COVID-19, ke Mana Arah Berpulang?

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
14 Juli 2021 15:01 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
COVID-19, ke Mana Arah Berpulang?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Dipanggil, berpulang, menghadap, kembali. Frasa kata itu menjadi terbiasa di hari-hari terakhir ini. Kematian tidak sayup-sayup tersembunyi. Berita duka deras terkirim seiring arus pasang pandemi.
ADVERTISEMENT
Krisis! Kiranya begitu kondisi yang dapat menggambarkan situasi saat ini. Identifikasi sebuah krisis terlihat melalui situasi anomali. Kita tidak sedang dalam suasana yang baik-baik saja.
Kepanikan adalah respons alamiah yang terjadi dalam krisis. Terlebih ketika tiada pemandu yang dapat dipercaya dalam mengambil keputusan, serta menunjukkan arah menuju jalan keluar.
Pandemi, menurut Schwab & Malleret, Covid-19: The Great Reset, 2020 menyebut apa yang dialami dunia sekarang adalah fenomena yang memaksa kita untuk menyetel ulang tata kehidupan bersama.
Dunia modern ditandai dengan posisi yang saling bergantung, kecepatan dan kompleksitas dipaksa menyesuaikan diri dengan paparan wabah. Akan terjadi proses adaptasi dari model kehidupan di masa mendatang pada berbagai bidang.
Pertanyaan menariknya, bagaimana kita bisa keluar dari belenggu ini? Bill Gates dalam, How to Avoid Climate Disaster, 2021, menyampaikan dibutuhkan asupan pengetahuan yang saling berkolaborasi dengan berfokus pada kelompok rentan.
ADVERTISEMENT
Kita tengah berada di persimpangan jalan menghadapi pandemi, berada di dua cabang pilihan: mampu mengatasinya atau justru jatuh terperosok di dalamnya.
Kita berharap akan hal yang terbaik, namun juga harus bersiap untuk berhadapan dengan kondisi terburuk.
Pada paparan Fareed Zakaria, Sepuluh Pelajaran untuk Dunia Pasca Pandemi, 2021 menyebut pandemi menjadi alarm serta sinyal pengingat, termasuk bagi kehadiran kekuasaan untuk menyelamatkan warganya.
Penentu kemampuan mengatasi pandemi akan terkait pada kualitas kekuasaan, keterlibatan publik serta intervensi ilmu pengetahuan. Bingkai penutup dari pelajaran Fareed, juga dikontribusikan oleh kapasitas kepemimpinan.
Situasi krisis multi dimensi terjadi, dimulai dari sektor kesehatan menular ke berbagai bidang: politik, ekonomi, sosial hingga budaya.
Krisis adalah periode penuh ketidakstabilan, ada potensi kehilangan kepercayaan hingga reputasi.
ADVERTISEMENT
Disaat bersamaan, pandemi menghadirkan tendensi penguatan cengkram kekuasaan. Diktumnya, salus populi suprema lex esto -keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, menyebabkan negara hadir melalui berbagai cara.
Kita memang sulit memisahkan upaya kendali kuasa, dengan tanggung jawab kekuasaan yang harus diambil. Dengan laju harian infeksi 47 ribu kasus (13/7) jelas membutuhkan respons sigap untuk memastikan tidak bertambahnya korban berjatuhan diserang wabah.
Persoalan tanggung jawab kekuasaan merupakan komitmen moral dan politik atas legitimasi yang dimilikinya.
Ranah tanggung jawab menyoal keharusan untuk melindungi -to protect, serta memenuhi -to fulfill hajat publik.
Ke depan, peran kuasa akan semakin membesar, hanya dengan kerangka demokratis kekuasaan diterima tanpa resistensi, serta tidak terjatuh pada ruang anti kritik dan kekuasaan yang otoriter.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya kekuasaan itu lahir dari rahim imajinasi kebaikan bersama-bonum commune, hadir untuk mengurusi kepentingan publik-res publica. Dalam laku moral kekuatan hadir untuk publik.
Sementara rangkaian obituari masih menghiasi linimasa media sosial dan layar perangkat ponsel. Semoga pandemi cepat berlalu!