news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Epilog di Penghujung Tahun 2019: Kisah Mata dan Jiwa Radikal

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
31 Desember 2019 8:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Jelang tutup tahun, dinamika politik terus menghangat. Koalisi elite hasil kompromi oligarki telah terbentuk, seiring pembentukan kabinet. Namun publik masih terbelah.
ADVERTISEMENT
Kini bukan soal 01 atau 02 lagi, tapi seolah menjadi fans Jokowi dan antitesis Jokowi. Dulu cebong-kampret, sekarang kadrun-bani togog.
Esensinya masih sama, kedua bagian kutub publik ini saling bertentangan. Politik memang dihidupkan melalui dialektika.
Prosesnya berkembang melalui formula tesis dan antitesis, yang semestinya berujung pada sintesis, serta kemudian secara siklik akan menjadi sebuah tesis baru.
Hiruk pikuk ranah politik tidak berhenti dan mereda. Problemnya, sejarah memang milik para pemenang. Pada banyak kisah pertentangan serta konflik, sang kampiun yang berhak menulis riwayat kesejarahan.
Padahal, tiada pemenang tanpa ada pihak yang tersisih. Lagi-lagi disini letak persoalan terbentang. Segala hal yang berbeda dari sudut kekuasaan, lantas dimaknai sebagai serangan "kaum kalah".
ADVERTISEMENT
Diksi keterbelahan publik, tidak juga distimulasi untuk membangun kesepahaman ulang bersama. Polarisasi justru seolah tetap dihembuskan untuk memelihara posisi antara pemenang -kami dan si kalah -kalian, bukan tentang bersama -kita sebagai entitas sosial komunal.
Mata yang Melelahkan
Setelah riuh agenda revisi UU KPK, yang direspons gegap gempita gerakan mahasiswa dengan hashtag #ReformasiDikorupsi, hingga kemudian akhirnya berjalan mulus dengan pelantikan Dewan Pengawas KPK, masih menyisakan luka pada ingatan publik.
Mendekati tenggat, setelah berulang kali perpanjangan waktu, akhirnya dipaparkan ke publik para tersangka terkait kisah Mata Novel, sang penyidik KPK yang kehilangan sebelah bola matanya.
Kasus ini terbilang lama. Tapi sebuah pengusutan kasus memang bisa lama atau sebentar, sangat tergantung banyak faktor. Bukti dan kepentingan jelas akan mempengaruhi.
ADVERTISEMENT
Problemnya, bukti-bukti seharusnya dapat diungkap melalui pemeriksaan, sementara soal kepentingan itulah yang sulit dipastikan.
Sebagian pihak pasti akan menyebut hal tersebut diatas sebagai cara berpikir konspiratif, terlalu berprasangka. Tidak hanya soal waktu pengungkapan kasus yang terbilang panjang, tapi juga soal gelapnya proses yang terjadi.
Berkali-kali tim dibentuk untuk kasus mata Novel, tetapi tidak juga membuahkan hasil. Justru menimbulkan suara sumbang soal aduan rekayasa kasus yang menghebohkan.
Sumber kekuasaan mengungkapkan posisi serba salah, tidak ditemukan salah, bahkan ditemukan juga masih salah. Dilematis. Tapi disitulah tugas kekuasaan, membangun terciptanya kepercayaan.
Tidak mudah meyakinkan publik. Setelah kasus mata Novel, mata hati publik terlukai dengan revisi UU KPK, ketika dua mata telah tercerabut dari fungsinya, kita memang tengah berada di masa kegelapan.
ADVERTISEMENT
Menyoal Jiwasraya & Jiwa Raga
Kasus yang tampak akan diboyong ke 2020, tidak lain tentu soal asuransi Jiwasraya. Kisah gagal bayar 12,4 Triliun bukan soal main-main. Menggetarkan jiwa raga. Ditengah cekak-nya likuiditas, angka tersebut menjadi maha besar.
Pengelolaan BUMN memang kembali menjadi sorotan pasca bersih-bersih Garuda. Tapi tidak cukup hanya dengan bersih saja, BUMN juga dituntut untuk bisa dikelola secara prudent -penuh kehati-hatian.
Angka besar yang ditempatkan secara serampangan dalam instrumen investasi yang penuh resiko, jelas kurang diperhitungkan secara cermat. Lagi-lagi hal itu melukai publik, ditengah berbagai proyeksi kenaikan biaya di 2020.
Sebut saja, kenaikan premi BPJS Kesehatan yang ditujukan untuk menutup defisit sektor kesehatan. Ironi terjadi, ketika program hajat publik, justru didorong dengan pendekatan pasar hingga berakibat naik premi. Disisi lain, BUMN jadi sapi perah kepentingan.
ADVERTISEMENT
Jiwa raga publik seolah digadaikan. Lagi-lagi premis seperti ini, rentan untuk dituding menjadi isu anti kekuasaan. Publik jelas kecewa, kasus Jiwasraya, merupakan tesis dari luangnya potensi penyimpangan harta negara menggunakan kekuasaan. Sekali lagi ada bau amis korupsi.
Pada saat bersamaan, ide tentang rencana pemindahan Ibukota kembali dikumandangkan. Apa korelasinya kasus Jiwasraya dengan pindah Ibukota? Angka-angka besar menimbulkan hasrat menyimpang, psikologisnya begitu.
Sebagian publik juga belum sepakat dengan rencana pemerataan pembangunan melalui proses pemindahan fisik. Argumennya, distribusi pembangunan terjadi dengan kebijakan bukan sekedar infrastruktur bangunan.
Kasus proyek pembangunan yang mangkrak karena tidak tuntasnya perencanaan, kerap terjadi. Jangan sampai berakhir serupa.
Melalui persoalan di Jiwasraya, kita tentu berharap terungkap proses penyebab gagal bayar tersebut. Dalam konsep bisnis, untung-rugi adalah hal biasa, yang menjadi tidak biasa ketika kerugian justru telah direncanakan sebelumnya. Bertindak abai, lalai dan tidak prudent, adalah bentuk kegagalan perencanaan.
ADVERTISEMENT
Solusi Radikal
Kita sepakat bahwa 2020 akan penuh gelombang dan tantangan. Masalah perekonomian memerlukan strategi yang cermat dalam mengantisipasi potensi atas kondisi terburuk. Perlu think out of the box.
Cara-cara baru dan radikal perlu dirumuskan. Bukan sekedar mengasosiasikan radikal sebagaimana radikalisme seperti mantra yang selama ini kerap didengung-dengungkan.
Warisan keterbelahan pilihan politik bermuara pada stereotype radikal dan intoleran. Sejatinya politik identitas dipergunakan untuk para elite baik dalam kepentingannya merebut maupun mempertahankan kekuasaan.
Perlu leadership perubahan, lebih dari sepintas tampil dalam sorot media melalui citra simbolik. Kita patut apresiasi soal Omnibus Law, perlu konsepsi yang kuat agar tidak menjadi sekedar gagasan yang di glorifikasi.
Fokus pemerintahan bukan hanya soal radikalisme. Apalagi menjadikan radikalisme sebagai prima causa kegagalan pembangunan. Narasi radikalisme selalu diungkapkan ke publik, seakan menjadi prioritas utama kerja kabinet.
ADVERTISEMENT
Bahwa radikalisme ada, benar adanya, maka selesaikan. Membuat isu radikalisme nampak sebagai problem tunggal, seolah menutup mata ada masalah ekonomi yang lebih besar, tentu sebuah kesalahan.
Maka di 2020, pemerintah harus memiliki fokus pada kepentingan stakeholder yakni publik. Periode pemerintahan terakhir ini, harus diisi dengan totalitas untuk soal urusan publik.
Kerangka acuannya, "publik, publik, publik". Apa permasalah publik? Bagaimana menyelesaikan persoalan publik? Apakah kebijakan yang diambil berdampak bagi kepentingan publik?.
Akan ada saja pihak yang berkata bahwa seluruh penyelesaian persoalan ini tidak semudah membalik tangan, tentu benar. Tapi demi kesulitan itulah kekuasaan diberikan kepada pihak yang paling siap mengaktualisasikan strateginya, untuk membalik tangan secepat mungkin.
Publik berharap layar dapat segera terkembang, membantu laju kapal kebangsaan mengarungi ombak yang mungkin menghalangi di samudera. Menguatkan kerja bersama, meski tetap bisa berpikir berbeda, untuk suatu tujuan yang sama. Indonesia maju yang adil makmur dan sejahtera. Aamiin
ADVERTISEMENT