Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kebenaran Objektif dalam Ruang Subjektif
26 Mei 2019 20:22 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Rangkaian opini di Kompas (25/5) membuat kening berkerut-kerut. Setidaknya, beberapa artikel itu memberikan ruang tafsir yang multi-interpretasi. Tetapi sebagai sebuah karya pemikiran tentu kita sangat menghargai keragaman cara berpikir.
ADVERTISEMENT
Pada kenyataannya, produksi konten tidak dapat dilepaskan dari konteksnya. Maka artikel opini tersebut tidak lepas dari situasi lingkup sosial-politik yang terjadi sepekan terakhir. Juga sesuai prinsip media, bahwa fakta itu hal keramat, sementara tafsir bisa beraneka rupa.
Lebih jauh lagi, media memang memberi dampak pada pembentukan kognisi ruang publik, dikarenakan kemampuannya untuk memilih dan memilah konten, selaras dengan tendensi dan kepentingan media itu sendiri. Tidak ada ruang bebas nilai, karena nilai dapat dibentuk dan direkonstruksi.
Setidaknya, pada artikel Robohnya Ramadhan Kami, Buhul-Buhul Kebencian dan Pseudojihad dan Jihad Otentik, ada kebenaran yang bersifat universal, meski bisa dibingkai dalam framing kepentingan tertentu. Penulisnya adalah para akademisi, ilmuwan yang memiliki derajat pengetahuan tinggi.
ADVERTISEMENT
Tentu tulisan ini tidak bisa dikatakan sebagai counter narasi atas apa yang hendak disampaikan sebagai makna pesan dalam berbagai artikel tersebut. Tetapi sekadar menjadi pembanding dalam pemahaman berbeda, agar jeli dan jernih melihat peristiwa kejadian dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Kebenaran yang Tersebar
Singkatnya, ketiga tulisan tersebut seolah bertalian. Bahwa Ramadan kali ini tercemari residu politik, bulan suci penuh rahmat dan ampunan, ternyata dikotori oleh tindakan yang mempertontonkan nafsu. Bahkan lebih dari itu, kebencian ditampilkan dalam narasi yang tidak berkesudahan. Diselingi dengan konsumsi informasi penuh kebohongan di social media.
ADVERTISEMENT
Lalu, pada akhirnya ditutup dengan ajakan jihad yang palsu. Sementara sejatinya, kemampuan jihad adalah mengendalikan diri. Selintas semua uraian menjadi benar dan dibenarkan sesuai situasinya. Tetapi, tentu semua narasi tersebut tidak berdiri sendiri. Premis yang muncul, tulisan-tulisan tersebut hendak dijadikan sebagai sarana reflektif atas kejadian kerusuhan di Jakarta (22/5).
Tidak ada yang salah dalam opini tersebut. Namun yang kurang tepat ketika keterbelahan publik ada dalam panggung politik, dengan aksi dukung-mendukung elite. Pilihan yang ada di ruang kontestasi politik nasional kita memang terbatas kalau tidak bisa dibilang sedikit dan langka.
Kebenaran sebagaimana layaknya komunikasi, sifatnya omnipresent; tersebar dan ada di mana-mana. Dengan demikian, kebenaran dapat bermakna relatif. Bila kemudian kita disuguhi dalam dua kutub yang berlawanan, maka mekanisme kebenaran seolah menjadi zero sum, maka kami benar dan kalian salah.
ADVERTISEMENT
Bila demikian maka sifatnya menjadi the winner takes all, pemenang akan dengan mudah mem-bully pihak yang belum beruntung. Maka kita menyisakan luka terbuka yang sulit untuk disembuhkan. Di sana letak bibit persoalan atas kebencian dan kepalsuan yang muncul.
Hakikat Keadilan
Mengulas artikel-artikel di Kompas tersebut, maka kita bisa bertanya, siapakah yang merusak kesucian Ramadan? Perilaku kecurangan sebagaimana persepsi sebagian kalangan, ataukah sutradara yang menciptakan kerusuhan?
Bagaimana status nyawa yang melayang? Mereka menuntut koreksi dan menyampaikan aspirasi, atau sebagai perusuh? Bagaimana memahami geliat partisipasi politik publik? Apakah itu adalah jihad sempit, ataukah ruang demokrasi yang terbatas?
ADVERTISEMENT
Semuanya punya nilai kebenaran masing-masing. Bila kita mampu memahami hal tersebut, maka kita bisa menegakkan toleransi, dan berlaku dalam sikap adil yang sama. Bagaimana makna semiotik polisi yang dilempari batu? Lalu apa pula perasaan para pengunjuk rasa yang 'dipelor' dan meregang nyawa?
Padahal mereka sesama anak bangsa. Apakah ada perasaan di dalam diri kita untuk berkata pantas bagi satu perlakuan tertentu, sementara berstandar ganda untuk kejadian yang lain? Jangan-jangan kita sudah tidak adil bahkan sejak dalam pikiran.
Bahkan untuk membahas soal tim medis Dompet Dhuafa yang diperlakukan tidak sepantasnya. Apa yang salah dengan evakuasi korban? Lalu apakah lantas diam tanpa memberi pertolongan akan memberi manfaat secara kemanusiaan? Lantas narasinya dibelokkan, menjadi tuduhan sepihak terkait aspek tata kelola organisasi, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Dalam ruang yang terbelah, kita memang sulit melihat hal-hal yang berbeda dalam satu frame utuh. Adalah sebuah kesia-siaan untuk membentuk narasi tunggal yang mutlak tanpa melihat aspek relatifnya, dalam memahami pihak lain. Ada peran ilmuwan di sana, yang bebas dan bernas.
Bagi penulis, momentum ini jadi ruang reflektif. Bahwa kami dan kalian, bermakna kita memang sedang ada pada situasi yang buruk, di dalam kesalahan. Maka mari kita perbaiki bersama. Ingat satu jari menunjuk batang hidung pihak lain, empat jari sisanya menunjuk pada diri sendiri!
ADVERTISEMENT