Game Theory dan yang Tersisa Usai Pemilu

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
21 Mei 2019 13:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah petugas mengangkut kotak suara Pemilu 2019 keatas mobil saat distribusi logistik Pemilu 2019 di GOR Kemayoran, Jakarta. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah petugas mengangkut kotak suara Pemilu 2019 keatas mobil saat distribusi logistik Pemilu 2019 di GOR Kemayoran, Jakarta. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Pertanyaan dasarnya, adakah yang masih tersisa? Lantas apakah yang tersisa itu ampas hitam atau kah saripati layaknya madu? Perjalanan politik kebangsaan tampaknya telah mencapai tahap yang hampir paripurna, sampai dengan tulisan ini dibuat, hasil rekapitulasi Pemilu 2019 oleh KPU telah selesai dilakukan. Walhasil, ada yang bergembira, namun ada pula yang bersedih.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya, dalam sebuah kontestasi, pada ujungnya akan menimbulkan situasi yang sedemikian rupa. Perasaan emosional akan kesenangan dan kesedihan, menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan, sebagai akibat dari proses dukung-mendukung. Merujuk pada teori permainan--game theory, maka kompetisi politik layaknya pemilu kali ini adalah ruang bermain elite di ranah sosial.
Tepatkah menempatkan kegiatan yang terbilang vital dalam demokrasi--sebagai upaya melakukan sirkulasi kepemimpinan--sebagai sebuah permainan? Tentu sangat bergantung dari sudut pandang seperti apa yang dipergunakan. Dalam aspek rasionalitas, politik memang tidak bisa dipandang sebagai wilayah hitam-putih semata, banyak ruang abu-abu yang memungkinkan semua kemungkinan. Para aktor politik dan partai politik membentuknya sebagai sebuah seni --the art of possibility.
Politik memang dapat dimaknai sebagai seni dan ilmu pengetahuan, secara sekaligus. Dan bentuk seni kemungkinan di dalam politik adalah nothing impossible--bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Mereka, aktor politik yang nampak berseteru, sesungguhnya dan bisa jadi hanyalah tampilan permukaan di depan layar kaca dan di dalam wacana media.
ADVERTISEMENT
Bukan tidak mungkin ada komunikasi, bahkan negosiasi di antara mereka yang memang luput diungkap. Situasi ini selaras dengan (Erving Goffman, 1959) melalui teori Dramaturgi. Kehidupan ini layaknya pertunjukan drama, di mana terdapat ruang panggung depan yang disaksikan oleh para penonton, sementara ada pula ruang panggung belakang yang mempertemukan para aktor. Di titik ini kita mencoba mengaitkannya dengan teori permainan alias game theory.
Kita runutkan uraiannya, pertama, pertunjukan drama adalah permainan dalam laku peran, dan oleh karena itu sifat permainan bisa berwujud kontestasi, sebagaimana yang dipersiapkan melalui panggung demokrasi, yakni pemilu. Kedua, dalam sebuah drama, prolog dilanjutkan dengan dialog, untuk menghasilkan epilog, begitu pula dengan permainan yang harus memiliki batas akhirnya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pada manajemen pertunjukan, ketegangan diatur dalam plot berjenjang yang memuncak menuju klimaks maupun antiklimaks. Dan keempat, pertunjukan tidak selalu happy ending, bahkan lakon sad ending pun bisa laku dan diterima oleh para penonton, tengok saja film Avengers: EndGame!
Permainan Politik
Mural di Kampung anti Politik Uang, Pondok Aren, Tangerang Selatan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Prinsip dasarnya, manusia adalah Homo Ludens yang menyukai permainan dan bermain, karena bermain adalah sarana relaksasi dan menampilkan diri. Pada konteks politik, tujuan utamanya adalah kekuasaan, di mana power and authority adalah bentuk yang akan dicapai, melalui serangkaian proses “bermain”. Teori permainan bermula dan berkembang dari konsep modulasi matematika, yang kemudian dapat diimplementasikan di bidang sosial, khususnya terkait penentuan strategi dan penyelesaian konflik.
