7 Agustus : Menjaga Ingatan tentang Mayor Achmadi

Yoggi Bagus Christianto
Kolomnis dan Mahasiswa FKIP UNS
Konten dari Pengguna
8 Agustus 2020 14:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yoggi Bagus Christianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Monumen Mayor Achmadi Solo
Tanggal 7 Agustus selalu menjadi pengingat waktu untuk kota Solo. Sering kita jumpai banyak ikon berbudaya di Solo. Bahkan sering dilewati didekat Taman Banjarsari yakni monumen Mayor Achmadi. Solo sebelum wabah masih berseri layaknya matahari di pagi hari yang menghangatkan kehidupan dan menghijaukan tumbuhan. Masyarakat masih berseri dan berfoto-foto diberbagai tempat wisata maupun peninggalan sejarah. Masih bisa bercengkrama dengan pasangannya maupun bergerombol layaknya kawanan domba yang sedang menari di ladang. Namun ketika datangnya sang momok wabah Covid19, kini tatanan sudah mulai banyak berubah yang ditandai dengan lubang hidung harus diungkep secarik kain, tangan tak boleh bersentuhan namun rasa gilo atau jijik, bergerombol namun harus dengan jarak sehingga kehangatan itu telah berganti menjadi dingin. Mata masyarakat hanya berfokus pada kesehatan dirinya. Tempat-tempat wisata seperti candi, monumen, maupun museum sekarang sepi jarang ada yang mengunjungi, namun jika dibiarkan akan menggerogoti roh semangat sejarah. Kota Solo dikenal memiliki sejarah dan budaya yang sangat berpengaruh pada negara. Namun di tengah Pandemi Covid19 ini perhatian mata dunia layaknya memandang satu arah pada Covid19 dan tidak seharusnya mengesampingkan sejarah lokal yang membawa dampak besar bagi kehidupan. Dibangunkannya berbagai bangunan seperti monumen guna menjaga ingatan tentang sejarah lokal agar setiap terjadi sebuah peristiwa besar tidak sepatutnya melupakan sejarah atau narasi leluhur. Bung Karno mendeklarasikan “JAS MERAH” maksudnya Djangan sekali-kali meninggalkan Sedjarah. Bukan peristiwa yang diulang namun roh sejarah itulah yang perlu diulang. Supaya Sejarah itu terus berangsur-angsur di hidupkan maka perlu dirawat dan dijaga bahkan hingga menghargai hasil perjuangan leluhur. Para tentara baik itu nasional maupun tentara tanpa pangkat (warga biasa) sudah mau mempertahankan kedaulatan Indonesia. Di Solo pada pra maupun pasca kemerdekaan masih dikenal dengan para pelajar yang terjun langsung untuk mempertahankan kemerdekaannya. Para pelajar ini bukan berarti mereka tidak bersekolah namun mereka belajar sekaligus berperang dan pimpinan mereka adalah Mayor Achmadi. Berbagai penghormatan di berikan atas perjuangan Mayor Achmadi seperti didirikannya sebuah Monumen.
ADVERTISEMENT
Monumen Perjuangan Kota Solo Mayor Achmadi yang diresmikan tanggal 7 Agustus 2010 oleh mantan Panglima TNI Jend Joko Santoso dan Walikota Surakarta pada saat itu Ir. Joko Widodo. Dibalik tanggal 7 Agustus, kota Solo memiliki sejarah yang panjang dan semangat roh tersebut haruslah dimiliki oleh masyarakat Solo sekarang.
Bertepatan tanggal tersebut terjadi peristiwa penting pertempuran empat hari di Solo (7-10 Agustus 1949) yang digerilyakan salah satunya laskar pimpinan Mayor Achmadi yakni “Laskar Kere”.
Namun para tentara pelajar tersebut tidak mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk bersekolah. Tangan dari para tentara pelajar silih berganti antara buku-buku dengan senjata. Mereka memiliki semangat yang tidak kalahnya dengan tentara pada umumnya, meskipun mereka hanya seorang pelajar yang duduk dibangku sekolah, terdiri dari Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Tinggi dan para mahasiswa. Para pelajar pada saat itu memegang peranan pentig dalam mempertanahankan Indonesia. Para pelajar juga pelopor bagi pergerakan yang berjiwa nasionalisme.
