Simone Inzaghi dan Inferioritas yang Menyembuhkan Sang Elang

19 Oktober 2017 12:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Teriakan Stefan De Vrij. (Foto: Reuters/Ciro De Luca)
zoom-in-whitePerbesar
Teriakan Stefan De Vrij. (Foto: Reuters/Ciro De Luca)
ADVERTISEMENT
Suatu kali, Gianluigi Buffon pernah berkata bahwa bukan Ronaldo Luiz Nazario de Lima atau Andriy Shevchenko penyerang yang paling ditakutinya, melainkan Filippo Inzaghi. Dan Buffon, sebagai salah seorang penjaga gawang terhebat sepanjang masa, tentu punya alasan kuat mengapa nama Pippo membuatnya gentar.
ADVERTISEMENT
Bagi Buffon, Ronaldo dan Shevchenko adalah penyerang yang luar biasa hebat. Mereka cepat, kuat, punya teknik bagus, dan bisa mencetak gol dengan cara apa pun. Tetapi, justru kehebatan mereka itulah yang membuat dirinya tidak takut terhadap mereka. Hanya lebih waspada.
Akan tetapi, Pippo Inzaghi adalah spesies yang sama sekali berbeda. Pasalnya, pemain satu ini bergerak dengan cara yang tidak bisa diprediksi dengan logika. Pippo Inzaghi adalah penyerang yang mengedepankan insting dan celakanya, insting itu tidak bisa ditandingi oleh siapa pun.
Insting membunuh Pippo itu tampaknya memang bawaan orok. Sejak kecil pun, ketika anak-anak seusianya bermain sepak bola, mereka selalu ingin mengajak Pippo dengan alasan yang sederhana: karena Pippo selalu mencetak gol. Selalu.
ADVERTISEMENT
Pippo kecil pun selalu mengiyakan ajakan bermain tersebut. Akan tetapi, menurut kesaksian sang ibunda, Marina, Pippo hanya mau ikut bermain apabila sang adik, Simone, juga diajak bermain.
***
"Adiknya Pippo". Itulah label yang selama ini tersemat pada diri Simone Inzaghi dan ini memang tidak salah. Simone memang adik dari Pippo. Akan tetapi, label ini menjadi beban yang sulit sekali dienyahkan oleh Simone karena sebagai pemain, Pippo Inzaghi punya prestasi yang jauh lebih menterang.
Pippo memenangi segalanya, mulai dari Serie A sampai Piala Dunia. Bahkan, pria kelahiran 1973 itu pernah juga menjadi topskorer Serie A. Tak cuma itu, rekornya di kompetisi antarklub Eropa pun menawan. Sementara Simone, meski punya koleksi satu Scudetto dan tiga Coppa Italia, tidak pernah mencapai apa yang dicapai oleh sang kakak.
ADVERTISEMENT
Tetapi, itu dulu. Kini, kakak-beradik itu sudah berkepala empat dan mereka tak lagi bertungkus-lumus di lapangan sebagai juru gedor. Kini, medan laga mereka sudah berpindah ke tepi lapangan sebagai juru taktik.
Jalan Pippo sebenarnya sudah lebih dimudahkan ketika dia diberi mandat untuk melatih AC Milan pada tahun 2014 lalu. Akan tetapi, entah karena Milan yang memang kala itu memang tidak punya harapan sama sekali atau bagaimana, karier melatih Pippo menemui batu sandungan yang tak pernah sama sekali dijumpainya ketika masih menjadi pemain.
Di akhir musim 2014/15, Adriano Galliani mengumumkan bahwa Milan takkan lagi menggunakan jasanya sebagai pelatih. Setelah itu, Pippo sempat menganggur sebelum pada tahun 2016 lalu menerima pinangan Venezia yang baru saja diambil alih oleh seorang pengacara Amerika Serikat bernama Joseph Tacopina.
ADVERTISEMENT
Ketika Pippo menerima pinangan Venezia itu, Simone baru saja mengakhiri musim perdana sebagai pelatih tim senior Lazio. Sekitar dua bulan sebelum Pippo mengiyakan tawaran Tacopina, Simone diminta Claudio Lotito untuk menjadi caretaker Lazio setelah Stefano Pioli dirumahkan.
Situasinya ketika itu jauh dari kata ideal. Lazio baru saja dihajar Roma 1-4 pada Derby della Capitale. Kekalahan telak itulah yang menjadi puncak dari turbulensi yang dialami Lazio pada musim 2015/16 tersebut. Dalam 21 giornata sebelumnya, Gli Aquilotti hanya mampu menang lima kali. Meski badai cedera, termasuk yang menimpa Stefan De Vrij sejak awal musim, bisa dijadikan alasan, laju itu memang sama sekali tidak bisa dimaafkan.
Ultras Lazio pun mengamuk. Laga mereka boikot dan sesi latihan di Formello pun mereka jadikan ajang baku pukul dengan polisi.
