti Barcelona akan pulang dengan tangan hampa dari El Madrigal. Messi, pada laga itu, mampu mencetak gol yang mengamankan satu poin untuk Barcelona. Hebatnya lagi, di sepanjang laga Messi seorang mampu menciptakan lebih banyak kans (6) dibanding Villarreal (5). Hal-hal seperti inilah yang pada akhirnya tak mampu dilakukan oleh pemain sekelas Andres Iniesta sekali pun.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, kalau kita sudah membandingkan Messi dan Iniesta, mau tak mau kita harus bicara soal penganugerahan FIFA Ballon d'Or 2010. Pada tahun 2010 lalu, Iniesta mampu mengantarkan Spanyol menjadi juara Piala Dunia lewat gol tunggalnya di partai final melawan Belanda. Selain itu, penampilan Iniesta secara keseluruhan pada musim 2009/10 pun tokcer seperti biasanya. Namun, di malam penganugerahan, Messi-lah yang dipilih oleh orang-orang (satu kapten tim nasional, satu pelatiih tim nasional, dan satu jurnalis perwakilan per negara) yang berhak untuk memilih. Bagi mereka, Messi tetap lebih baik dibanding Iniesta.
Melihat Messi dan Ronaldo sebagai pesepak bola terbaik memang sangat mudah. Tolok ukurnya sederhana: jumlah gol.
Menurut situsweb Messi vs Ronaldo, hingga detik ini, Messi total sudah pernah bermain secara kompetitif sebanyak 669 kali dan berhasil mencetak 535 gol. Sementara itu, Ronaldo yang memang lebih tua sudah pernah bermain sebanyak 827 kali dengan catatan 572 gol. Secara rasio, Ronaldo (0,69 gol per laga) memang kalah dari Messi (0,79). Akan tetapi, jika kita menilik statistik ketika Ronaldo sudah bergabung bersama Real Madrid, rasio gol kapten Timnas Portugal ini (1,03 gol per laga) lebih baik dari milik Messi (1,01). Mencatat rasio 0,5 gol per laga saja sulitnya bukan main, Ronaldo dan Messi justru berlomba-lomba di angka lebih dari 1 gol per laga.
ADVERTISEMENT
Sepak bola memang ujung-ujungnya akan ditakar dengan menggunakan jumlah gol. Kalau kalah-menang saja ditentukan oleh jumlah gol, mengapa tidak dengan pemain terbaik? Bukankah dengan tolok ukur yang sama penilaian kemudian menjadi adil?
Tetapi, meski gol merupakan cara yang paling mudah untuk mengukur siapa yang lebih baik, sepak bola, di saat yang bersamaan, juga lebih dari sekadar gol. Ingatkah Anda dengan keberhasilan seorang Fabio Cannavaro menjadi pemain terbaik dunia? Cannavaro adalah seorang bek tengah yang kemampannya mustahil untuk diukur dengan menggunakan jumlah gol. Ketika itu pun, pada tahun 2006, statistik sepak bola belum semaju sekarang. Saya tidak yakin kalau ada yang mengukur catatan intersepsi, persentase duel udara, tekel, atau blok Cannavaro. Selain itu, untuk seorang pemain belakang, banyaknya aksi defensif yang dia lakukan tidak menjamin kualitasnya. Justru, kata Paolo Maldini, ketika sudah ada aksi defensif (tekel), itu artinya seorang pemain belakang sudah membuat kesalahan.
ADVERTISEMENT
Nah, hal-hal seperti inilah yang seringkali luput dewasa ini. Sepak bola memang permainan yang lekat dengan angka, tetapi angka tanpa konteks sama bergunanya dengan keberadaan Donald Trump di muka bumi: tidak ada.
Namun, kalau kita mau menihilkan penggunaan angka pun, sulit untuk menafikan fakta bahwa Messi dan Ronaldo adalah yang terbaik di dunia. Tengok saja bagaimana kedua orang itu bermain. Faktanya adalah, tidak ada yang bisa melakukan apa yang mereka lakukan, apalagi dengan level konsistensi seperti mereka.
Ambil contoh Neymar. Pemain yang digadang-gadang akan menjadi salah satu penerus Messi dan Ronaldo sebagai peraih penghargaan pemain terbaik dunia itu kini sedang berada dalam masa paceklik. Sudah 82 hari pesepak bola asal Brasil itu absen mencetak gol. Jumlah gol Neymar di La Liga saat ini bahkan mampu disamai oleh Sergio Ramos yang notabene berposisi sebagai bek tengah. Ini menunjukkan bahwa meski Neymar adalah pemain hebat, dia belum ada di level yang sama dengan Messi dan Ronaldo. Banyak pihak juga mulai meragukan apakah nantinya dia bisa sampai di level Messi dan Ronaldo. Spekulatif, memang, tetapi bukannya sama sekali tidak beralasan.
