Konstruksi BPJS Kesehatan Pasca-Kenaikan Premi

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
7 Februari 2020 14:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menyesuaikan diri! Kenaikan premi BPJS Kesehatan telah final. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menyeimbangkan jumlah pendapatan, mengatasi defisit. Tetapi masih belum cukup. Terdapat fenomena turun kelas penjaminan secara massif.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut juga tidak terhindarkan. Terutama bagi peserta mandiri. Maka, pasca-kenaikan premi berbagai langkah nampaknya tengah dipersiapkan untuk menjadi jurus jitu mengatasi defisit program Jaminan Kesehatan Nasional-JKN tersebut.
Setelah sebelumnya, Kemenkes patah arang atas langkah BPJS Kesehatan yang tidak banyak melaksanakan beberapa saran terkait penetapan premi. Kini saatnya menempatkan kembali relasi proporsional antara semua sektor terkait untuk mengembalikan tata kelola BPJS Kesehatan.
Dalam program JKN, organisasi BPJS Kesehatan memang ditempatkan terpisah dari Kemenkes, dan berada langsung di bawah kekuasaan presiden. Namun koneksi antar bagian, sesungguhnya terjalin antara kedua bidang tersebut, BPJS Kesehatan, dan Kemenkes. Kerja keduanya bersinggungan erat.
Belum lagi menyoal institusi pelayanan kesehatan, mulai dari klinik, puskesmas dan rumah sakit yang bernaung di bawah Kemenkes. Stakeholder terbesarnya adalah publik, sebagai penerima layanan dan berlaku sebagai subjek sekaligus objek sasaran.
ADVERTISEMENT
Publik menempati dua fungsi. Pertama, sebagai subjek, karena skema asuransi sosial BPJS Kesehatan menggunakan metode mix pembiayaan yang bercampur antara subsidi negara bagi penduduk miskin, bersama dengan dana premi mandiri dari penduduk yang berkemampuan. Kedua, sebagai objek, karena menjadi pihak yang akan menerima manfaat langsung dari pelayanan kesehatan.
Lantas, bagaimana relasi normal dari seluruh stakeholder tersebut? Secara sederhana peran dan fungsinya sebagai berikut; Pertama, BPJS Kesehatan menjadi juru bayar, mengatur perbendaharaan terkait pendapatan serta pengeluaran. Kedua, Kemenkes bertindak sebagai juru atur, mengelola berbagai soal regulasi, terkait mekanisme pemberian layanan kesehatan. Ketiga, institusi kesehatan memainkan peran sebagai juru layanan, yang bertindak secara langsung dalam melakukan tindakan di lapangan. Keempat, publik secara menyeluruh, menjadi pihak yang berkepentingan terhadap pemberian layanan kesehatan.
ADVERTISEMENT

Peran Kekuasaan

Apakah dengan relasi tersebut, BPJS Kesehatan akan terhindar dari defisit? Jawabnya bisa iya, namun bisa pula tidak. Dalam makna, bila dihitung dengan menggunakan ekonomi kesehatan, proyeksi program bisa jadi balance alias seimbang antara pengeluaran dan pemasukan.
Namun aspek lain dapat mempengaruhinya, termasuk soal kebijakan politik, hal ini dapat membuat arus neraca anggaran BPJS Kesehatan bergeser menjadi unbalance alias tidak seimbang. Apa contohnya? Semisal, penetapan premi di luar nilai hitung aktuaria, atau pemberian manfaat melebihi kemampuan pertanggungan yang dikelola.
Bagaimana jika BPJS Kesehatan ternyata kembali defisit? Kerangka mitigasi risiko harus tetap diperhitungkan. Di sinilah peran terakhir dimainkan, yakni kedudukan kekuasaan yang harus bertindak sebagai juru selamat dalam menjamin keberlanjutan program nasional tersebut. Maka bailout alias dana talangan tetap harus dicadangkan dan disediakan.
ADVERTISEMENT
Sedemikian perlukah hal itu dilakukan? Jika merujuk pada nilai Indeks Pembangunan Manusia --IPM, maka sekurangnya patokan indikatornya terletak berdasarkan tiga hal, Pertama: cakupan pendidikan berkenaan dengan periode bersekolah. Kedua: sektor kesehatan terkait harapan hidup. Ketiga: kapasitas ekonomi dilihat dari kemampuan pengeluaran per kapita.
Berdasarkan ukuran tersebut, kesehatan menjadi tolak ukur penting, selaras dengan impian tentang Manusia Unggul pada 2045, Indonesia Emas. Toh pembangunan bermakna bagi kepentingan manusia, dan kesehatan adalah pilar utama penyangganya.
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Konsekuensi Premi