ADVERTISEMENT
Simone Inzaghi kala masih bermain. (Foto: AFP/Gabriel Buoys)
zoom-in-whitePerbesar
Simone Inzaghi kala masih bermain. (Foto: AFP/Gabriel Buoys)
Melihat situasi demikian, Simone punya solusi cerdas: mengungsikan para pemainnya ke daerah yang lebih tenang. Hasilnya, dalam tujuh laga, empat kemenangan berhasil diraih dan Lazio pun akhirnya berhasil mengamankan satu posisi di papan tengah pada klasemen akhir. Simone pun kemudian resmi menjadi pelatih tetap Lazio.
***
"Tujuan saya memang selalu menjadi pelatih Lazio," kata Simone Inzaghi ketika pertama kali diperkenalkan sebagai pengganti Pioli. "Saya adalah pelatih Lazio saat ini dan saya ingin menjadi pelatih Lazio di masa mendatang."
Musim kompetisi 2017/18 baru seumur jagung. Akan tetapi, Lazio besutan Simone Inzaghi sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka bakal bisa menjadi seperti Lazio era Sergio Cragnotti yang dulu begitu ditakuti. Mereka memang tidak memiliki Juan Sebastian Veron atau Jose Marcelo Salas, tetapi cara Senad Lulic dkk. menyikapi pertandingan sudah mencerminkan tanda-tanda sebagai tim bermental juara.
ADVERTISEMENT
Buktinya sudah ada. Pada ajang Supercoppa Italiana bulan Agustus lalu, Juventus mereka pecundangi. Skor pertandingan itu memang tipis. Hanya 3-2. Namun, angka yang tertera di situ sama sekali tidak mencerminkan apa yang terjadi pada pertandingan tersebut di mana satu-satunya pemain Juventus yang layak disebut sebagai pemain Juventus hanyalah Paulo Dybala.
Lazio di bawah Simone Inzaghi adalah Lazio yang ingin disaksikan oleh setiap Laziale di muka bumi ini. Lazio yang ini adalah Lazio yang diinginkan oleh para ultras yang mengamuk di Formello pada April 2016 lalu; Lazio yang selalu mau bertarung, terlepas dari apa pun hasil akhirnya.
Delapan pertandingan sudah berjalan dan mereka sudah berhasil meraih enam kemenangan plus satu hasil imbang. Sementara, satu kekalahan diderita dari Napoli yang memang sepertinya bisa mengalahkan semua kesebelasan di Serie A dengan mudah. Dengan koleksi 19 poin, mereka, bersama Internazionale, kini menguntit Napoli di pucuk klasemen.
ADVERTISEMENT
Pelatih Lazio, Simone Inzaghi. (Foto: AFP/Marco Bertotello)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Lazio, Simone Inzaghi. (Foto: AFP/Marco Bertotello)
Lantas, apa yang membuat Lazio yang sekarang ini begitu berbeda?
Faktor pertama tentu saja Simone Inzaghi sendiri sebagai pelatih. Sebagai pemain, Simone terbiasa dengan inferioritas. Itulah mengapa, pendekatan pertamanya di Lazio adalah soal bagaimana caranya bertahan.
Meskipun kini mereka menjadi kesebelasan dengan jumlah kebobolan terbanyak di tujuh teratas Serie A, satu hal yang paling menonjol dari tim ini adalah bagaimana mereka tidak pernah berhenti bertarung demi mempertahankan tiap jengkal lapangan. Untuk melakukan ini, hal pertama yang dilakukan Simone adalah memastikan keunggulan jumlah pemain sebelum melakukan tekanan terhadap lawan.
Itulah mengapa, kini Simone setia dengan formasi 3-4-2-1. Empat pemain yang terdiri dari dua gelandang tengah dan dua wing-back itulah yang menjadi kunci utama Simone dalam bertahan. Di timnya saat ini bercokollah nama Senad Lulic, Lucas Leiva, Marco Parolo, dan Dusan Basta sebagai pilihan utama.
ADVERTISEMENT
Secara teknis, keempat pemain itu bukan yang terbaik. Namun, mereka punya determinasi yang sulit ditandingi. Parolo, misalnya, selalu menjadi pilihan utama Antonio Conte di Piala Eropa 2016 karena alasan ini. Dengan pemain-pemain penuh determinasi ini, Lazio (hampir) selalu bisa membuat serangan-serangan lawan tercekik.
Idealnya, setelah mampu memutus serangan lawan di sini, Lazio kemudian melancarkan serangan balik kilat lewat prakarsa Sergej Milinkovic-Savic serta Luis Alberto yang nantinya bakal dieksekusi oleh Ciro Immobile sebagai ujung tombak. Dalam struktur serangan Lazio ini, ada tiga hal utama yang dipadukan, yakni kekuatan, kemampuan teknikal, serta kecepatan.
Milinkovic-Savic punya kekuatan, Luis Alberto punya kemampuan teknikal, dan Immobile termasyhur akan kecepatannya. Untuk melancarkan serangan balik kilat, tiga hal ini memang fundamental dan Lazio memiliki itu semua.
ADVERTISEMENT
Parolo (kiri) dan Daniele De Rossi. (Foto: AFP/Filippo Monteforte)
zoom-in-whitePerbesar
Parolo (kiri) dan Daniele De Rossi. (Foto: AFP/Filippo Monteforte)
Namun, inferioritas Simone ini tidak melulu terlihat. Masalahnya, di lini belakang, pria kelahiran Piacenza itu justru sangat, sangat berani. Pertama, dia menggunakan trio bek sentral yang kesemuanya bisa bermain sebagai ball-playing defender. Kedua, keberaniannya untuk menyingkirkan Federico Marchetti serta Etrit Berisha demi mempercayakan gawang Lazio untuk dikawal Thomas Strakosha.
Pemilihan komponen-komponen lini belakang ini sangat menarik. Pasalnya, mereka semua punya kelebihan untuk melancarkan dua jenis serangan balik. Jika trio bek Lazio—Bastos, Stefan De Vrij, dan Stefan Radu—punya kelebihan dalam umpan-umpan pendek, Strakosha adalah distributor umpan panjang yang ciamik. Ini, tentunya, belum termasuk kebolehan kiper muda asal Albania itu dalam melakukan penyelamatan, termasuk kala dia menggagalkan penalti Paulo Dybala pada laga Serie A pekan kedelapan lalu.
ADVERTISEMENT
Selain karena taktik dan pendekatan Inzaghi ini, Lazio juga memiliki setidaknya tiga pemain yang ingin membuktikan sesuatu. Mereka adalah Lucas Leiva, Luis Alberto, dan Ciro Immobile.
Lucas dan Luis Alberto sama-sama pernah berbaju Liverpool. Meski terbilang sukses di Liverpool, dalam beberapa musim terakhir, Lucas selalu menjadi pesakitan. Dia disebut-sebut tidak punya lagi kemampuan untuk bertarung di Premier League karena sudah melambat dan fisiknya yang sudah tidak sekuat dulu.
Di Lazio, Lucas berubah peran. Dia tak lagi menjadi penjagal seperti halnya di Liverpool, melainkan sebagai pembagi bola. Di Lazio, Simone Inzaghi mengutilisasi intelegensi Lucas alih-alih atribut fisiknya.
Kemudian, Luis Alberto ketika di Liverpool dulu hampir tidak pernah dimainkan sebagai gelandang serang seperti sekarang ini. Dulu, dia selalu bermain sebagai second striker atau penyerang sayap dan ternyata, dua peran itu tak mampu membuat pemain 25 tahun itu mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
ADVERTISEMENT
Kevin De Bruyne-nya Lazio, Luis Alberto. (Foto: AFP/Filippo Monteforte)
zoom-in-whitePerbesar
Kevin De Bruyne-nya Lazio, Luis Alberto. (Foto: AFP/Filippo Monteforte)
Bersama Lazio, Luis Alberto menjelma menjadi seperti Kevin De Bruyne di Manchester City. Seorang gelandang serang modern yang tak hanya punya kemampuan teknikal dan visi mumpuni, tetapi juga mobilitas yang bisa diandalkan. Tak mengherankan sama sekali jika sampai giornata kedelapan ini, mantan pemain Sevilla tersebut berhasil menyumbang tiga gol dan tiga assist di Serie A.
Terakhir, tentu saja, Ciro Immobile. Bagi pemain 27 tahun itu, Lazio adalah sebuah tempat penebusan dosa setelah sebelumnya pernah mengecewakan banyak pihak tatkala bermain untuk Borussia Dortmund dan Sevilla. Bersama Biancocelesti, pemain asal Napoli tersebut seperti menemukan "klik" yang sebenarnya sudah pantas dia dapatkan dua, tiga tahun silam.
Kombinasi itulah yang membuat Lazio pada musim ini begitu menyeramkan. Semuanya terasa pas. Terlepas dari kekurangan seperti perkara kedalaman skuat, Lazio yang ini terlihat nyaris sempurna.
ADVERTISEMENT
Jumat (20/10) dini hari nanti, Lazio akan bertandang ke Allianz Riviera, markas OGC Nice di matchday ketiga Liga Europa. Bagi Lazio, misinya sudah jelas: meraih kemenangan ketiga secara beruntun setelah sebelumnya Vitesse dan Zulte Waregem berhasil ditaklukkan.
Mudah? Tentu tidak. Walaupun sampai kini performa Nice masih angin-anginan, mereka bisa tiba di Liga Europa karena pada musim lalu, Mario Balotelli dkk. sebenarnya sukses memastikan satu tempat di Kualifikasi Liga Champions. Hanya saja, di babak kualifikasi itu, langkah mereka dihentikan oleh Napoli.
Nice tentu saja ingin membuktikan bahwa prestasi mereka musim lalu itu bukan kebetulan. Namun, Lazio pun demikian. Apabila performa mereka di Liga Europa tetap terjaga, maka capaian mereka di Serie A pun tidak bisa disebut sebagai sebuah kebetulan belaka.
ADVERTISEMENT
=====
Laga matchday ketiga Liga Europa Grup K antara Nice dan Lazio akan digelar Jumat (20/10/2017) pukul 00.00 WIB di Allianz Riviera, Nice.