Sumpah Seorang Nomad Bernama Dani Alves

2 Juni 2017 7:30 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Dani Alves dan Paulo Dybala. (Foto: Reuters/Stefano Rellandini)
Bagi Dani Alves, rumah adalah sebuah ide yang sulit diejawantahkan. Ketika berumur 13 tahun, dia sudah tak lagi tinggal bersama keluarganya di Juazeiro. Di usia yang masih teramat belia itu, Alves sudah berkenalan, bahkan bersahabat dengan dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Di sebuah akademi sepak bola, Dani Alves tergabung dengan 99 bocah lain untuk tinggal di asrama. Baru sehari di sana, dia sudah mendapat musibah. Seragam latihan yang dibelikan oleh sang ayah hilang saat sedang dijemur. Itulah, tulis Dani Alves dalam kolom eksklusif di The Players' Tribune, momen di mana dia sadar bahwa dunia nyata tidak seperti di rumah. Alasannya? "Segalanya benar-benar nyata di sini," tulis pria 34 tahun itu.
Sedari kecil, Alves telah menjadi sosok nomaden. Di usia 18 tahun, dia hijrah ke Bahia dan setahun berikutnya, dia sudah berada di benua berbeda. Tahun 2002, di usianya yang baru 19 tahun, Alves yang masih terlalu ceking itu sudah menjejakkan kaki di Tanah Iberia, tepatnya di Sevilla.
ADVERTISEMENT
Enam tahun bergelimang prestasi dan reputasi membuat Barcelona datang meminangnya. Yang menarik, Alves mau bergabung dengan Sevilla karena dia membaca bahwa Sevilla adalah tim yang bermain melawan Barcelona di liganya.
Di Barcelona-lah Dani Alves menjadi Dani Alves yang sekarang. Bermain bersama Lionel Messi dan dilatih oleh Pep Guardiola adalah dua dari sekian banyak alasan di balik megahnya nama Alves di jagat persepakbolaan dunia. Suatu kali, kenang Alves, dalam sebuah sesi latihan serius, Messi bermain dengan sepatu yang talinya tidak terikat. Dua-duanya tidak terikat.
"Orang ini (Messi --red) bermain melawan bek-bek terbaik dunia dan dia bersikap seakan-akan sedang bermain sepak bola santai di hari Minggu. Itulah momen di mana aku tahu bahwa aku takkan bermain dengan sosok seperti dirinya lagi."
ADVERTISEMENT
Mari bersujud pada Messi. (Foto: Stringer via Reuters)
Dan soal Guardiola, hmm, Alves mengatakan bahwa jika kata "komputer" dibalik, maka kata yang akan terbaca adalah "Steve Jobs", sedangkan jika kata "sepak bola" dibalik, yang terbaca adalah "Pep". Alves tak berlebihan, tentu saja, mengingat Guardiola adalah sosok pelatih yang tak hanya sukses, tetapi juga revolusioner.
"Pep adalah pelatih pertama dalam hidupku yang mengajari caranya bermain sepak bola tanpa bola," tulisnya.
Alves sendiri menghabiskan delapan tahun karier profesionalnya bersama Barcelona dan dalam kurun waktu itu, 23 trofi berhasil diraihnya. 23 dari total 34 trofi yang sudah dikoleksinya, dia dapatkan ketika bermain untuk Barcelona dan 14 di antaranya dia raih bersama Pep.
Itulah mengapa, kata Alves, dia tidak bisa melupakan Barcelona. Klub itu, kata pemilik 100 caps untuk Tim Nasional Brasil ini, sudah merasuk benar ke dalam hatinya; ke dalam darahnya. Ketika Barcelona menyingkirkan Paris Saint-Germain lewat comeback terheroik sepanjang masa itu, Alves pun tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
ADVERTISEMENT
"Aku berjingkrak-jingkrak tak keruan," akunya.
Hal itu memang agak di luar perkiraan, mengingat ketika itu, Alves meninggalkan Barcelona dengan tidak baik-baik. Ceritanya adalah, selama beberapa musim terakhir di Barcelona, para pejabat El Barca selalu berusaha untuk mengusir Alves dengan halus. Baru ketika Barcelona terkena larangan transfer, kontrak Alves diperpanjang.
Itulah mengapa, dia enggan melanjutkan karier di Barcelona dan memilih hijrah ke Juventus. Bukan karena dia tidak mencintai Barcelona, tetapi karena dia merasa tidak dihargai oleh para petinggi klub.
Sebelum pindah ke Juventus, ada satu sumpah yang dilontarkan Alves kepada para petinggi Barcelona.
"Kalian akan merindukanku," katanya ketika itu.
Akan tetapi, terang Alves, bukan merindukannya sebagai pemain karena di Barcelona ada banyak pemain berkualitas wahid.
ADVERTISEMENT
"Maksudku ketika itu adalah, mereka bakal merindukan semangatku. Mereka bakal merindukan bagaimana sayangnya aku kepada para pemain di ruang ganti. Mereka bakal merindukan darah yang kutumpahkan setiap kali aku mengenakan seragam Barcelona."
Neymar ditenangkan oleh Dani Alves. (Foto: Reuters/Albert Gea)
Ya, setelah Juazeiro dan Sevilla, Barcelona adalah rumah ketiganya. Kini, Alves sedang berusaha untuk menjadikan Juventus sebagai rumah keempatnya dan jika ada sosok yang mengingatkannya pada Barcelona, ia adalah Paulo Dybala.
"Suatu hari ketika latihan, saya melihat dalam diri Dybala apa yang sebelumnya kulihat di diri Messi. Bukan cuma talenta karena aku sudah pernah menyaksikan itu berkali-kali. Apa yang dimiliki Dybala itu adalah talenta yang dikombinasikan dengan keinginan menaklukkan dunia."
"Di Barca, aku punya Messi. Di Juve, aku punya Dybala. Orang-orang genius ini kok selalu ada ke mana pun aku pergi. Sumpah."
ADVERTISEMENT
Tanggal 4 Juni 2017 nanti, Dani Alves bakal menjadi sosok protagonis Juventus dalam upaya mereka mencari trofi Liga Champions ketiga. Bagi Alves, apabila nantinya La Vecchia Signora menang, itu bakal menjadi trofi "Kuping Besar" keempatnya sekaligus trofi ke-35 dalam kariernya.
Sebelumnya, kapten Juventus, Gianluigi Buffon, sudah pernah berbincang secara khusus dengan Alves. Pinta Buffon cuma satu: supaya Alves sudi mengajari Juventus bagaimana caranya memenangi Liga Champions.
Sebagai seorang pemain, Alves tentunya paham bagaimana caranya. Sekarang, pertanyaannya adalah: mampukah para pemain Juventus lainnya mengikuti petunjuk darinya?
P.S.: Selengkapnya, baca kolom Dani Alves di sini.