Komunikasi Pembangunan dan Membangun Komunikasi

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
10 September 2020 9:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Istilah pembangunan merupakan hal yang tidak asing di telinga kita. Persoalannya, tafsir pembangunan akan selalu terkait dengan tendensi arah kuasa. Pergantian corak kepemimpinan, termasuk di dalamnya peralihan etape kekuasaan menempatkan format pembangunan secara berbeda, selaras laku zaman.
ADVERTISEMENT
Pascakemerdekaan, maka pembangunan dimaknai sebagai upaya mengisi ruang kebebasan. Kehendak untuk membangun tata kehidupan kenegaraan, diarahkan pada pencapaian kesejahteraan, dengan berprinsip adil dan makmur sebagai muara akhirnya.
Dengan begitu, frasa pembangunan tidak hanya menjadi sarana, tetapi juga merupakan suatu tujuan pembeda. Dalam hal ini, pembangunan dimaknai sebagai langkah mencapai modernitas, mengejar ketertinggalan, menjadi negara yang mampu memenuhi kehendak dan hajat warganya.

Lintasan Pembangunan

Melalui perjalanan sejarah pada era kemerdekaan, di setiap fase ragam pembangunan berbeda-beda. Di masa Orde Lama, arah pembangunan dimulai dengan pelaksanaan berbagai proyek mercusuar. Tentu hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari situasi kemiskinan yang mendera.
Lebih jauh lagi, pemerintahan Orde Lama perlu menegaskan eksistensi dirinya melalui realisasi bentuk konkret, yang sekaligus menjadi upaya dalam memecah dua arus besar ideologi dunia yang saling bertarung pengaruh setelah usainya Perang Dunia Kedua.
ADVERTISEMENT
Pergantian ke Orde Baru, dengan semangat melakukan pembaharuan arah kebangsaan, menciptakan model pembangunan yang tersentralisasi. Pelaksanaan pembangunan dilaksanakan sesuai instruksi pemerintah pusat. Pemaknaan pembangunan bersifat monolitik.
Dalam usahanya, untuk memperkuat pengaruh pemerintahan Orde Baru menjadikan tema pembangunan dalam arti stabilitas. Tidak boleh ada gangguan bagi kesuksesan pembangunan. Sehingga tidak memungkinkan ada suara berbeda. Frasa pembangunan menjadi sakral.
Di samping itu, penguasaan pengelolaan pembangunan diserahkan kepada lingkar dalam kekuasaan Orde Baru. Lemahnya peran institusi penyeimbang, disebabkan hampanya ruang oposisi, serta minimnya partisipasi sekaligus kekuatan dari masyarakat sipil kala itu.
Era reformasi terlahir sebagai bentuk antitesis dari Orde Baru. Peran pusat terdistribusi hingga daerah. Otonomi adalah menjadi istilah baru, yang dimaknai sebagai upaya pembangunan sesuai dengan kebutuhan riil di tingkat daerah itu sendiri. Keragaman kondisi memerlukan pendekatan berbeda di setiap wilayah.
ADVERTISEMENT
Pada periode reformasi, ruang kebebasan kembali terbuka. Peran dan partisipasi masyarakat sipil dimulai, tidak jarang terjadi perbedaan pemahaman. Hal ini tidak pernah terjadi di era Orde Baru. Secara bersamaan, Orde Reformasi melahirkan para penguasa lokal.
Format politik yang masih menerapkan skema patron klien, mengakibatkan arah pembangunan menjadi kembali tidak seragam. Bahkan bisa jadi terputus-putus, karena kebijakan yang diambil tidak pernah utuh dalam jangka panjang. Hal itu menjadi tantangan yang terbuka hingga saat ini.

Arah Tujuan Pembangunan

Sesungguhnya, ditujukan ke mana arah pembangunan kita? Fokus pada pencapaian ekonomi atau melakukan perbaikan struktur politik? Pada periode pemerintahan kali ini, pekerjaan infrastruktur dikebut. Pemaknaan pembangunan diarahkan secara fisik. Bandul pembangunan, kembali diartikan sebagai bangunan infrastruktur.
ADVERTISEMENT
Sekilas formula evaluasinya, mengandaikan bila kegagalan pembangunan infrastruktur fisik pada berbagai periode sebelumnya, mengakibatkan kita tidak memiliki kemampuan untuk berdaya saing. Dengan begitu, pembangunan ditafsirkan sebagai pemenuhan kebutuhan perangkat fisik yang terlihat, jalan, jembatan, pelabuhan hingga bandara, bahkan pemindahan Ibukota baru.
Pertanyaan mendasarnya, apakah pembangunan dengan model pendekatan objek fisik kebendaan tersebut, memberikan jaminan kebahagiaan bagi subjek manusia? Seluruh pencapaian pembangunan fisik, kini bahkan seolah terhenti di era pandemi. Apakah daya saing berkorelasi hanya dengan infrastruktur semata? Bagaimana soal warisan budaya feodal, layaknya masalah korupsi?
Di sini sekurangnya letak duduk persoalan ketika pembangunan melepaskan dirinya dari keterkaitannya atas kondisi serta lingkup riil sosial. Manusia sejatinya menjadi orientasi pusat dari kepentingan pembangunan, tidak hanya menjadi subjek, sekaligus menjadi objek.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, arah pembangunan tidak bisa ditempatkan secara parsial dan terpisah antara fisik dan aspek mental manusia. Problemnya, slogan revolusi mental masih menjadi bayang-bayang dari apa yang terlihat. Manusia semestinya merupakan pokok utama perlintasan dari orbit berputar bernama pembangunan.
Membangun Komunikasi
Lantas bagaimana menempatkan manusia sebagai bagian pusat dan bukan hanya menjadi ujung tepi pembangunan? Dibutuhkan kemampuan untuk menciptakan ruang terbuka, yang memungkinkan partisipasi aktif terjadi, menguatkan peran masyarakat sipil, sekaligus membebaskan diri dari kepentingan sempit.
Kita lantas beralih dari komunikasi pembangunan yang bersifat satu arah dan monolog, menjadi diskursus yang interaktif melalui dialog. Bertransformasi dari komunikasi pembangunan yang semata-mata menyampaikan capaian pembangunan dalam angka statistik ekonomi makro, menjadi kemampuan membangun komunikasi publik.
ADVERTISEMENT
Tidak mudah. Upaya membangun komunikasi publik, membutuhkan lebih banyak waktu untuk mendengar dan berpikir. Pilihan kebijakan ditimbang dari hulu persoalan, tentang manusia dan kemanusiaan. Keputusan diambil dengan segenap rasa keadilan dan kebermanfaatan.
Di titik itulah upaya membangun komunikasi menjadi lebih vital untuk dilakukan dalam upayanya menciptakan ruang partisipasi dan emansipasi publik. Pola persuasi yang disandarkan hanya pada upaya mempertontonkan aspek tampilan melalui infrastruktur fisik, akan kehilangan makna tanpa pelibatan manusia.
Pola pembangunan dapat berlangsung nir demokrasi, bahkan bermodel otoritarian bisa jadi lebih maju dalam menghasilkan karya dan monumen pembangunan fisik, tetapi tidak mampu menjamin kemerdekaan dan kebebasan publik.
Pada upaya membangun komunikasi publik, hal yang perlu diperkuat adalah membangun kepercayaan publik sebagai basis legitimasi, dalam memenangkan upaya persuasi, tanpa hal itu maka proyek pembangunan hanya akan menjadi pemenuhan kepentingan elite oligarki.
ADVERTISEMENT