BPJS Kesehatan, Melampaui Aspek Teknis Menuju Makna Filosofis

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
25 Mei 2020 11:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Tarif premi naik adalah keniscayaan. Dengan dasar itu, maka Perpres 64/ 2020 mendapatkan basis legitimasi. Dalam kacamata teknis, formula jawaban atas problem defisit BPJS Kesehatan seolah terpecahkan. Perlu pendalaman.
ADVERTISEMENT
Pendekatan ekonomi kesehatan, dengan kalkulasi aktuaria, menggunakan tarikan supply and demand, jelas menempatkan faktor harga secara dinamis. Untuk itu, masalah tarif premi, memang harus dievaluasi dari waktu ke waktu.
Tapi ada yang berbeda dari BPJS Kesehatan, karena produk Jaminan Kesehatan Nasional ini, menandaskan dirinya sebagai asuransi sosial, dengan prinsip gotong-royong dan saling tolong-menolong. Ada tanggung jawab negara di situ.
BPJS Kesehatan, sejatinya adalah manifestasi ideal dari jaminan bagi publik, untuk mendapatkan akses kesehatan. Sekaligus menjadi sarana perlindungan kepentingan publik, mewujudkan konsep kesejahteraan.
Cita-cita bangsa ini saat merdeka, dan menyatukan diri menjadi sebuah negara, jelas berharap untuk melampaui imajinasi komunal. Membentuk sebuah konsep yang melindungi seluruh warga bangsa, tanpa terkecuali.
Di sanalah gagasan kunci itu ditempatkan. Perikehidupan bangsa, harus mampu mengartikulasikan kepentingan publik sebagai hal utama, membawa seluruh warga bangsa untuk menuju pintu gerbang masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur.
ADVERTISEMENT

Derajat Kesehatan

Pandemi membuka mata semua pihak, bahwa persoalan kesehatan tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan orientasi dasarnya menyebut, salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.
Kita melihat, bagaimana pontang-panting bangsa ini kelabakan berhadapan dengan wabah dan dampak kesehatan yang menyertainya. Belum lagi menyoal permasalahan turunan akibat pandemi di berbagai sektor kehidupan sosial.
Kurangnya infrastruktur kesehatan, bahkan terkendala pada perangkat pendukung layanan, termasuk sarana dan sumberdaya manusianya. Hal itu adalah persoalan dunia kesehatan kita secara aktual saat ini.
Secara bersamaan, pada sektor kesehatan kita juga berhadapan pula dengan problem klasik program nasional BPJS Kesehatan, senjang defisit yang tidak bisa diselesaikan kecuali dengan menggunakan intervensi kekuasaan.
Pokok soalnya, kita gamang melihat kekuatan sumber daya manusia, sebagai lahan investasi terbaik bagi negara, yang lebih besar maknanya, dibandingkan investasi langsung berbentuk penanaman modal serta pembangunan fisik.
ADVERTISEMENT
Padahal, dalam kerangka pembangunan fisik, kita membutuhkan banyak sumber daya manusia berkualitas yang akan menjadi subjek dan aktor pembangunan. Saat ini, total populasi lebih dipandang sebagai kuantitas pasar, belum menyentuh aspek kualitas yang menyertainya.

Sehat dan Unggul

Paradigma pembangunan, berjalan dengan logika sempit pragmatisme kekuasaan yang dibatasi periode waktu berkuasa. Karena itu pula, upaya untuk memperkuat kapasitas sumberdaya manusia, kerapkali tertinggal di belakang.
Hal yang nampak sederhana, adalah penggunaan indikator kemajuan, yang diukur menggunakan konsep Produk Domestik Bruto--PDB, sebagai nilai agregat hasil produk domestik. Manusia dalam kajian PDB adalah bagian dari alat produksi, karena mengukur hasil produksi.
Berbeda dengan konsep Indeks Pembangunan Manusia--IPM, yang menempatkan manusia sebagai subjek utama yang diukur, melalui pendekatan dasar, yakni pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Tentu tidak ada dalih, untuk menomorduakan pembangunan kesehatan nasional.
ADVERTISEMENT
Penggunaan model IPM sebagai indikator, mengandaikan bila kapasitas sumber daya manusia yang dimiliki, berada dalam posisi prima untuk mampu berproduksi serta berkompetisi. Memiliki dimensi kesehatan fisik dan kognitif.
Adopsi model pembangunan ke depan, sudah selayaknya menempatkan orientasi utamanya pada kepentingan manusia sebagai subjek. Kemerdekaan dalam makna mendalam, diartikan sebagai momentum mengubah nasib dari manusia objek yang terjajah, menjadi manusia subjek yang merdeka.
Manusia yang menjadi subjek tersebut, harus memiliki kesehatan jasmani rohani, serta mampu berpikir cerdas, dan memiliki rasionalitas terbaik, agar mampu menjadi agen pembangunan, bukan sekadar menjadi objek eksploitasi.
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan

Teks Perpres 64/ 2020

Kembali menyoal aturan yang dibuat pemerintah dalam merespons keputusan Mahkamah Agung--MA, harus dilihat melalui dua sudut konten dan konteks yang akan saling terkait.
ADVERTISEMENT
Pada persoalan konten, maka pendekatan solusi yang dibuat adalah mendekati harga pasar sesuai ekonomi kesehatan. Intervensi yang dilakukan adalah subsidi bagi penerima bantuan iuran, yakni mereka yang berada di 40 persen populasi terbawah dalam klasifikasi ekonomi, kelompok miskin.
Problemnya, pandemi menciptakan situasi kebuntuan. Pertambahan jumlah penganggur karena setop produksi dan PHK tidak terhindarkan. Mereka yang selama ini menerima upah, kemudian beralih menjadi peserta BPJS Kesehatan mandiri. Bagaimana bila mereka jatuh semakin miskin, dikarenakan proses periode recovery perlahan? Inilah konteks sosialnya.
Konten tanpa konteks, tentu tidak sepenuhnya tepat. Terlebih, narasi yang diajukan melalui para pelantang suara kekuasaan, kemudian menyebut adalah kemurahan hati pemerintah yang memberi subsidi bagi kelompok kelas peserta kelas III BPJS Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, memang itulah tugas dan tanggung jawab kekuasaan, untuk memastikan perlindungan bagi hak dasar publik. Bukan semata soal kemurahan hati. Jadi jangan dibiaskan, bila bantuan negara kemudian dianggap sebagai kedermawanan kekuasaan.
Terlebih, kenaikan tarif premi BPJS Kesehatan sekalipun, tidak akan pernah mampu memastikan hilangnya persoalan defisit.
Maka jawaban paripurna yang harus dirumuskan adalah mengukuhkan intervensi negara dalam bentuk komitmen politik dan anggaran, bagi keberlanjutan dan keberlangsungan program kesehatan nasional, yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak pembangunan bangsa.
Karena kita mempercayai, bila kemajuan bangsa terletak pada kemampuan manusianya untuk berdaya, sehat, dan mandiri, lebih dari sekadar infrastruktur fisik yang tampak megah. Di situlah makna filosofinya bahwa negara memang harus hadir untuk melindungi seluruh warganya.
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT