Komunikasi Corona dan Status Global

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
2 Februari 2020 10:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Darurat global! Begitu status World Health Organization (WHO) atas wabah Virus Corona China. Situasi tersebut merujuk kategori status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC).
ADVERTISEMENT
Hal itu menandakan, bahwa telah terjadi sebuah peristiwa kesehatan secara luar biasa. Sehingga, membutuhkan langkah-langkah penanganan yang luar biasa pula. Dengan status tersebut, terdapat risiko kesehatan publik bagi negara lain, melalui penyebaran penyakit di tingkat internasional.
Sekurangnya ada dua makna yang terkait. Pertama: Peningkatan kewaspadaan atas potensi mewabahnya kondisi suatu penyakit pada level dunia. Dan kedua: Diperlukannya langkah dan koordinasi tindak lanjut, sebagai bentuk respons internasional terkoordinasi.
Diluar aspek tersebut, problem Corona China ini dapat didekati dengan berbagai perspektif. Ragam pendekatan kasus sangat variatif dan berbeda, menyeruak di tengah pembicaraan publik.
Bagi peminat kajian geopolitik, maka persoalan mewabahnya Corona, dikaitkan dengan proksi ketegangan sebelumnya, yang merujuk pada perang dagang China-Amerika. Persebaran virus, dimaknai sebagai bentuk teori konspirasi pelemahan kekuatan China oleh pihak-pihak berseberangan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, bila anda lebih tertarik pada pembahasan ekonomi internasional, maka masalah kejangkitan virus Corona, akan dilihat melalui kacamata dampak ekonomi yang akan terjadi. China kini menjadi salah satu negara superpower. Indikator ekonomi dunia, seolah direpresentasikan oleh Negeri Panda tersebut.
Sedangkan jika anda berminat pada persoalan kesehatan, sudah barang tentu perulangan kasus serupa menjadi hal menarik. SARS, MERS, Avian Influenza, dan lain-lain adalah berbagai penyakit yang sempat mewarnai pemberitaan dunia. Menimbulkan kekhawatiran sekaligus ketakutan global. Belum ada formula medis mujarab, yang mumpuni mengatasinya.
Bahkan, bila dikaitkan dengan pentas politik nasional, highlight yang akan dilihat adalah bagaimana respons pemerintah, atas kewaspadaan dan antisipasi penanggulangan wabah Corona. Perlakuan evakuasi bagi para WNI di Wuhan China, hingga pengaturan arus barang dan jasa, termasuk kunjungan wisatawan China.
ADVERTISEMENT
Logika Intervensi
Melalui kasus Corona, aspek kajian menjadi sangat multivariabel. Tentu salah satu yang menarik bagi penulis adalah tentang alur komunikasi terkait wabah Corona itu sendiri.
Melihat bagaimana China sebagai sebuah negara yang sangat membatasi arus informasi, bahkan terkontrol secara ketat, tentu membuat sebuah persoalan lain. Informasi dan data, adalah barang penting, yang dikelola oleh pemerintah China.
Sejauh ini, otoritas China tampak telah berupaya membuka diri atas berbagai langkah yang dilakukan. Sekurangnya, strategi yang dilakukan terkait dengan upaya identifikasi, isolasi, dan terapi. Meski terbuka soal sebaran Virus Corona di Wuhan, serta data-data korban terjangkit maupun meninggal, agaknya China sendiri belum mampu menjawab bagaimana cara terbaik keluar dari persoalan tersebut.
Petunjuk pentingnya, baru sampai pada masa inkubasi virus selama 14 hari, selebihnya masih gelap. Secara serius, isolasi kota terjangkit, pembatasan arus interaksi manusia, dilakukan oleh pemerintah China.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, bahkan momentum krisis Corona, secara baik dimanfaatkan untuk menunjukan kemampuan China. Pembangunan rumah sakit, atau pusat karantina medis raksasa pun dibuat hanya dalam hitungan hari. Seolah hendak menunjukan bagaimana China memang memiliki emergency response yang sangat baik.
Sejatinya, melalui peningkatan status WHO menjadi kondisi darurat kesehatan global, maka China bisa mengundang berbagai negara, untuk mengulurkan bantuan terkait. Tapi bisa jadi fasilitas bantuan seperti itu, menjadi tidak menarik bagi China. Terlebih sebagai negara tertutup, proteksi dari intervensi asing sangat dipertahankan oleh Beijing.
Batas kedaulatan itu, menjadi territori dari identitas pemerintahan komunis China. Terlebih bila urusan domestiknya, seolah hendak dicampuri oleh instruksi lembaga-lembaga luar negeri.
Kita tentu mengingat sebagaimana Mantan Menkes Siti Fadilah Supari, dalam buku Saatnya Dunia Berubah, terkait dengan paparan kematian unggas dalam wabah flu burung. Pada buku itu, persoalan penelitian virus yang dibantu negara-negara maju, kerap berakhir antiklimaks, bahkan timpang.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, penelitian virus akan berakhir bersamaan dengan kehadiran vaksin antivirus, yang tidak dapat diakses lagi oleh potensi komunitas terdampak. Hal ini jelas merupakan bentuk dominasi dan subordinasi. Agaknya China memahami hal tersebut.
Komunikasi Asimetris
Lalu bagaimana keluar dari situasi yang saling mengunci tersebut? Bukankah bila China tidak mampu mengatasi mewabahnya Virus Corona, tidak hanya memberi risiko di tingkat dunia, sekaligus berisiko bagi dirinya sendiri?
Dalam situasi krisis, memang terjadi komunikasi asimetris. Di mana pusat data dan informasi, dimiliki sepihak oleh sumber utama, dalam kasus Corona maka segala urusan komunikasi ada di tangan China.
Bagaimana membalik persoalan komunikasi asimetris, di tengah periode kritis? Tentu sangat bergantung pada kemampuan pengelolaan ego. Ditambah dengan menampilkan wajah tulus, dalam memberikan bantuan. Kerap kali bantuan datang, dengan berbagai pamrih dibelakangnya.
ADVERTISEMENT
Kapan kiranya hal itu akan terjadi-perubahan komunikasi asimetris pada periode krisis? Sekurangnya pada dua kondisi. Pertama: Bila memasuki periode puncak krisis, ketika persebaran Corona menjadi semakin tidak terkendali, atau kedua: Saat menuju pembentukan resolusi pascapuncak krisis, di mana membutuhkan kesimpulan dari periode akhir untuk menciptakan kepercayaan publik.
Dalam dua fase tersebut, faktor pencetusnya akan terkait dengan tekanan internal maupun eksternal. Dengan begitu akan terdapat keharusan secara tidak tertulis, bagi China, untuk menundukan ego serta berkolaborasi dengan warga dunia.
Pertanyaan selanjutnya, mungkinkah hal itu terjadi? Sangat tergantung pada sejauh mana China memandang terwakili kepentingannya untuk bekerja sama dengan pihak lain. Bila tidak kita memang sedang dalam kegalauan tingkat dunia.
Pada banyak kasus, sebuah bobot permasalahan yang tidak dapat dipecahkan, seringkali terjadi, bukan karena tidak mampu untuk diselesaikan, tetapi lebih dikarenakan sulitnya untuk meredam ego, untuk mengakui membutuhkan pertolongan pihak lain.
ADVERTISEMENT
Membalik komunikasi asimetris, membutuhkan lebih banyak penanganan pada aspek psikologis.