Inkonsistensi dan Kekosongan Kebenaran di Tengah Pandemi

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
6 April 2020 7:41 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Kisruh. Kekacauan terjadi karena kekosongan sumber yang dapat dipercaya sebagai otoritas kebenaran. Semua pihak berbicara, bukan saling menguatkan, justru tampak saling bernegasi.
ADVERTISEMENT
Bahkan dalam lingkar kekuasaan, tidak padu. Nampak beradu, kerap terjadi selisih pandang. Sebuah keputusan kemudian dipersepsi dalam beragam makna.
Bisa jadi ada dua kondisi, (i) keputusan yang dibuat memang ambigu, tidak tegas dan tidak tuntas, sehingga menimbulkan bias kesimpulan, (ii) para pembantu di sekitar kekuasaan menafsir berdasarkan lokus sektoral masing-masing, bisa jadi tidak paham.
Kombinasi kedua hal tersebut, mengakibatkan khalayak gagal menerima makna pesan yang disampaikan. Kekosongan arahan yang formal, menimbulkan ketidakpercayaan (distrust).
Kemampuan mengatasi situasi turbulensi adalah dengan menampilkan konsistensi, diartikan sebagai kesatuan gerak, antara pikiran, ucapan dan tindakan untuk dapat sampai pada satu tujuan bersama.
Para petinggi yang tampil di ruang-ruang publik harus punya satu suara. Tidak bisa suatu pernyataan kemudian direvisi secara cepat oleh pernyataan lain. Bila itu terus terjadi, kerugian bagi publik, karena ketidakpaduan langkah kekuasaan.
Ilustrasi Corona. Foto: Indra Fauzi/kumparan

Kekosongan Penjelasan

Pandemi menjadi pokok persoalan, kerancuan komunikasi, semakin meruntuhkan kepercayaan diri publik, untuk mampu berhadapan dengan musuh tidak terlihat ini.
ADVERTISEMENT
Bukan saja soal konsistensi pernyataan, informasi yang dihadirkan pun tampak simpang siur. Terjadi tumpang tindih informasi. Kekacauan manajemen komunikasi, bahkan sudah dimulai dari pengadaan alat test cepat hingga pembelian obat.
Hal paling riuh dibicarakan publik adalah soal lockdown serta karantina wilayah, berbalas narasi darurat sipil. Pilihan Pembatasan Sosial Berskala Besar, menjadi titik tengah di bagian akhir.
Belum lagi simpang siur tentang waktu berjemur yang efektif, pagi atau siang hari? Ditambah soal bahaya disinfektan chamber ke manusia? Hingga aturan soal mudik, tidak dilarang tapi diimbau untuk tidak pulang kampung. Terbilang absurd.
Pada akhirnya, publik kebingungan. Hoaks bertebaran karena terdapat kesenjangan informasi. Situasi ini perlu segera direformulasi agar pemangku kebijakan dapat dipercaya publik. Hal yang terpenting, tentu saja agar nasib publik tidak terus terkatung-katung.
ADVERTISEMENT
Perlu upaya serta peran aktif pemangku kebijakan untuk mendorong peningkatan literasi, khususnya di situasi carut-marut informasi, yang disertai dengan histeria publik. Menerangkan dan menguatkan kepercayaan publik.
Penegakan hukum atas hoaks menjadi alat pendisiplinan serta efek jera. Tetapi pemenjaraan bukan kebutuhan. Kapasitas penjara sudah teramat penuh. Bahkan usulan terbaru adalah pembebasan narapidana, termasuk membebaskan tahanan korupsi. Perlu kaji ulang.

Memastikan Fokus

Kini, kebijakan stimulus telah diluncurkan. Ditujukan dan berorientasi pada aspek kesehatan, dampak ekonomi, ketahanan sosial dan antisipasi risiko bagi usaha kecil.
Dananya tidak kecil, Rp 405,1 triliun. Dalam situasi darurat, butuh lebih dari sekadar kebijakan baik. Harus mampu efektif mengatasi hal utama. Menghindari potensi tindakan tercela.
ADVERTISEMENT
Kondisi pandemi, menempatkan urutan prioritas kepentingan masalah, terletak pada persoalan kesehatan publik. Menyangkut keselamatan populasi.
Pertentangan antara substansi kesehatan yang berujung pada penyelamatan nyawa, kini tampak hendak diperhadapkan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi dasar.
Seolah berada dalam pilihan, mati dalam kesakitan atau mati karena kelaparan? Semua pilihan berujung situasi yang sama, menjemput maut, menjejak kematian.
Lantas narasi berkembang, bila penutupan wilayah hanya memberi kepastian bagi kelompok menengah-atas, tetapi tidak bagi mereka yang ada di lapisan bawah. Perbandingan sembrono.
Hal ini terbilang keliru, karena mengabaikan keberadaan negara sebagai institusi bersama. Peran negara, melalui intervensi kebijakan langsung, harus hadir di situasi sulit seperti ini.
Negara adalah institusi yang dirumuskan untuk menjawab urusan publik (res publica) dengan format pemerintahan yang mendasarkan diri pada kekuasaan rakyat (demos kratos).
ADVERTISEMENT
Kekuasaan memiliki legitimasi, untuk mempergunakan kekuatannya, bagi kepentingan publik. Terkecuali, bila hajat publik memang bukan menjadi fokus dari prioritas kerja kekuasaan.
Jadi jangan sampai menambah kebingungan. Diperlukan konsistensi dan transparansi. Di sana letak ujian bagi kekuasaan.