ADVERTISEMENT
Laskar Kere sendiri ada karena adanya niat cinta tanah air yang tinggi. Nama Laskar Kere juga karena mereka berjuang melawan penjajah dengan apa adanya bahkan mereka tidak punya apa-apa. Mereka berpakaian kumuh dan tidak punya uang layaknya wong Kere. Pasukan yang dipimpin oleh Moeslimin ini pada waktu beristirahat di Banjubiru mendapat ide untuk memberikan nama pasukannya yakni “Laskar Kere” karena melihat celana robek-robek yang dipakai oleh anggotanya yakni Gajah Suranto. Dalam Perkembangannya Laskar Kere ini mengikuti pertempuran di Jawa Tengah (Semarang) hingga pimpinan beralih pada Achmadi.
Ada sebuah narasi unik dalam Artikel Historia, Laskar Kere memperoleh perlengkapan keyker (keker) guna menjalankan tugas penyelidikan di Jembatan Sungai Tuntang. Laskar Kere merasa terjepit dan terpaksa harus melepaska tembakan untuk mendekati jembatan. Namun kenyataannya sungai Tuntang sudah ditutup oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR), karena Laskar Kere berseragam tentara Jepang sehingga TKR mengira mereka adalah pasukan musuh dan bahkan disambut dengan tembakan senapan mesin. Laskar Kere menjadi panik dan terpaksa mereka harus berlindung dalam air dan menyebrang sungai hingga sampai di sebrang sungai tanpa adanya darah yang tercurah atau tidak ada yang gugur. Ketika ditanya oleh tentara TKR, “Kalian laskar apa?”, kemudian salah satu pasukannya menjawab “Laskar Kere, Pak”.
ADVERTISEMENT
Para pasukan pelajar ini walaupun tidak terdidik secara militer namun mereka memiliki loylitas yang tinggi kepada pemimpin dan semangat solidaritas. Saat bertugas mereka displin dan menjaga sikap kepada komandannya, namun pada saat mereka tidak bertugas mereka bergaul laaknya temannya dengan panggilan mas atau adhik. Para pasukan pelajar yang pemberani ini masih berusia sangat muda sekisar 16-18 tahun yang sudah berani mendirikan pergerakan ilegal untuk melawan Jepang, karena pada saat itu memang mereka was-was terhadap pasukan Jepang karena masih seringkali dilakukan penggeledahan tempat-tempat yang dicurigai oleh polisi rahasia Jepang. Bahkan masih ada tentara yang berusia 14-15 tahun yang ikut berjuang.
ADVERTISEMENT
Mayor Achmadi memang seorang pemimpin yang pemberani dan menjadi pelopor semangat seorang pelajar. Perjuangannya hanya bermodalkan semangat dan ingin mempertahankan Indonesia. Mayor Jendral Achmadi Hadisoemarto, lahir di Ngrambe, 5 Juni 1927. Pada usia 14 tahun, beliau dipindahkan ke Solo kemudian di usia 18 tahun beliau dipercayakan untuk memimpin Laskar Kere. Ia juga memimpin Seragan Umum Empat Hari di Solo yang cukup memukul tentara Belanda. Hingga beliau meninggal pada 2 Januari 1984 dan dimakamkan si Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta.
Kiranya semangat laskar kere atau roh sejarah itu harus terus ada dan didalami oleh masyarakat era sekarang. Jiwa pemimpin Mayor Achmadi juga perlu diteladani. Era kehidupan masyarakat sekarang jangan membiarkan api semangat nasionalis itu padam justru dalam menghadapi persaingan dengan negara asing itulah perlu menilik dan mengambil roh sejarah. Keterpurukan sebuah negara itu terjadi jika roh sejarah itu dihilangkan. Maka dari itulah semangat Mayor Achmadi dan Laskar Kere perlu kita resapi, meskipun sebagai manusia yang tidak punya apa-apa tapi karena semangat solidarita itulah yang mampu mewujudkan visi dan misi bangsa. Musuh terbesar saat ini adalah diri kita sendiri.
ADVERTISEMENT