Pahitnya Selepas Merdeka: Gedoran Depok

Yolanda Dermawan
Pelajar di SMA Citra Berkat
Konten dari Pengguna
27 Januari 2024 15:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yolanda Dermawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Udara segar kemerdekaan baru saja dihirup oleh warga Indonesia. Bagaimana tidak, selepas dijajah dengan waktu yang tidak sedikit akhirnya Indonesia dapat berdiri di atas kakinya sendiri. Kemerdekaan Indonesia pun tak lepas dari berbagai perjuangan yang mengikutinya. Tak heran, seluruh masyarakat turut merasakan euforianya. Tepatnya, pada 17 Agustus 1945, Indonesia telah memantapkan kemerdekaannya. Banyak kejadian menarik yang dapat dikupas dari pra hingga pasca kemerdekaan. Kendati demikian, tak dapat dipungkiri bila banyaknya tantangan yang terus datang manakala Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Berbagai macam peristiwa terus-menerus terjadi. Ketegangan masih saja dapat tercipta, kepercayaan yang mulai pudar menghantui Indonesia. Tak heran, Indonesia merasakan kecurigaan yang tinggi pada pihak luar, terlebih lagi pihak yang masih terkait dengan penjajah. Tidak terlepas juga dari peristiwa, "Gedoran Depok". Gedoran Depok merupakan peristiwa yang tercipta akibat adanya kesalahan persepsi dari revolusioner 'gadungan'. Peristiwa ini terjadi pada bulan oktober, tak lama setelah Indonesia merdeka. Orang-orang Depok keturunan budak-budak Cornelis Chastelein kala itu diharuskan menerima ancaman yang mengerikan dari kaum yang tak berkemanusiaan. Mulai dari penyembelihan manusia, hingga pembakaran secara hidup-hidup menjadi ancaman yang genting bagi mereka.
pexels/Life Matters
“Nama Gedoran, karena pintu-pintu rumah Kaoem Depok saat itu digedor keras-keras, rumah mereka kemudian dirampok dan mereka diusir hingga dibunuh, dipenggal kepalanya dan dimasukin ke sumur. Oleh karena itu kalau tanya ke orang tua kami mereka tidak mau cerita, karena itu tragis dan menyakitkan,” ungkap Boy, salah satu keturunan marga Loen generasi ke-8. ”Para pejuang kemerdekaan menganggap orang-orang Depok sebagai pengkhianat,” kata Henny Isakh, selaku salah satu saksi peristiwa sejarah tersebut. Orang-orang Depok itu adalah golongan yang dianggap satu pihak dengan Belanda pada 1945. Hingga orang-orang tidak bertanggungjawab menganggap sah jika hidup mereka disengsarakan. Pada masa revolusi, apapun yang berbau Belanda termasuk dengan orang yang berdarah Belanda, bekerja untuk Belanda, serta khususnya pada kasus ini adalah orang-orang Depok yang berketurunan 12 marga bekas budak Chastelein dan menjadi warga Depok pada zaman kolonial, kerap disebut sebagai Belanda Depok. Pada zaman inilah mereka pula terkena imbasnya. Dampaknya, peristiwa ini membuat kondisi Indonesia memburuk karena menggaet reputasi yang tidak terpandang. Hal ini karena, Indonesia dianggap tak bisa mengendalikan warganya dalam menggunakan senjata dan bertindak emosional. Serta, Indonesia kehilangan simpati dari orang-orang Depok yang menjadi korban pada peristiwa. Setelah kejadian ini, mayoritas warga Depok memilih bergabung dengan tentara Kerajaan Belanda di Hindia Belanda alias Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Karena beranggapan, manakala mereka tak dapat membalaskan dendam—setidaknya mereka dapat melindungi dirinya sendiri. Setelah itu sebagian orang Depok asli ikut ke Belanda dan sebagian lainnya memilih tetap tinggal di Depok.
ADVERTISEMENT