Shakhtar Donetsk yang Merangkak dari Distopia

26 September 2017 14:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemain Shakhtar, Taison dan Darijo Srna. (Foto: Reuters/Gleb Garanich)
zoom-in-whitePerbesar
Pemain Shakhtar, Taison dan Darijo Srna. (Foto: Reuters/Gleb Garanich)
ADVERTISEMENT
Hikayat Shakhtar Donetsk tak pernah jauh dari kekerasan, bahkan kematian. Ketika didirikan pada 1936 dulu dengan nama Stakhanovets*, kota Donetsk masih bernama Stalino, sebagai bentuk pemujaan terhadap Joseph Stalin yang dikenal sebagai salah satu diktator paling mematikan dalam riwayat peradaban manusia. Kini, lebih dari delapan dekade berselang, Shakhtar belum juga mampu lepas dari rundungan malapetaka.
ADVERTISEMENT
Selain Qarabag FK dari Azerbaijan, Shakhtar adalah tim musafir lainnya di Liga Champions musim ini. Di Donetsk, mereka sebenarnya memiliki rumah mewah yang sempat menjadi salah satu tuan rumah Piala Eropa 2012. Namun, setelah Donetsk, atau lebih tepatnya wilayah Donbass, jatuh ke tangan pemberontak pada 2014 lalu, stadion ini beralih fungsi.
Sudah tiga tahun lebih tidak ada aktivitas olahraga di Donbass Arena. Kini, stadion berkapasitas 52 ribu penonton itu menjadi jantung yang memompa darah kehidupan ke seluruh penjuru Donetsk. Di sanalah segala aktivitas kemanusiaan pascaperang dipusatkan. Dari situ, bahan pangan dan pelbagai kebutuhan hidup dipasok ke seantero kota.
Sejak Donbass jatuh ke tangan pemberontak yang menamai diri mereka Republik Rakyat Donetsk, pemerintah Ukraina tak lagi sudi membiayai kota Donetsk. Kota yang menurut Darijo Srna sempat menjadi kota masa depan itu kini tinggal cerita. Orang-orangnya memang masih ada, tetapi untuk disebut sebagai sebuah peradaban, muskil rasanya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, bagi para penduduk yang masih setia, Donetsk adalah rumah. Bagi Shakhtar pun begitu, walaupun kini mereka harus mengungsi ke Kharkiv yang jaraknya lebih dari 500 km. Itulah mengapa, oleh sang patron Rinat Akhmetov, Donbass Arena tetap dipertahankan sebagai jantung kehidupan.
Stadion itu dibangun sendiri oleh Akhmetov yang merupakan orang terkaya Ukraina pada tahun 2006 silam. Ketika itu, pria 51 tahun ini sudah 11 tahun memimpin Shakhtar. Dia "mengambil alih" tampuk kepemimpinan klub dari seorang mafia bernama Akhmet Bergin pada 1995. Di tahun itu, Bergin terbunuh dalam sebuah ledakan bom di Shakhtar Stadium, kandang lawas Shakhtar yang masih sangat bernapaskan Uni Soviet.
Butuh waktu tiga tahun untuk menyelesaikan pembangunan Donbass Arena dan akhirnya, pada tahun 2009, persis setelah Shakhtar berhasil menjadi juara Piala UEFA, mulailah mereka menggunakan stadion baru ini sebagai markas. Kala itu, stadion ini dianggap sebagai sebuah simbol progres klub. Sayangnya, lima tahun berselang, rumah yang mewah itu harus dievakuasi.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Shakhtar harus menggunakan stadion yang sebelumnya merupakan milik Metalist Kharkiv. Klub ini sendiri gulung tikar pada musim lalu dan dengan demikian, Shakhtar adalah "pemilik" tunggal dari Metalist Stadium. Walau bukan rumah yang sebenarnya, setidaknya stadion ini cukup nyaman bagi Shakhtar untuk sementara waktu.
Ini merupakan sebuah kemajuan mengingat setelah mereka dipaksa meninggalkan Donbass Arena, Shakhtar sempat kesulitan mencari tempat penampungan sementara. Kala itu, pilihannya antara Lviv atau Kiev karena UEFA memang hanya mengizinkan dua kota itu saja sebagai rumah baru bagi Shakhtar. Di Kiev tentu tidak mungkin karena di sana sudah bersarang seteru berat mereka, Dynamo Kiev.
Penampakan Donbass Arena sebelum perang. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Penampakan Donbass Arena sebelum perang. (Foto: Wikimedia Commons)
Pada akhirnya, mereka bisa mengungsi ke Arena Lviv untuk sementara. Namun, untuk itu, mereka harus melakukan negosiasi yang sangat, sangat alot. Masalahnya, Shakhtar harus berbagi rumah dengan Karpaty Lviv. Baru setelah Metalist Kharkiv resmi gulung tikar, Shakhtar akhirnya angkat kaki dari Lviv.
ADVERTISEMENT
***
Shakhtar, mengutip kata-kata sang kapten Darijo Srna, sudah kehilangan banyak hal. Nyaris segalanya, malah. Akan tetapi, ada satu hal yang ternyata tidak bisa dirampas dari mereka, yakni kekuatan mereka di atas lapangan hijau.
Memang benar bahwa mereka kini tak lagi punya Willian atau Henrikh Mkhitaryan, tetapi bukan berarti mereka melemah. Masalahnya, di sana masih ada nama-nama berbau Samba yang sudah menjadi ciri khas Shakhtar sejak perang belum mulai berkecamuk.
Fred, Taison, Bernard, dan Marlos adalah pemain-pemain Brasil yang masih bertahan sampai detik ini meski situasi belum kunjung ideal di Shakhtar. Mereka, berpadu dengan nama-nama lokal macam Andriy Pyatov, Yaroslav Rakitskiy, Serhiy Kryvtsov, Taras Stepanenko, dan Viktor Kovalenko, membentuk sebuah tim yang masih mampu tampil begitu dominan di kompetisi domestik sana. Musim lalu, mereka kembali berhasil menjadi juara setelah pada musim 2014/15 dan 2015/16 harus menyaksikan Dynamo Kiev berjaya.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Shakhtar itu, selain karena pemain-pemain mereka yang kian solid dan matang secara mental, juga tak bisa dilepaskan dari tangan dingin Paulo Fonseca. Pelatih asal Portugal itu datang di awal musim lalu menggantikan sosok legendaris Mircea Lucescu yang sudah kepayahan di dua musim terakhirnya. Datangnya Fonseca ini kembali menyegarkan Shakhtar yang sempat tenggelam.
Pelatih Shakhtar, Paulo Fonseca. (Foto: Reuters/Lee Smith)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Shakhtar, Paulo Fonseca. (Foto: Reuters/Lee Smith)
Dengan formasi 4-2-3-1, Fonseca mampu meledakkan kembali potensi para pemain Shakhtar yang sempat mejan. Hasilnya, musim lalu pun mereka menjadi juara liga dengan keunggulan 13 poin atas Dynamo Kiev. Selain itu, mereka pun berhasil menjadi kesebelasan dengan daya gedor terbaik kedua (66 gol) sekaligus pertahanan terbaik (24 gol).
Di Ukraina sana, Shakhtar memainkan sepak bola yang ofensif nan menawan. Sebagai ujung tombak, mereka punya raksasa bernama Facundo Ferreyra. Pesepak bola Argentina ini disokong oleh trio Brasil—Bernard, Marlos, dan Taison—sebagai gelandang serang. Di belakang trio ini, Fred menjadi distributor bola dan Stepanenko menjadi pencegat.
ADVERTISEMENT
Kemudian, di pos bek kanan dan kiri, ada Srna serta pemain Brasil lainnya, Ismaily. Seperti full-back modern pada umumnya, mereka juga senantiasa berperan aktif dalam penciptaaan marabahaya di area pertahanan lawan. Lalu, sebagai bek tengah, berdirilah dua karang bernama Yaroslav Rakitskiy yang merupakan seorang ball-playing defender sekaligus eksekutor bola-bola mati andal dan Serhiy Kryvtsov yang merupakan bek tengah klasik. Kuartet ini melindungi kiper veteran Andriy Pyatov.
Meski begitu, mereka tahu bahwa di Eropa, situasinya tidak sama. Itulah mengapa, ketika berhadapan dengan Napoli yang dikenal sebagai kesebelasan ultra-ofensif, Fonseca memilih untuk bersikap pragmatis.
Setelah mencuri gol melalui Taison pada awal-awal babak pertama, mereka langsung merapatkan barisan sampai turun minum. Seusai jeda, hal yang sama mereka lakukan. 13 menit babak kedua berjalan, Facundo Ferreyra mencetak gol kedua dan setelah itu, bus kembali diparkir oleh Fonseca, walau akhirnya mereka kebobolan juga lewat penalti Arek Milik.
ADVERTISEMENT
Pemain-pemain Shakhtar di laga vs Napoli. (Foto: Reuters/Gleb Garanich)
zoom-in-whitePerbesar
Pemain-pemain Shakhtar di laga vs Napoli. (Foto: Reuters/Gleb Garanich)
Kemenangan atas Napoli itu sendiri merupakan satu dari sedikit kejutan di pekan pembuka Liga Champions dan Rabu (27/9) dini hari pukul 01.45 WIB nanti, Shakhtar akan kembali diuji oleh klub berkostum biru muda lainnya, Manchester City.
City, di atas kertas, levelnya ada sedikit di atas Napoli karena kekuatan finansial mereka yang memang tidak masuk akal. Namun, secara ide permainan, kedua tim itu tidak berbeda jauh. Baik Maurizio Sarri maupun Pep Guardiola senantiasa mengedepankan penguasaan bola dan pergerakan tanpa bola yang konstan. Di pertandingan pertama, Fonseca dan Shakhtar mampu meredam itu.
Namun, ini kembali lagi kepada kualitas individual pemain City yang ada di atas Napoli. Dengan pemain-pemain yang lebih baik, kejutan-kejutan individual pun akan lebih banyak lagi. Inilah yang wajib diwaspadai oleh Fonseca. Apalagi, City nanti akan bermain di depan publik sendiri dan Shakhtar takkan diperkuat Srna serta Kryvtsov. Srna sedang berjuang membersihkan namanya akibat tuduhan doping, sementara Kryvtsov mesti menepi lantaran tempurung lututnya rusak.
ADVERTISEMENT
Shakhtar sendiri sebenarnya tidak berharap banyak dari Liga Champions kali ini. Mereka tahu bahwa mereka bukanlah unggulan. Akan tetapi, dengan menampilkan yang terbaik di kancah paling elite ini, Shakhtar Donetsk sudah memberi sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh apa pun: sebuah harapan.
=====
*) Nama Stakhanovets dipilih sebagai sebuah tribut untuk Aleksei Stakhanov. Stakhanov sendiri merupakan seorang poster boy propaganda pemerintah komunis Uni Soviet atas prestasinya yang menterang sebagai penambang batu bara.