ADVERTISEMENT
Prinsipnya, dalam kompetisi antar-para pihak maka terdapat seperangkat hal terkait, (a) adanya aturan bermain; (b) terdapat keterbatasan, ex informasi, waktu, dan sebagainya; (c) permainan bersifat kesenangan dan kesukarelaan, serta; (d) permainan adalah simulasi realitas, maka tentu tidak nyata, imitasi.
Pada sebuah permainan, tujuan akhir dapat dipilih, berakhir (a) zero sum, logika kalah-menang, atau pun; (b) positive sum, kemenangan bersama, atau pun; (c) negative sum, kalau kalah akan dilakukan boikot permainan agar deadlock.
Bila kemudian politik dibentuk dengan skema yang mengakomodasi game theory, maka penting untuk segera merumuskan perdamaian dan penyelesaian konflik. Membangun kekuatan bersama adalah sebuah hal baik yang perlu dikembangkan di antara para elite. Dalam suasana permainan, fanatisme memang kerap melenakan, tapi di sana pula elite bermain dengan menempatkan para pendukungnya sebagai kekuatan pertahanan.
ADVERTISEMENT
Persepsi tentang permainan kotor, licik, dan curang diserahkan kepada otoritas yang menjadi pengadil alias wasit pertandingan. Bila masih belum puas, publik sendiri yang akan menilai secara keseluruhan.
Residu Pemilu
Pasangan calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo -Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, berbincang usai pengundian nomor urut Pemilu Presiden 2019 di Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Pemilu kali ini sebagai sebuah permainan politik menyisakan residu-residu yang berpotensi dapat melunturkan ikatan sosial yang selama ini terjalin. Pengelompokan yang berbasis identitas ditengarai menguat, diksi kami dan kalian terbentuk, melenyapkan konsepsi tentang "kita". Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, publik menjadi terbelah, dan tersedot pada energi polarisasi.
Celakanya, pengkubuan tersebut berada dalam posisi saling menegasi, berkontradiksi, membangun sikap perlawanan. Sikap kritis tetap dibutuhkan sebagai koreksi kekuasaan, oposisi diperlukan untuk menyeimbangkan jalan pemerintahan. Tetapi polarisasi tanpa negosiasi seolah menciptakan konflik tanpa ada ruang resolusi.
ADVERTISEMENT
Benar bahwa bangsa ini membutuhkan dialektika, skema aksi reaksi dalam kualitas, bukan sekadar kuantitas jumlah pendukung. Kebebalan elite untuk mencerdaskan publik memang sejatinya merupakan upaya untuk mempertahankan posisi dominan. Komitmen bersamanya adalah kita harus mampu melangkah setelah ini.
Kini, pemilu telah usai, namun masih menyisakan persoalan yang harus segera diselesaikan. Perbedaan pilihan politik hendaknya diletakkan pada konteks permainan, meski dalam realitasnya, akan dibutuhkan kerja yang sangat keras untuk mengembalikan posisi ikatan sosial secara normal. Dalam situasi defisit modal sosial tersebut, kita perlu melihat langkah-langkah mempersatukan yang semakin menguatkan, dibanding menonjolkan keunggulan kelompok semata, dan perlu peran para elite di sana.
Teringat lomba lari 400 meter putra, di Olimpiade Barcelona 1992. Kala itu, pelari Derek Redmond yang menyisakan 150 meter akhir pertandingannya dengan tertatih akibat cedera hamstring, bersama dengan sang ayah yang juga pelatihnya, Jim Redmond, dia dipapah untuk menyelesaikan pertandingan tersebut sebagai sebuah komitmen.
ADVERTISEMENT
Derek memang melewatkan kesempatan untuk menang dan mendapatkan medali, tetapi sesungguhnya Derek telah memenangkan hati penonton karena usaha pantang menyerahnya. Dia sekaligus memenangkan dirinya untuk menuntaskan pertandingan.