Memberikan porsi peran BPJS Kesehatan hanya pada urusan juru bayar, menjadi penting, agar tidak membuatnya melampaui kewenangan medis. Sebelumnya peran Kemenkes nampak hanya sebagai pelengkap. Manuver dari akrobatik BPJS Kesehatan, terkait pengelolaan batasan medis, sering kali offside.
ADVERTISEMENT
Ketika BPJS Kesehatan menjadi program nasional, seolah menempatkan institusi BPJS Kesehatan menjadi episentrum pendulum. Otoritasnya menjadi sangat luas. Format ulang tata kelola, mengembalikan fungsi Kemenkes sebagai departemen yang merumuskan blueprint pelayanan kesehatan nasional, dan BPJS Kesehatan memfasilitasi hal tersebut, bukan sebaliknya.
Maka, rilis PMK 3/2020 yang menggantikan posisi PMK 30/2019 terkait Perizinan dan Klasifikasi Rumah Sakit, seolah menjadi tali persambungan di antara keduanya. Berbeda dari PMK sebelumnya, maka PMK 3/2020 bernuansa deregulasi alias penyederhanaan bentuk. Dalam bahasa yang serupa dimaknai sebagai membuka sekat kelas rumah sakit.
Pada aturan 30/2019, pengelompokan kelas rumah sakit mengatur secara detail bahkan jumlah sumberdaya maupun fasilitas, maka aturan baru tidak sedemikian. Terdapat ruang fleksibel, karena indikator pembeda kelas hanya jumlah tempat tidur. Dengan begitu, dinding tembok pembatas kelas rumah sakit runtuh sudah.
ADVERTISEMENT
Kini semua rumah sakit bisa, memiliki peluang pengembangan yang sama. Dengan begitu, kompetensi rumah sakit akan menjadi lebih merata, ketersediaan tenaga medis juga demikian. Problem pembedanya nanti akan terdapat pada konsep dalam mekanisme pelayanan, dan fasilitas pendukung non medis. Hal ini, tentu membuka perluasan akses layanan kesehatan.
Hakikat kenaikan premi, terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan, dan harapan akan kemudahan akses terpenuhi dalam semangat aturan baru ini. Pertanyaannya, sejauh mana peraturan menteri terkait dapat dijaga secara konsisten, dan tidak berubah dalam waktu pendek. Inkonsistensi peraturan pula yang membuat PMK 30/2019 akhirnya ditunda, meski baru seumur jagung. Bagi institusi kesehatan, khususnya swasta perlu ada kepastian terkait dengan strategi dan rencana pengembangan usaha yang dilakukan.
ADVERTISEMENT

Mungkinkah Defisit Melebar?

Ketika kemudahan akses pelayanan kesehatan menjadi spirit PMK 3/2020, maka dibutuhkan infrastruktur yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat. Dengan begitu pemetaan institusi dan pelayanan kesehatan mutlak dilakukan.
Mengapa? Karena selama ini konsentrasi layanan bertumpuk dan padat hanya di kota-kota besar, sementara menjadi sangat langka di berbagai daerah lainnya. Karena itu butuh distribusi, kerangka pemerataan ini menjadi peran Kemenkes, agar sektor swasta korporasi dan konglomerasi, tidak hanya sesak di wilayah-wilayah potensial secara ekonomi.
Melalui pemerataan akses, bisa jadi dan sangat mungkin defisit BPJS Kesehatan akan melebar. Kemudahan akses membuat tingkat kunjungan menjadi semakin tinggi. Tapi itu konsekuensi turunan yang tidak dapat dihindari. Secara linier dapat berakibat pada penambahan defisit.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana mengatasinya? Sekarang saatnya instrumen BPJS kesehatan bekerja, mengatur manfaat dan pengelolaan pembayaran. Kemungkinan akan diberlakukan tarif layanan tunggal dan kelas standar dalam pelayanan peserta. Hal itu membuat model kerja asuransi BPJS Kesehatan tidak lagi berdasarkan kelas tetapi menjadi asuransi kesehatan dasar dengan sifat manfaat terbatas.
Situasi tersebut, menguatkan premis bahwa kesehatan merupakan kebutuhan, bukan sekadar pilihan kenyamanan sesuai jenis kelas pelayanan. Selama ini, klasifikasi kepesertaan BPJS Kesehatan dalam jangkauan nasional masih ditawarkan berdasarkan premi kelas, maka ke depan hal itu menjadi tidak relevan.
Problematikanya akan pelik, dalam konteks negosiasi tarif bagi pelaku swasta, karena tarif tunggal harus merepresentasi semua kepentingan pelayanan. Sekadar saran, pembedanya adalah jenis institusi, negeri atau swasta. Komponen pembiayaan swasta berbeda dari pelaku institusi negeri yang mendapat subsidi anggaran operasional. Bersamaan dengan itu, institusi pelayanan negeri harus terfokus pada kelas standar BPJS Kesehatan, sedangkan kelas layanan non standar diserahkan kepada sektor swasta.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, dengan pengaturan yang rigid sekalipun defisit BPJS Kesehatan akan tetap memiliki potensi untuk muncul. Melalui spirit PMK 3/2020 kita memiliki harapan akan perbaikan akses dan kualitas pelayanan yang masih membutuhkan prasyarat pendukung dengan regulasi tambahan.
Di samping itu, pada bagian akhir, kita berharap komitmen politik pemerintah akan menjadi kunci penyelamat bagi program ini diperankan dengan baik, termasuk menambal kantong bolong BPJS Kesehatan. Karena soal kesehatan berbicara tentang kehidupan manusia yang sangat sulit dihitung dalam kalkulasi angka-angka!