Mencetak Uang di Masa Pandemi, Apakah Tepat?

Konten dari Pengguna
26 Juni 2020 17:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yohanes Arthana Dio Pradipta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penulis adalah Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
Senin, 2 Maret 2020 akan terkenang sebagai tanggal kelam bagi masyarakat Indonesia, pasalnya pada tanggal tersebut, dua warga Depok, Jawa Barat positif terpapar corona virus disease atau COVID-19, dan merupakan kasus virus corona pertama di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setelah pengumuman yang mengejutkan tersebut, masalah demi masalah terus mendatangi ibu pertiwi. Perekonomian yang melemah secara signifikan, menjadi sorotan Pemerintah RI. Berdasarkan perkiraan dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), perekonomian Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 2,3 persen. Perkiraan tersebut jauh dari estimasi sebelumnya, yang memperkirakan perekonomian Indonesia dapat tumbuh hingga 5,3 persen di tahun 2020. Bahkan, KSSK, Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), memprediksi kemungkinan terburuk perekonomian Indonesia untuk tumbuh sebesar minus 0,4 persen tahun ini.
Melemahnya ekonomi Indonesia berasal dari berbagai faktor. Investasi yang selama ini telah menyumbang 33,08 persen dari pertumbuhan ekonomi Indonesia, diprediksikan hanya akan tumbuh sebesar 1 persen dari perkiraan sebelumnya 6 persen. Demikian juga konsumsi rumah tangga yang merupakan (C) dalam teori ekonomi makro (Y=C+I+G+Nx), hanya akan mengalami pertumbuhan sebesar 1,6 persen – 3,2 persen. Padahal, konsumsi masyarakat memegang peran sebesar 59 persen dari pertumbuhan ekonomi nasional. Tak heran karena dampak masif COVID-19 berpengaruh langsung terhadap daya beli masyarakat. Senada dengan dua faktor sebelumnya, ekspor Indonesia merosot dari sebelumnya minus 1 persen pada tahun 2019, kini harus turun hingga minus 14 persen – minus 15,6 persen. Ekspor sendiri memberikan kontribusi sebesar 18,61 persen pada perekonomian Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, belanja negara Indonesia akan membengkak menjadi Rp 2.613,8 triliun, seperti yang tertulis dalam APBN-Perubahan 2020 yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat, 3 April 2020. Adapun perubahan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Berdasarkan Perpres tersebut, belanja negara yang semula dikemukakan di angka Rp 2.540,4 triliun, harus ditingkatkan menjadi Rp 2.613,81 triliun. Kenaikan 2,88 persen tersebut sangat beralasan, pemerintah Indonesia telah menambahkan tambahan Rp 255,11 triliun, khusus untuk penanganan pandemi corona. Sebagaimana diungkapkan oleh Presiden Jokowi, fokus penggunaan anggaran belanja ada pada sektor kesehatan, jaring pengamanan sosial, dan pemulihan perekonomian.
ADVERTISEMENT
Sebuah solusi mencuat pada Rabu, 29 April 2020 yang lalu. Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, mengemukakan usul kepada pemerintah untuk melakukan pencetakan uang senilai Rp 400 – Rp 600 triliun. Said Abdullah selaku Ketua Badan Anggaran DPR RI menyebutkan, proses cetak uang merupakan cara yang cepat untuk menanggulangi pembiayaan terhadap pandemi corona. Beliau menambahkan, bahwa prediksi inflasi akan naik menjadi 5 hingga 6 persen karenanya.
Komentar berseberangan dilontarkan pihak Bank Indonesia. Perry Warjiyo, selaku Gubernur BI, mengatakan bahwa pencetakan uang bukan merupakan hal lazim yang dilakukan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral. Tindakan tersebut berkemungkinan besar akan membawa Indonesia untuk mengikuti jejak negara-negara yang mengalami hiperinflasi. Inflasi sendiri, menurut mantan Wakil Presiden Indonesia, Boediono, adalah suatu kecenderungan mengenai kenaikan harga-harga pada umumnya dan juga secara terus-menerus. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hiperinflasi adalah periode di mana harga melonjak lebih tinggi dari 50 persen dalam sebulan. Perry mencontohkan Zimbabwe dan Venezuela, sebagai negara yang gagal dalam memanfaatkan pencetakan uang, dan terjatuh dalam jurang hiperinflasi. Selain itu, ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menambahkan, lemahnya posisi rupiah di sistem keuangan global, menjadi alasan akan terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah, karena tidak dibarengi dengan jumlah permintaan yang riil. Hal tersebutlah yang berkemungkinan besar bisa membuat Indonesia mengalami hiperinflasi.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, Bank Indonesia telah mengeluarkan langkah-langkah stabilisasi di pasar valuta asing dan pasar keuangan. Enam langkah tersebut berupa kebijakan penurunan suku bunga, stabilisasi nilai tukar rupiah, injeksi likuiditas rupiah maupun valas, mempermudah bekerjanya pasar uang dan valas dalam pasar domestik maupun luar negeri, relaksasi ketentuan bagi investor asing terkait lindung nilai dan posisi devisa netto, dan pelonggaran makroprudensial agar tersedianya pendanaan bagi eksportir, importir dan UMKM.
Satu suara dengan BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga turut menghadirkan empat kebijakan pokok di masa pandemi corona. Yang pertama, adalah kebijakan meredam volatilitas di pasar keuangan, yang bertujuan agar kepercayaan investor dan stabilisasi pasar tetap terjaga. Kedua, adanya relaksasi yang diperuntukkan kepada industri jasa keuangan. Hal ini agar pelaku industri keuangan tidak perlu menciptakan tambahan cadangan, terhadap kerugian kredit yang macet. Tidak lupa yang menjadi kekhawatiran masyarakat saat ini, yakni risiko likuiditas, tidak luput dari pemberian tambahan ruang likuiditas oleh OJK. Terakhir, OJK menerapkan Cease and Desist Order dan Supervisory Actions, untuk pelaksanaan pengawasan industri jasa keuangan yang lebih cepat, efektif, dan efisien.
ADVERTISEMENT
Direktur Riset Core Indonesia, Piter Abdullah mengutarakan bahwa sinergi yang baik antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sangat dibutuhkan, dan itu tercermin dalam kebijakan keduanya yang saling melengkapi. Ia menambahkan, dunia usaha dan pihak perbankan akan terbantu dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut.
Koordinasi kebijakan moneter, fiskal, dan sektor keuangan harus senantiasa dilakukan secara bersama dan terintegrasi. “Quntitative Easing ini menggunakan reserve, bukan printing money, bukan dengan menciptakan uang kertas giral baru,” pungkas ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal.