Catatan Kritis: Silang Pendapat Pemulangan Eks ISIS

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
11 Februari 2020 10:36 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Teroris Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Teroris Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Polemik! Tidak hanya itu, tapi juga problematik. Bahkan baru sampai tingkat wacana sekali pun, persoalan WNI eks ISIS menimbulkan spekulasi serta pro-kontra. Keriuhan menutupi substansi diskusi.
ADVERTISEMENT
Meski baru sebagai sebuah rencana, diskusi publik tentang upaya pemulangan eks ISIS ini, justru semakin membelah publik. Setelah sebelumnya, polarisasi terjadi dalam kancah politik domestik. Imbas dari politisasi identitas dan populisme, yang kini menjadi wajah realitas keseharian kita.
Isu terkait kepulangan eks ISIS, seolah menjadi medan pertarungan baru, dari berbagai kepentingan. Bahkan hanya untuk sekadar memberikan identifikasi, perdebatan terus terjadi. Ini WNI eks ISIS, atau ISIS eks WNI? Rumit bin ribet.
Bagi sebagian pihak, dukungan bagi pemulangan, khususnya wanita dan anak-anak, adalah bentuk perlindungan atas nama kemanusiaan. Tetapi dalam logika sebaliknya, justru dapat dimaknai sebagai bentuk persetujuan atas tindakan ISIS. Sebuah lompatan kesimpulan yang terlalu jauh.
Perlu kehati-hatian mendalam, guna memberikan respons pada persoalan ini. Pertanyaannya, sejauh mana ide ini telah dirumuskan oleh pengambil kebijakan? Apakah pilihan keputusan ini, diambil berdasarkan pencermatan masalah secara situasional? Ataukah telah terencana programatik?
ADVERTISEMENT
Agar energinya tidak terlalu habis untuk membahas kesia-siaan, maka perlu melihat peta kasus dalam usulan ini secara jernih. Sehingga tidak menjadi blunder, melebar dari pokok persoalan. Karena terlihat potensi, untuk menjadikan permasalahan ini sebagai playing field baru, dari dikotomi politik sisa pilpres. Padahal, persoalan ini adalah tanggung jawab bersama.

Terorisme Masalah Global

Problem eks ISIS sesungguhnya bukan hanya menjadi porsi masalah Indonesia saja, tetapi juga masalah dunia. Menyebut ISIS sebagai sebuah representasi tunggal dari terorisme, juga tidak sepenuhnya tepat. Terlebih, bila menunjuk ISIS mewakili ajaran Islam. Bahkan ISIS sekali pun, memerangi populasi muslim.
Merujuk pada Oliver Roy dalam Globalized Islam: The Search for New Ummah, 2004, wacana terorisme menguat pasca runtuhnya WTC 9/11. Serta merta, kemudian Islam dituding sebagai agama penuh kekerasan. Menurut Oliver, ajaran Islam berbeda dengan penafsiran serta penerjemahan bentuk secara sepihak, oleh kelompok yang bersepakat menggunakan cara-cara di luar ketentuan Islam.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, terorisme kemudian menjadi masalah bersama dunia. Sorotannya terpercik bagi dunia Islam yang tercoreng, sebagai akibat penggunaan simbol-simbol Islam, oleh berbagai ulah kelompok yang menyempal dan keluar dari nilai ajaran Islam tersebut. Juga bagi seluruh dunia, yang dianggap oleh kelompok ini sebagai liyan yang berlawanan.
Jika menggunakan kajian Oliver, pendekatan globalisasi ala Barat sebagai sebuah perspektif, mengalami kegagalan di banyak kawasan. Upaya globalisasi yang dianggap sebagai sarana menghadirkan kemajuan dan modernisasi, justru sebaliknya menciptakan banyak ruang ketidakadilan.
Secara bersamaan, ajaran Islam pun menyebar sebagai ikutan dalam format globalisasi. Lantas, realitas ketidakadilan akibat globalisasi ala Barat itu, seolah menemukan bentuk pembebasan melalui tafsir keliru dari ajaran Islam yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Ekspresi penggunaan kekerasan, oleh kelompok salah kaprah ini, kemudian dianggap menjadi pembenar dan satu-satunya jalan. Demokrasi ala Barat, sekaligus dimaknai sebagai format yang tidak kompatibel dengan Islam.
Dengan begitu, penting untuk melihat persoalan ini dalam dua kerangka, struktural dan kultural. Pada upaya struktural, eks ISIS berhadapan dengan persoalan hukum, baik di dalam maupun di luar negeri, maka hal itu perlu terlebih dahulu diselesaikan. Selanjutnya, pada aspek kultural, harus ada ruang komunikasi dan dialog guna mengurai doktrin yang salah. Dekonstruksi kebekuan tersebut, jelas membutuhkan waktu tidak sebentar.
Ilustrasi ISIS. Foto: AFP PHOTO / Ahmad Al-Rubaye

Menambah Persoalan Lokal

Bila mengacu pada berbagai pendapat elite, maka mudah terbaca bagaimana eks ISIS ini akan ditangani. Pertama; problem domestik kita sudah sedemikian berat, tambahan soal kedatangan eks ISIS justru akan semakin membebani, menjadi masalah baru. Kedua; pada persoalan terorisme, kita masih berkonsentrasi pada upaya melakukan penuntasan simpul-simpul jaringan teror di wilayah nusantara melalui kerja-kerja intelijen. Ketiga; sulitnya melakukan proses pembinaan dan pengawasan ketat bagi eks ISIS terkait sumber daya yang dimiliki untuk hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, tanpa formalisasi pemulangan eks ISIS, mereka tetap akan berupaya dengan berbagai cara, untuk kembali pulang ke tempat asal alias kampung halaman. Perpindahan dengan jalur-jalur ilegal ini, justru berbahaya dan tidak terpantau.
Jika pemulangan dilakukan terpisah. Maka prosesnya, harus merupakan sebuah program berkelanjutan. Perlu adanya cara, untuk melakukan upaya pemilahan target pemulangan. Kemudian tidak hanya dipulangkan secara fisik, tetapi ada upaya untuk melakukan pemulihan kesadaran ideologis.
Memisahkan mantan kombatan, mereka yang terlibat dalam proses pemberontakan dan ikut serta dalam kegiatan teror, dari supporting system keluarga sebagaimana istri dan anak-anak memerlukan ketelitian.
Jika mengutip Leebarty Taskarina pada buku; Perempuan dan Terorisme-Kisah Perempuan dalam Kejahatan Terorisme, 2018, maka figur perempuan pada konteks terorisme adalah sebagai korban. Posisi perempuan berada dalam lipatan subordinatif, dari dominasi pria sebagai penentu keluarga, demikian pula anak-anak.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, perlu ada upaya sebelum terkontaminasi pemikiran terorisme. Bagaimana melindungi dari keterpaparan terorisme? Pada tindakan pra ekspose, maka Pertama; perlu peningkatan literasi tentang beragama dan keberagaman. Kedua; penguatan modal sosial yang positif, dalam menangkal interaksi komunitas jejaring yang kini difasilitasi melalui konektivitas internet. Ketiga; orientasi dan penegakan hukum yang berkeadilan, berkenaan dengan pelanggaran hukum terkait.
Adakah jaminan upaya menangkal itu bisa efektif dilakukan? Sulit menjaminnya, tapi setidaknya ada upaya untuk melakukan pencegahan. Keseluruhan hal itu merupakan rangkaian dari pemahaman di level mikro, yakni penyadaran individu. Pada level messo, perbaikan kondisi lingkungan sosial. Polarisasi politik kita akhir-akhir ini, tidak pelak menjadi ruang tumbuh. Sementara di level makro, momentum ini harus disikapi dengan pembentukan kerangka strategis, bagi upaya sistematik tindakan pasca ekspose terorisme.
ADVERTISEMENT
Jadi, apakah dipulangkan? Kalkulasinya diserahkan kepada pemerintah. Bila memungkinkan, dengan seluruh catatan tadi, maka dapat dilakukan. Atau dengan sedikit catatan kritis, anak-anak adalah prioritas pemulangan, sementara perempuan diperlakukan evaluasi selektif, dan pria dewasa menjadi sangat super selektif atau tidak sama sekali. Perlu pemikiran yang matang dan mendalam, tentu saja!