Distorsi Kebenaran di Era Media Sosial dan Koyaknya Masa Depan

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
10 Juni 2021 14:36 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Distorsi Kebenaran di Era Media Sosial dan Koyaknya Masa Depan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Koyak! Kebenaran adalah lampu penerang dari fakta-fakta yang tersembunyi. Dengan itu, fungsi media dan tugas jurnalisme harus berpokok pada tiang kebenaran.
ADVERTISEMENT
Pendapat itu, dikemukakan Bill Kovach, Tom Rosenstiel, dalam Sembilan Elemen Jurnalisme, 2011. Seiring waktu, perkembangan teknologi menghidupkan format media baru.
Bertumbuhnya jejaring digital sebagai konsekuensi teknologi yang deterministik menghadirkan media sosial menjadi ruang publik. Arus informasi kini menjadi berlimpah ruah.
Berbeda dari era sebelumnya, ketika institusi media menjadi pihak yang paling dipercaya dalam menyampaikan informasi, kini semua pihak dapat bertindak sebagai sumber produksi pemberitaan.
Ruang interaksi informasi publik semakin terbuka. Media online bertumbuh pesat. Di sisi lain bentuk media lama mengalami kesulitan untuk bertransformasi dan beradaptasi atas perubahan.
Banjirnya informasi menyebabkan bertumbuhnya wilayah abu-abu. Terjadi ketercampuran antara kebenaran dan kebohongan. Situasi ini disebut sebagai area bertumpuk serta berbayang -blur.
Disitulah peran penting kredibilitas dalam memproduksi serta mendistribusikan informasi. Media tradisional memiliki kelebihan pada konteks kepercayaan publik -public trust.
ADVERTISEMENT
Problemnya, integrasi teknologi dalam kehidupan semakin dalam, hal ini menyebabkan publik terikat lebih dominan atas produk informasi media sosial ketimbang media arus utama -mainstream.
Padahal, dalam Media dan Budaya Populer, Graeme Burton, 2012 diketahui bula media memiliki peran penting dalam mengkonstruksi produk budaya dan pemikiran publik.
Kini, pembentukan opini publik dapat dikembangkan secara individual melalui media sosial menggunakan teknik clickbait, berjudul sensasional berbasis jumlah pengikut -followers.
Hal-hal ini pula yang menjadi pembahasan Tom Nichols, The Death of Expertise, 2018. Kebenaran ditentukan persetujuan teknologi. Pakar kehilangan legitimasi dibanding Google.
Lebih jauh, praktik jurnalisme yang tidak mendasarkan dirinya pada kebenaran dan hati nurani, sebut Kovach & Rosenstiel, semakin memperkuat dampak kerusakan yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Di bagian akhir, hal yang dipertaruhkan adalah masa depan kehidupan sosial bersama. Semakin hari kita makin merasakan dampak polarisasi, selain hilangnya minat beroposisi.
Keterbelahan adalah bahan bakar bagi ambisi kekuasaan. Tidak heran, keriuhan akan selalu menjadi tampilan dominan. Meski kontestasi 2024 masih lama, atmosfer kompetisinya mulai terasa.
Kembali lagi pada upaya untuk menegakkan kebenaran, maka data dan fakta menjadi posisi pembeda. Proses kurasi, verifikasi dan literasi dibutuhkan oleh semua pihak.
Media sosial menjadi bagian yang tidak terelakkan dari laku jaman. Karena itu, baik media massa, tradisional maupun media baru hanya akan dibedakan dari sejauh mana bisa dipercaya publik, memiliki legitimasi dan kredibilitas.
Lawan dari distorsi adalah resonansi, meluruskan kembali kebenaran menjadi tugas bersama, media menjadi elemen sarana pengungkitnya, kita semua memiliki peran dan tanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Tentu saja agar tenunan dan rajutan kebangsaan ini tidak semakin koyak-moyak.