Interpretasi Survei pada Politik Kekinian (III)

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
19 Februari 2020 12:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Persoalan politik jaman now! Lembaga Indo Barometer mencoba mencatat ekspresi publik atas tiga hal yang saling berkaitan di level meso. Pertama: tentang kinerja pemerintahan, termasuk presiden, wakil presiden serta seluruh jajaran menteri. Kedua: berkaitan dengan rencana pemindahan Ibukota. Ketiga: berkenaan dengan tema Pilkada 2020.
ADVERTISEMENT
Meski baru seumur jagung, kabinet pemerintahan Jokowi kali ini adalah bentuk kesinambungan dari periode kekuasaan sebelumnya, (2014-2019). Efektifitas kerja antar bagian dalam pemerintahan perlu diuji lebih jauh. Sepintas, terjadi langkah dan gerak sektoral, sementara itu koordinasi antar bagian belum terlihat.
Kinerja Pemerintahan
Namun hasil survei membuktikan. Presiden Jokowi tampil dominan dalam menjawab soal kepuasan publik, angkanya 70.1%. Sedangkan, kepuasan kerja pada Wakil Presiden Ma’ruf Amin hanya 49.6%. Penilaian dilakukan secara individual, kerja pemerintahan tidak ditempatkan sebagai sebuah kerja kolektif bersama. Tapi itu hasilnya.
Kurang terlihatnya performa Kiai Ma’ruf, memang terlihat dari minimnya ekspose aktivitasnya. Semua pandangan diarahkan kepada Presiden Jokowi. Tentu perlu koordinasi pembagian tugas yang lebih luas, agar efektifitas kerja tercapai.
ADVERTISEMENT
Kalkulasi hasil survei, seolah membenarkan sinyalemen terdahulu, bila pembentukan pasangan duet Jokowi-Amin menjadi bentuk kompromi simbolik, untuk menarik suara dari kekuatan basis massa Islam Tradisional.
Disamping itu, survei Indo Barometer, juga menyampaikan bila tingkat kepuasan kepada para menteri bertengger diangka 54.4%. Problemnya, kombinasi yang paling umum dinyatakan terkait dengan keterkenalan alias popularitas. Disertai dengan berbagai kriteria instrumen kinerja, termasuk diantaranya kerja nyata, tegas, berani, berpengalaman, pintar, profesional, dll.
Indikator kinerja yang dibentuk melalui persepsi publik, memang tidak spesifik. Terlebih bila acuan popularitas menjadi awal masuk pengukuran kinerja. Hasil akhir kinerja para menteri, harus sampai pada ukuran langsung dampak riil yang dirasakan publik. Pada beberapa kementerian yang tidak mengalami perubahan menteri, sudah seharusnya kinerja lanjutan terjadi lebih cepat.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pada beberapa bidang kementerian, dengan aktor menteri yang baru, sesungguhnya nampak terlihat masih melakukan pemetaan dan pembacaan ulang masalah. Solusi kebijakan belum rigid. Beberapa diantaranya menjadi media darling. Sisanya tampak bekerja dalam senyap.
Koordinasi kerja antar lembaga dibutuhkan, agar kombinasi keseluruhan mencapai output secara maksimal bagi pembuktian janji-janji kampanye. Publik harus jeli dan keluar dari ukuran personal, karena kabinet adalah organisasi kesatuan, all the president’s men.
Dalam Bayangan Ibukota Baru
Mewacanakan pemindahan Ibukota, adalah hal baru yang tidak pernah dibicarakan sebelumnya. Bahkan tidak ada dalam janji kampanye sekalipun. Tetapi ide ini kemudian seolah mendapatkan momentum. Dengan dalih persoalan beban berat Jakarta saat ini. Plus, soal pemerataan pembangunan dari posisi tengah Indonesia, menghilangkan stigma Jawasentris.
ADVERTISEMENT
Nampaknya, anggaran yang besar bagi pemindahan Ibukota, bukan menjadi masalah. Padahal terdapat kekhawatiran, bila pemindahan fisik, belum menjawab soal pemindahan ekosistem politik serta sosial. Terlebih konsep pemerataan pembangunan, masih diukur melalui kriteria pembangunan fisik semata. Terlihat kehilangan unsur manusia, sebagai subjek dan objek pembangunan.
Survei ini, memperlihatkan hal sebaliknya, publik mengetahui rencana pemindahan Ibukota (85.9%) dan menyetujuinya (53.8%). Dimana secara mayoritas (45.9%) menyatakan keyakinan bila Jokowi akan berhasil membangun Ibukota di Kalimantan Timur.
Sesuatu yang sejatinya, masih agak jauh ada dalam bayangan banyak pihak, terkait kemampuan finansial. Terlebih dalam kondisi anggaran yang terbilang sempit, dan neraca keuangan defisit. Ternyata bencana banjir pun, tetap mengintai di wilayah rencana Ibukota baru.
ADVERTISEMENT
Potensi Kelahiran Dinasti Politik
Dibagian tentang Pilkada 2020, ada dua nama yang dimunculkan. Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution. Keduanya adalah kuda hitam dalam kontestasi politik daerah. Figur yang relatif muda ini adalah nama baru dalam blantika politik di daerah masing-masing. Bahkan tidak terbaca sebelumnya.
Tetapi keduanya, ada dilingkar kekuasaan nasional. Keluarga dari orang paling berpengaruh dalam jabatan politik dan pemerintahan negeri ini. Trah Jokowi.
Temuan Indo Barometer menarik. Kebanyakan pihak, justru menolak kemungkinan terjadinya politik dinasti, karena kemudian kekuasaan dipergulirkan dalam lingkup keluarga, hasil survei ini nampak anomali. Pada kasus Gibran di Pilkada Solo, (51.4%) publik mendengar informasi tentang majunya di kancah politik dari putra pertama Jokowi ini. Sebanyak (67.5%) publik juga ternyata menerima kehadirannya. Tentu hal ini akan menjadi ujian, bagi partai kader seperti PDI-Perjuangan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pada kasus Bobby di Pilkada Medan, hanya (33.6%) yang terpapar informasi, mengenai majunya menantu Jokowi di Pilkada 2020. Serupa Gibran, ternyata (69.4%) menerima keberadaan Bobby Nasution dalam pilkada.
Hasil survei ini nampak perlu verifikasi ulang, karena publik banyak dibiaskan, dengan persoalan hak demokrasi, terkait memilih dan dipilih alias bertindak sebagai kandidat politik.
Kekhawatiran terbesar, adalah transaksi pengaruh, dengan menggunakan ranah kekuasaan, untuk mendorong majunya seorang kandidat, yang teridentifikasi berada pada potensi terbentuknya dinasti politik.
Sejatinya, hal ini bukan berarti tidak memberikan ruang kepada para anggota keluarga elite politik. Tetapi menyakinkan mereka, untuk dapat memulai perjalanan politiknya, secara sama dan setara dengan semua kader partai politik, yang dimulai dari jenjang terbawah organisasi.
ADVERTISEMENT
Kompetensi yang akan menjadi pembeda, bukan sekedar menanti diujung perjalanan dengan menggunakan jalur khusus tanpa antrian.
Benar seperti yang dikatakan Abraham Lincoln, “jika Anda ingin menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan”.