Dinasti Politik, dari Harry ke Gibran

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
13 Januari 2020 7:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Trah darah biru! Itu ada dalam diri Pangeran Harry sebagai bagian dari keluarga Kerajaan Inggris. Tetapi keputusan berani dan mengejutkan, diambil oleh Harry, yakni mengundurkan diri dari daftar anggota senior kerajaan.
ADVERTISEMENT
Pilihan itu jelas tidak mudah. Hidup nyaman, ala para bangsawan, dengan segenap hak istimewa, tidak akan mudah lagi diperoleh Harry. Tapi, itu konsekuensi sebuah keputusan.
Keluar dari zona aman dan nyaman, untuk mendapatkan pengalaman hidup sebagai manusia baru, jelas memberikan tantangan tersendiri. Tapi Harry tetaplah istimewa, karena bekalan yang dimilikinya terbilang amat cukup, baik secara materi maupun sosio psikologi.
Terlebih, meski telah keluar dari pemegang hak sebagai anggota senior The Royal Family, Harry telah memiliki modalitas yang lebih dari sekedar mampu hidup sederhana. Apalagi sang istri, Meghan Markle dikenal sebagai artis dan model.
Memutuskan untuk dapat hidup mandiri, adalah pilihan yang diambil Harry dan Meghan. Terlebih bagi Harry, sang pangeran. Perlu adaptasi, memposisikan diri dari pemegang kuasa, kembali menjadi manusia biasa.
ADVERTISEMENT
Tentu ada ukuran rasional dari sebuah pilihan. Keluar dari jalur tradisi konservatif secara turun temurun, jelas bukanlah hal yang lumrah. Alasan yang dikemukakan adalah soal kepentingan pengasuhan dan pengembangan lembaga amal mungkin menjadi hal yang dikemukakan, bisa jadi ada persoalan lain.
Hilangnya ruang privat, dan berbagai tekanan, berkombinasi dengan kalkulasi lain dimungkinkan. Termasuk soal masih panjangnya rentang silsilah kerajaan. Ayahnya pun, masih berstatus sebagai pangeran, ya Pangeran Charles. Demikian pula sang kakak, Pangeran William.
Harry mencoba keluar dari bayang-bayang Kerajaan Inggris, sekaligus merupakan antitesis dari normalitas umumnya. Dinasti kerajaan memang dikaitkan atas pertalian darah, meski posisi kerajaan ditempatkan sebagai institusi simbolik, tetapi masih terdapat hak istimewa yang dimiliki.
Skenario ijin keluar -permit to exit sudah dilayangkan Harry ke keluarga kerajaan, apakah masih tersisa ruang untuk mengubah keputusan? Apakah nantinya setelah lelah berada diluar dimungkinkan untuk meminta ijin kembali -permit to entry?
ADVERTISEMENT
Menapaki Jalur Dinasti
Harry adalah fenomena di Inggris. Di Indonesia, menjelang Pilkada serentak 2020, satu yang menjadi sorotan adalah majunya Gibran -anak sulung Jokowi dan Bobby -anak menantu Jokowi, dalam proses kontestasi politik nasional.
Apakah ini politik dinasti? Bagaimana memahami konsepsi politik dinasti? Apa yang salah dari politik dinasti? Apakah fenomena Gibran dan Bobby dapat dimaknai sebagai politik dinasti?
Politik dinasti tercipta dalam ruang kuasa yang terbatas, dengan mempergunakan pertalian kekerabatan dan keluarga. Tujuan politik dinasti adalah menguatkan otot kekuasaan, yaitu untuk mempertahankan posisi status quo.
Kehadiran Gibran dan Bobby, tentu berbeda dari Harry. Gibran khususnya, mencoba tengah menapaki jalur profiling karier politik sebagaimana Jokowi. Dimulai dengan menjadi pengusaha, yang kemudian melibatkan diri secara aktif di ranah politik.
ADVERTISEMENT
Wajah baru yang ditampilkan Gibran, sebagai orang muda -milenial, menjadi selaras dengan upaya penyegaran yang dilakukan Jokowi dengan menghadirkan generasi muda milenial sebagai staf khusus.