ADVERTISEMENT
Selain Neymar, ada pula Antoine Griezmann. Sebelum mencetak gol ke gawang Eibar hari Sabtu (7/1/2017) lalu, penyerang asal Prancis ini sempat mengalami kekeringan gol selama 822 menit atau lebih dari sembilan pertandingan. Padahal, menurut The Best FIFA Awards 2016, Griezmann adalah pemain terbaik ketiga di dunia. Hal ini, sama seperti yang terjadi pada Neymar, lagi-lagi membuktikan bahwa mau disangkal seperti apa pun, Messi dan Ronaldo tetap yang terbaik.
Silaunya orang-orang (terutama para voter yang memiliki hak suara untuk memilih pemain terbaik dunia) dengan catatan rekor Messi dan Ronaldo ini membuat mereka kemudian dengan mudah menjatuhkan pilihan pada salah satu dari dua orang ini. Mereka sudah tahu bahwa kedua pemain ini ada di kelas yang sama. Untuk memilih siapa yang lebih baik pada tahun tertentu, mereka menggunakan pendekatan lain. Tahun 2016, misalnya. Ronaldo kembali terpilih menjadi pemain terbaik dunia 2016 karena dia mampu membawa Portugal menjuarai Piala Eropa dan Real Madrid meraih trofi Liga Champions. Raihan trofi inilah yang kemudian menjadi pembeda di setiap tahunnya. Siapa yang "kebetulan" lebih banyak gelarnya, maka dialah yang kemudian dipilih. Sesederhana itu.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa penghargaan pemain terbaik FIFA kerap dipertanyakan legitimasinya. Selain pemilihannya hanya dilakukan dengan voting, mereka yang memiliki hak suara pun dipertanyakan. Memang benar bahwa seharusnya tak ada yang mengerti sepak bola lebih dari pelaku sepak bola itu sendiri (dalam hal ini kapten dan pelatih), tetapi justru mereka yang terlibat langsung di sepak bola itu punya sedikit sekali waktu untuk mengurusi sepak bola di tempat lain. Para pesepak bola profesional, ketika sedang tidak bermain tentu lebih memilih untuk berlibur alih-alih menonton pertandingan orang lain. Itulah yang seringkali jadi perdebatan.
Maka dari itu, penghargaan Ballon d'Or (sebelum dan sesudah dikooptasi FIFA) sering disebut sebagai penghargaan yang punya legitimasi lebih. Pasalnya, mereka yang memiliki hak pilih (para jurnalis) memang mendedikasikan hidupnya untuk menonton dan menganalisis sepak bola. Mereka inilah yang mengisi waktu luang dengan menonton sepak bola. Mereka inilah yang sebenarnya lebih tidak bisa hidup tanpa sepak bola.
ADVERTISEMENT
Nah, lalu bagaimana dengan pemain seperti Iniesta, Modric, atau Toni Kroos? Bagaimana dengan Sergio Ramos atau Leonardo Bonucci? Bagaimana dengan Manuel Neuer atau Gianluigi Buffon?
Ya, nasib. Sepak bola ini meski disebut sebagai olahraga egaliter (setidaknya begitu menurut pandangan Rinus Michels) tetap memiliki elitisme yang sulit dibantah. Bahkan, di timnya Michels yang "egaliter" itu saja ada sosok-sosok seperti Johan Cruyff dan Ruud Gullit yang level kebintangannya ada di atas pemain lain.
Dalam sepak bola, sudah jadi konsensus bahwa pemain-pemain yang terbaik hampir selalu ada di posisi menyerang. Itulah mengapa, sebelum Messi dan Ronaldo, ada Pele dan Maradona. Sosok-sosok seperti Lev Yashin, Dino Zoff, Franz Beckenbauer, atau Carlos Alberto memang jadi eksepsi, tetapi jumlahnya pun tak banyak. Sudah sejak dulu, penyerang -- pun demikian dengan gelandang serang atau winger -- selalu jadi pemain yang lebih diingat. Penyebabnya sederhana. Karena mereka, para pemain menyerang itulah yang kemudian bisa mengubah hasil pertandingan. Merekalah yang diandalkan untuk mencapai tujuan dari bermain sepak bola itu sendiri: mencetak gol.
ADVERTISEMENT
Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo mampu menjalankan peran sebagai penentu hasil laga nyaris tanpa tandingan, dan mereka sudah melakukan itu secara konsisten selama kurang lebih satu dekade. Usia Ronaldo tahun ini akan menginjak 32 tahun sementara Messi akan mulai menginjak kepala tiga. Sudah cukup tua memang untuk ukuran pesepak bola. Akan tetapi, hingga kini pun kedua orang itu belum menunjukkan tanda-tanda melambat barang sedikit pun. Mungkin nanti ketika usia mereka sudah sampai pertengahan tiga puluhan-lah penurunan itu baru akan (benar-benar) terasa, tetapi sebelum kita sampai di titik itu, tampaknya suguhan Messi vs Ronaldo akan masih terus menjadi "makanan basi" yang mau tak mau kudu disantap.