BPS dan Realitas Pandemi

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
6 Agustus 2020 19:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi New Normal. Foto: Dok: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi New Normal. Foto: Dok: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
Do it all, and together, demikian pernyataan Tedros Adhanom, Direktur Jenderal WHO, di akun sosial media pribadinya (4/8). Dalam situasi penantian vaksin dan obat yang diharapkan menjadi solusi pamungkas pandemi Covid-19, maka langkah tindakan individu dan sosial dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Dengan menggunakan kaidah ilmu kesehatan masyarakat dalam upaya pencegahan penularan wabah, pada kerangka sosial -makro, peran pemerintah menjadi penting dalam upaya intervensi medis, dalam melakukan pengujian -testing, pelacakan -tracing, karantina -isolating, hingga pengobatan -treating.
Sementara itu, di tingkat individu -mikro, menjadi bentuk intervensi sosial komunal, dengan upaya membangun kesadaran dan partisipasi publik untuk menggunakan masker, menjaga jarak dan kerumunan, serta mencuci tangan dengan sabun menjadi sebuah hal mutlak, sebagai protokol kesehatan perlu dilaksanakan secara disiplin.
Kedua konsep tersebut, menurut Tedros, harus dilakukan seluruhnya dan dilaksanakan secara bersama. Tindakan sosial dan individu adalah sebuah strategi berkesinambungan yang dilakukan bersamaan, bukan merupakan pilihan.
Apa yang menarik dari penyampaian Tedros? Angka kasus paparan Covid-19 di tingkat dunia telah mencapai 18.8 juta, dengan 706 ribu kematian. Sementara itu, di Indonesia terkonfirmasi sebanyak 117 ribu kasus, dengan 73.8 ribu pasien mencapai kesembuhan.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi Ekonomi
Secara bersamaan, situasi tekanan pandemi yang telah berlangsung sekurangnya dalam kurun waktu satu semester di 2020, sejak kasus pertamanya di Wuhan-China, belum terlihat mereda, khususnya di Indonesia. Bahkan mengalami peningkatan dari hari ke hari.
Bila kondisi ini dikaitkan dengan lansiran BPS (5/8), terkait ekspose pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal ke-II 2020, maka himpitan pandemi masih membekap wajah perekonomian domestik. Babak belur. Terjadi kontraksi. Tumbuhnya minus. Sampai minus 5.32 persen.
Jelas kondisi ini sangat berat, meski seluruh negara di dunia terdampak hal yang serupa, ekonomi global secara akumulatif tertekan dan mengkerut. Hal yang dapat dipahami, bahwa skema globalisasi menciptakan mekanisme mata rantai ekonomi, sehingga kondisi pada suatu negara akan berpengaruh pada negara lain, sesuai dengan struktur ekonominya.
ADVERTISEMENT
Titik terangnya, ekonomi Indonesia ditopang oleh kerangka konsumsi domestik, tidak menggantungkan diri secara mutlak pada kapasitas ekspor yang dipaksa berhenti karena karantina di berbagai wilayah negara tujuan. Selamat, tapi belum selamat.
Dengan kondisi tersebut, secara definitif kita memang belum masuk wilayah resesi karena syarat teknisnya dua kuartal berturut mengalami pertumbuhan negatif. Sulit pula untuk berkelit, bila kita sedang berhadapan dengan situasi krisis. Disini peran kekuasaan dalam merumuskan kebijakan menjadi vital dan signifikan.
Menjadi teramat sulit membayangkan, bila kita berharap untuk dapat keluar dari persoalan ekonomi, tanpa melakukan tindakan-tindakan yang strategis dalam mengatasi persoalan kesehatan publik itu sendiri. Cegah penularan sampai vaksin ditemukan.
Strategi Komunikasi
Jika menggunakan model yang disusun Boston Consulting Group, maka upaya keluar dari problematika pandemi akan sangat terkait dengan pengendalian kasus -flatten, mengatasi dampak -fight dan menyusun peta jalan masa depan -future. Semuanya saling terkait.
ADVERTISEMENT
Realitas dari rilis BPS mengindikasikan faktor psikologis publik yang berada dalam kecemasan, akan dampak suram penurunan size ekonomi. Dengan mendasarkan diri atas tuntutan fisik pemenuhan kebutuhan hidup, publik tampil menghalau rasa takut -fear. Padahal ada ruang bahaya -danger, dari aktivitas dan interaksi sosial yang memungkinkan terjadinya penularan.
Menariknya, hal ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan platform Lapor Covid-19 bersama dengan Nanyang Technological University (NTU) pada periode Juni lalu, berkaitan dengan tema persepsi risiko. Dinyatakan bahwa publik bersikap ambigu atas risiko pandemi, kontributornya disebabkan informasi keliru yang diterima. Paparan informasi yang terkonstruksi salah dan beredar secara luas, membuat tingkat persepsi risiko publik rendah.
Komunikasi dan edukasi belum efektif terjadi, hal tersebut membuat publik menganggap wabah Covid-19 sebagai hal biasa, terdistorsi pada kepentingan ekonomi yang bersifat langsung. Disisi lain, pemangku kebijakan tak kunjung mampu menyusun formula rigid sebagai strategi jangka panjang berhadapan dengan pandemi.
ADVERTISEMENT
Kondisi yang tidak menentu dan tidak diketahui kapan akan berakhir, memang menciptakan kecemasan. Upaya membuat ilusi seolah wabah adalah hal remeh yang hilang dengan sendirinya, juga jelas menjadi sebuah kesalahan. Bencana terjadi, bila publik justru mempercayai hal yang keliru, dan menolak kebenaran.
Padahal, wabah pandemi kali ini hanya akan bisa dikalahkan, jika mempergunakan seluruh kekuatan publik sebagai modal sosial, dengan membangun relasi saling percaya. Karena itu, kutipan Tedros Adhanom menjadi penting diingat. Do it all, and together.