Menjadi Ibu

Konten dari Pengguna
12 Februari 2020 22:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yohanna Deony tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menjadi Ibu
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
"Anak adalah segalanya," katanya.
Dulu, sebelum memiliki Keanu, mungkin kata-kata itu masih terasa kosong bagiku. Bahkan sebelum menikah pun, aku sudah berangan-angan bahwa jika menikah dan mempunyai anak nanti, aku enggak akan berhenti bekerja. Layaknya perempuan modern, bagiku karier adalah bagian dari hidup yang seharusnya enggak terpisahkan dari seorang wanita. Walau sudah mempunyai suami dan anak sekalipun.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran baru muncul ketika kehamilan datang. Terlebih ketika anak yang sudah ditunggu-tunggu itu hadir setelah 9 bulan: haruskah aku berhenti bekerja? Meski benakku mengatakan tidak, tetapi rasa haus anak akan perhatian ibunya membuatku luluh. Ya, kenyataan seperti menamparku: aku harus berhenti bekerja.
Alasannya mungkin mirip seperti para perempuan karier lainnya yang memutuskan berhenti bekerja setelah menjadi ibu: anak (rasanya) enggak bisa ditinggal atau enggak tega meninggalkan anak walaupun punya helper di rumah. Apalagi, kita tahu: waktu berjalan satu arah, dan enggak akan bisa diulang kembali.
Jujur saja, ini keputusan yang enggak mudah. Entah berapa kali aku maju-mundur dari keputusan ini selama dua bulan pertama setelah melahirkan. Apalagi, aku menikmati pekerjaanku sebagai Tenant Relation di salah satu gedung perkantoran di Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Bekerja sebagai tenant relation membuatku bisa mengenal banyak orang dan membantu mereka jika mengalami permasalahan di unit kantor. Pekerjaan yang gak pernah membosankan karena tidak jarang aku menemukan permasalahan baru yang harus dipecahkan, baik sendiri maupun bersama tim.
Pekerjaanku sehari-hari bisa dibilang penuh warna. Belum lagi dengan aktivitas di luar pekerjaan seperti mengobrol (dan tentu aja: bergosip!) dan hunting barang atau makanan dengan teman-teman di mall samping kantor. Rasanya enggak bisa membayangkan, semua ini harus digantikan dengan kegiatan sehari-hari di rumah bersama si kecil saja.
Tapi hidup adalah pilihan, dan inilah pilihan yang harus aku ambil. Apalagi, kini ada manusia yang hidupnya masih bergantung sekali padaku. Pada akhirnya, pilihanku bulat: anakku lebih penting daripada pekerjaanku.
ADVERTISEMENT
Memang, aku masih jauh dari sempurna dalam mengurus Keanu. Misalnya, tanganku masih kaku saat menggendongnya. Kadang aku juga tidak tahu cara menenangkannya ketika ia menangis keras, hingga akhirnya aku pun ikut menangis dan ia malah terdiam.
Ya, mengurus anak memang bukan pekerjaan yang mudah. Enggak lebih mudah daripada pekerjaan di kantor. Bahkan mungkin lebih ribet! Belum lagi dengan berbagai pengorbanan yang harus diambil. Selain soal memutuskan menghentikan karier sejenak, aku juga mengorbankan kebiasaan ngedate bersama suami, atau 'me time' ke salon untuk perawatan, dan yang paling buruk adalah bentuk badan yang enggak karuan pasca melahirkan. Duh, semoga saja aku masih terlihat cantik di mata suami!
Well, kalau ditanya mau anak berapa, saat ini aku selalu menjawab hanya satu saja, tidak akan mau tambah anak lagi. Titik. Aku ingin fokus mengurus Keanu sampai ia besar. Aku sadar, aku mungkin kurang becus merawat anak, kebanyakan takutnya dalam mengasuh anak. Aku pun enggak mau membagi rasa sayangku pada siapa pun.
ADVERTISEMENT
Tingkat warasku juga rasanya cukup di level satu anak. Lalu Nini dan Oma Keanu marah-marah, karena enggak boleh punya rencana hanya ingin punya satu anak saja, harus lebih dan minimal tiga! Hahaha... aku anggap itu angin lalu dan tak pernah aku aminkan.
Mengurus anak memang melelahkan…. Tapi pada akhirnya, orang-orang memang benar. Ia adalah segalanya. Bagiku, Keanu adalah segalanya.