Kriteria muda saja, dalam ukuran usia, jelas tidak cukup. Perlu terdapat kompetensi, didalamnya berisi kapasitas serta kapabilitas yang dibutuhkan. Menjadi pejabat publik, untuk tugas pemerintahan membutuhkan lebih dari sekedar kepemimpinan ala CEO perusahaan.
Bekal kemampuan teknis, pemahaman aspek legal prosedural, bahkan kerangka konseptual perlu dimiliki. Tentu terlalu dini, mengaitkan Gibran dan Bobby sebagai manifestasi bentuk dari politik dinasti, karena keduanya masih dalam tahap penjaringan calon, dan belum terpilih.
Tetapi bukan tidak mungkin, keduanya akan segera melaju dan berkontestasi. Disini pangkal soalnya, terdapat kemungkinan pertukaran pengaruh dan persuasi sebagai bentuk transaksi politik.
ADVERTISEMENT
Pembenahan Kaderisasi
Apakah dengan demikian anak seorang tokoh tidak diperkenankan untuk terlibat dalam kontestasi? Pada banyak kasus domestik dan luar negeri, kita melihat tipikal yang sama perilaku kekuasaan dari masa ke masa.
Pada pentas politik lokal, sebut saja generasi penerus, dari para mantan presiden negeri ini. Tidak ada yang salah dengan nama besar keluarga. Problemnya bermula ketika para anak dari trah politik itu, justru tidak membangun dirinya berdasarkan mekanisme dan jalur yang bersesuaian.
Tidak bisa potong kompas. Proses pendidikan politik tidak bisa dilewati begitu saja, sebagai akibat dari menyandang nama besar. Perlu apa uji konsistensi termasuk memberi dukungan bagi proses pendidikan politik melalui tahap awalan sebagai kader pemula.
Bila proses tersebut justru dilewatkan begitu saja, secara struktur kelembagaan tentu akan menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan kader atas kepentingan elite. Oligarki terjadi, bahkan dalam tubuh organisasi yang diharapkan menghadirkan lahirnya demokrasi, yakni partai politik.
ADVERTISEMENT
Indikasi permulaan jelas dengan mudah terlihat, seperti menjadi anggota kepartaian hanya beberapa saat menjelang kandidasi dan pemilihan. Tidak bermula melalui berbagai posisi dalam tubuh kepartaian, melainkan beroleh jalur khusus -fast track.
Mendapatkan berkah dari nama besar keluarga, adalah sebuah keunggulan bersaing, terkait dengan keterkenalan -popularitas, menuju keterpilihan -elektabilitas. Tetapi menjadikan hal tersebut sebagai satu-satunya kekuatan dalam kompetisi politik, jelas sebuah kesalahan.
Pengalaman dari fenomena berbagai kontestasi politik yang telah dilewati memperlihatkan bagaimana kader kutu loncat terbentuk, karena kekuatan personal branding. Di era pemasaran digital, inovasi konten dan penguatan citra dipergunakan, menghilangkan esensi kompetensi individu.
Semua individu tentu memiliki kemerdekaan, untuk dapat memilih dan dipilih, di alam demokrasi. Tetapi menjadi lebih penting secara etik, untuk memastikan kemampuan personal melalui rekam jejak, dalam bertanding untuk memperebutkan kursi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Bila jabatan publik disandarkan sebagai ambisi individual, maka terdapat cacat tujuan. Ambisi itu bisa terlihat sebagaimana kasus teranyar KPK terkait KPU, pada persoalan pengganti anggota legislatif antar waktu. Ambisi itu bermotif pribadi, ketimbang bagi kepentingan publik.
Apa yang nampak kurang dari proses keterlibatan Gibran dan Bobby? Tentu terkait dengan potensi jual-beli pengaruh dari nama besar, yang saat ini masih ada dalam posisi berkuasa. Dan hal itu jelas mencederai demokrasi internal kepartaian, yang justru mendorong proses profesionalisme berpartai melalui jenjang kaderisasi.
Secara pragmatis, kompetensi dapat dikalahkan oleh persoalan isi tas dan nama belakang keluarga!