Dalam Pragmatisme Kita Bersatu, Berseteru, dan Berjibaku

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
15 April 2020 16:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kepentingan yang menyatukan. Kita memang dipertemukan dalam irisan kepentingan. Ekosistem melakukan pengaturan diri, saling menegosiasikan kepentingan untuk kehidupan bersama. Lebih dari kepentingan pribadi.
ADVERTISEMENT
Tapi pada kenyataannya, situasi yang dialami jauh berbeda. Ada jarak yang senjang antara apa yang seharusnya--das sollen, dengan realita sesungguhnya--das sein. Jauh panggang dari api.
Cermatan itu ditangkap melalui rangkaian tulisan, Nurudin dalam buku, Agama Saya adalah Uang, 2020. Kumpulan artikel yang dibukukan tersebut, mencerminkan situasi sosial politik yang aktual, sesuai dengan perkembangan di Tanah Air.
Dalam pengamatan Nurudin, sekurangnya ada tiga ranah yang mengalami situasi perubahan. Pertama: ranah individu, terdapat pergeseran nilai pribadi. Kedua: ranah sosial, terjadi perbenturan nilai bersama. Ketiga: ranah negara, menjadi arena pertarungan nilai kepentingan politik.
Menggunakan majas ironi, apa yang tengah terjadi dalam keseharian kehidupan bangsa ini, berada pada jalur yang berbeda, dari tujuan pembentukan yang menjadi dasar pendiriannya.
ADVERTISEMENT
Persis sebagaimana Bung Karno pernah mengatakan, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuangan kalian lebih berat karena melawan saudara sendiri". Itulah tantangan kita bersama zaman now, melunakkan ego pribadi, untuk tujuan lebih besar dalam kehidupan bersama.

Integrasi Kemajemukan

Bangsa yang majemuk, dengan segala potensi yang dimilikinya, itulah Indonesia. Perubahan terjadi secara dinamis, dari waktu ke waktu. Tantangan yang tidak sama, mengubah watak dan perilaku publik.
Heterogenitas yang awalnya menjadi modal kekayaan bangsa, menjadi sebuah persoalan baru. Dalam demokrasi, perbedaan pendapat dimungkinkan, semua bisa bersuara.
Secara bersamaan, ruang bersama terdominasi oleh keriuhan serta kebisingan, suara aspirasi yang murni justru menjadi tersamar. Ada kepentingan yang hendak dibawa. Semua menjadi tampak jemawa.
ADVERTISEMENT
Kita mendadak kehilangan kemampuan merasa. Sulit untuk melihat kemenangan bersama, kecuali bagi keuntungan pribadi. Pragmatisme terjadi dalam bentuk paling vulgar, terkurung diksi aku dan liyan.
Kepentingan bersama, terlampaui oleh ambisi dan hawa nafsu individu, ego ditampilkan secara picisan. Kehilangan keluhuran budi, kemampuan menenggang rasa, menguatkan solidaritas.
Pada situasi terbaru, aksi menimbun dan memborong, dilakukan untuk mengejar keuntungan pribadi terjadi. Bahkan di saat pandemi. Kita butuh menggelorakan semangat kebersamaan, atas nilai kemanusiaan.
Dalam kondisi sulit penuh kesusahan, pada periode kemerdekaan, kita justru mampu membangun cita-cita bersama. Tetapi di situasi setelah merdeka, tujuan-tujuan itu kembali mengalami keterpisahan.

Menyoal Sosial Media

Determinisme teknologi, adalah implikasi kemajuan kehidupan modern. Terdapat dua sisi yang menyertainya, Pertama: mudah berkomentar, warga negara dalam terma citizen, menjadi netizen yang anonim. Kedua: dikepung dengan pelintiran hoaks dan kebencian, viralitas dalam masyarakat jaringan mudah terjadi. Konsekuensi kehadiran media baru.
ADVERTISEMENT
Perilaku baru dalam kehidupan jagat digital, mempertebal perubahan yang terjadi di ranah individu. Diksi aku dan liyan, terkoreksi menjadi kami dan liyan. Ada pertentangan, konflik dan kontradiksi terjadi. Tanpa jeda, setiap saat, bahkan real time.
Kebenaran ditentukan secara tribal, jumlah followers. Fungsi komunikasi dengan key opinion leader, menggeser kepemimpinan formal. Kemampuan persuasi, bergantung pada kemampuan menjangkau populasi. Membutuhkan penguasaan media.
Serupa dengan apa yang disampaikan Tom Nichols, dalam buku Matinya Kepakaran, 2018. Para pakar justru berdiam dalam ruang akademik, sementara dunia maya dipenuhi opini sepihak para influencer.
Era post truth tercipta, sebagai sebuah situasi di mana kebenaran tidak dilandaskan pada fakta riil yang menyertai, melainkan pada kebenaran yang dirasakan sebagai hal benar berbasis emosional.
ADVERTISEMENT
Menjadi komunitas sumbu pendek, aksi dan reaksi, balas membalas. Saling nyinyir, penuh sindir. Jarang memberi pujian, miskin dalam mengapresiasi, diisi dengan dengki dan kebencian. Wajah sosial kehidupan kita menjadi separuh belang.
Ilustrasi main media sosial. Foto: Dok. Freepik

Representasi Kebersamaan

Hingga pada bagian puncak, Nurudin hendak membuat proyeksi sosial dalam format kehidupan bernegara. Pragmatisme politik, terlihat dari betapa miskinnya nilai pemerintahan, dari mimpi bernegara.
Pemerintahan adalah wilayah kekuasaan temporal, yang ditentukan melalui periode pemilihan, dalam jangka waktu terbatas dan dibatasi. Seharusnya tidak mengganggu upaya pencapaian tujuan bernegara.
Terlebih karena narasi kenegaraan, bersifat long term, berdurasi abadi, dalam jangka yang panjang, sepanjang kehendak bersama untuk mempertahankannya. Kita telah koyak karena kepentingan jangka pendek.
Negarawan menghilang, terbitlah para politisi sektarian. Sedemikian kelam, terlihat dari berbagai perilaku yang cenderung antidemokrasi. Kebal terhadap kritik, serta koruptif, berupaya memangkas kekuatan sipil sebagai oposisi.
ADVERTISEMENT
Populasi publik hanya dinilai menjadi data statistik, demi kursi kekuasaan. Merujuk pada Steven Levitsky, Daniel Ziblatt, Bagaimana Demokrasi Mati: Apa yang Diungkap Sejarah tentang Masa Depan Kita, 2019.
Kematian demokrasi dan kepentingan publik, sering kali timbul sebagai hasil dari sarana demokratis. Wajah kekuasaan, menunjukkan wujud aslinya. Tidak ada pilihan lain, kita perlu mengoreksinya sekarang.
Perbaiki literasi publik. Tidak hanya menerima paparan informasi, tetapi mampu untuk mencerna serta memahami substansi, dari pesan informasi yang tersampaikan. Partisipasi dan emansipasi, dibutuhkan untuk keluar dari situasi pragmatisme.
Medan perjuangan itu, yang kini kita hadapi bersama.