Gugatan Kaum Cerdik Pandai

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
10 Februari 2024 17:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petisi "Seruan Padjadjaran: Selamatkan Negara Hukum yang Demokratis, Beretika, dan Bermartabat" dibacakan Guru Besar Fakultas Pertanian Prof. Ganjar Kurnia mewakil rekan-rekannya di Kampus Unpad, Bandung, 3 Februari 2024. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Petisi "Seruan Padjadjaran: Selamatkan Negara Hukum yang Demokratis, Beretika, dan Bermartabat" dibacakan Guru Besar Fakultas Pertanian Prof. Ganjar Kurnia mewakil rekan-rekannya di Kampus Unpad, Bandung, 3 Februari 2024. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seruan akademisi! Sudah berbagai kampus di tanah air secara susul menyusul menyuarakan nada keprihatinan akan proses kontestasi kekuasaan kali ini. Berbeda dari berbagai episode kehidupan politik sebelumnya, para cerdik pandai merasa perlu menyampaikan aspirasi yang merepresentasikan kepentingan publik dalam menjaga demokrasi. Kekuasaan perlu digugat agar kembali pada koridornya.
ADVERTISEMENT
Sebagian pihak, yang diasosiasikan berada di kelompok kekuasaan, menyebut seruan dan fenomena turun gunung kelompok intelektual ini di orkestrasi dengan motif kepentingan tertentu di tahun politik.
Pada kondisi yang serupa, terdapat langkah yang dikoordinasi sistematik melalui berbagai kampus untuk upaya berbeda haluan, ditujukan guna menyanjung keberhasilan pembangunan.
Kita memang tengah menuju fase puncak dari situasi dinamis periode politik, maka hukum aksi reaksi berlangsung. Tetapi mengesampingkan apa yang disuarakan para ilmuwan terkait situasi aktual yang tengah kita dihadapi, jelas merupakan hal picik.
Lapisan terdidik ini memiliki bekal kompetensi yang lebih dari cukup untuk membaca serta menilai, sejauh apa realitas politik yang berlangsung.
Berbagai peristiwa saling bertaut dalam momentum politik, jelas tidak berada di ruang kosong. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang kemudian berujung sanksi etik melalui Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kandidat.
ADVERTISEMENT
Ditambah dengan putusan pelanggaran etika Komisi Pemilihan Umum dalam penerimaan kontestan yang akan berkompetisi, seakan mempertegas narasi besar kepentingan kekuasaan untuk tetap mempertahankan kekuasaannya. Oligarki.
Belum kemudian menyoal pernyataan bahwa pucuk pimpinan tertinggi memiliki hak kampanye yang legal sesuai ketentuan berlaku, meski kemudian menyatakan tidak akan mempergunakan hak tersebut, seolah saling berkesinambungan.
Program bantuan sosial yang bereskalasi dalam anggaran jumbo, waktu pelaksanaan yang berhimpitan, serta personifikasi. Plus, wacana mengenai pemilihan dalam agenda satu putaran bergema, diiringi berbagai hasil survei. Tentu teramat mengkhawatirkan.
Dengan begitu, sikap dan pernyataan guru besar berbagai kampus perlu di cermati secara seksama tentang netralitas, etik dan moralitas serta nasib demokrasi di masa mendatang. Sikap untuk kembali menghidupkan ruh kritis atas kekuasaan perlu diapresiasi.
ADVERTISEMENT
Selama ini, para akademisi hidup di puncak gading dalam gua ilmu pengetahuan berjarak dari realitas sosial, bahkan tenggelam secara hegemonik melalui rutinitas akademik yang bersifat administratif. Siuman dari pingsan berkepanjangan.
Dalam The Death of Expertise, Tom Nichols, 2018, fungsi dan tugas untuk mencerdaskan kehidupan bersama oleh para cendikiawan menghilang, dikalahkan oleh influencer yang terus bersuara di media digital dan media sosial.
Civitas academia setidaknya dalam dekade terakhir ini melenyap dalam hiruk pikuk perdebatan. Daya pijar penerang para intelektual tidak hanya redup, namun sebagian diantaranya bahkan mati dan menjadi penyokong benteng pelindung kepentingan kekuasaan itu sendiri.
Lantas apa maknanya gugatan kaum cerdik pandai kali ini? Setidaknya ada suasana hati nurani yang terusik atas berlangsungnya praktik kotor pada pentas sirkulasi kepemimpinan nasional.
ADVERTISEMENT
Panggilan itu menyeru dalam tanggung jawab moral kelompok intelektual. Tentu harapan besarnya, proses pemilihan tetap terjaga dalam nalar rasional, manakala publik mampu membaca makna aksi simbolik tersebut, serta membentuk sebuah kesadaran bersama untuk mencegah terjadinya bencana demokrasi yang lebih fatal. Silahkan memilih sesuai akal sehat Anda.