KPPS antara Nyawa dan Suara

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
9 Mei 2019 12:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Surat Suara Foto: Antara/Darwin Fatir
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Surat Suara Foto: Antara/Darwin Fatir
ADVERTISEMENT
Simpati terdalam perlu disampaikan kepada keluarga dari 440 anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang meninggal dunia. Sementara sekurangnya 3.788 petugas lainnya sakit.
ADVERTISEMENT
Dalam makna kemanusiaan, maka keprihatinan atas suasana duka dari pesta demokrasi kali ini tentu menjadi sebuah catatan kelam tersendiri. Terdapat begitu banyak nyawa yang hilang dalam tugas tersebut.
Soal nyawa jelas bukan soal ukuran banyak atau sedikit, karena urusan kehidupan menjadi sangat berharga. Tentu perlu evaluasi dalam melihat fenomena ini, mari bersama melihat dalam kacamata kemanusiaan.
Dikotomi politik kita memang tengah memuncak, maka perhatian atas kasus seperti ini kemudian mudah dicurigai memiliki tendensi kepentingan tertentu, jelas cara berpikir seperti itu merupakan sebuah kekeliruan, bahkan sesat berpikir.
Ada situasi ironi, ingar bingar dan gegap gempita Pemilu serentak kali ini justru merenggut nyawa begitu banyak. Secara kejadian, kondisi ini masuk dalam kategori tragedi, karena ada hal yang tidak diinginkan terjadi di sana.
ADVERTISEMENT
Tidak pula dengan mudah kita berbicara bahwa Pemilu 2014 pun terdapat petugas KPPS yang meninggal, maka kejadian serupa di Pemilu 2019 menjadi hal yang wajar serta normal. Kesesatan pemikiran itu terjadi, karena penyederhanaan masalah, sekaligus seolah menghindari tanggung jawab.
Persoalannya, apakah kita telah berusaha menghindari kemungkinan terburuk dari situasi itu? Kelelahan dinyatakan sebagai penyebab atau dapat menjadi pemicu kematian, ada argumentasi medis yang berbeda soal itu, tetapi satu hal yang sama tugas KPPS terbilang berat.
Maklum saja Pemilu kali dilakukan serentak, di tengah hangatnya proses kontestasi politik, menjadi tekanan psikologis sebagai beban tambahan. Problem-nya gambaran akan beban kerja dan tugas yang dikategorikan berat, bahkan tidak terpotret melalui hasil simulasi Pemilu serentak yang telah dipersiapkan lama.
Seorang petugas Komisi Independen Pemilihan (KIP) kota Banda Aceh merapihkan kotak surat suara Pemilu 2019. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Ke mana Bermuara?
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, tulisan Effendi Gazali tentang Penghancuran Peradaban melalui Pemilu menjadi menarik untuk dilihat. Tudingan kepada Effendi dkk selaku pemohon pemilu serentak ke MK yang kini berkonsekuensi pada kematian anggota KPPS tidak berdasar dengan mencermati jawaban yang diberikan.
Dikabulkannya Pemilu serentak tidak berjalan seiring dengan ajuan penghapusan Presidential Threshold, maka yang mencuat adalah alasan efektivitas dan efisiensi anggaran bagi penyelenggaraan Pemilu yang tampak mengemuka.
Padahal, tujuan persidangan Pemilu serentak adalah mencegah potensi terjadinya kandidat tunggal, termasuk menghindari kompromi serta negosiasi politik jangka pendek. Melalui Pemilu serentak sudah seharusnya tidak terdapat kendala untuk menghadirkan figur-figur alternatif kandidat calon presiden, tersebab adanya ajuan penghapusan Presidential Threshold.
Publik akan semakin kaya pilihan, sedangkan partai didorong untuk dapat mengajukan kader terbaiknya atau bahkan membangun koalisi yang lebih bersifat permanen, karena belum ada hasil Pileg. Namun sayangnya, paket ajuan terkait Presidential Threshold justru dimentahkan. Hasilnya, sebagaimana terjadi saat ini.
ADVERTISEMENT
Lalu tarikan besar pertanggungjawaban ada di mana? Tentu posisi KPU sebagai badan penyelenggara Pemilu memiliki kewenangan strategis secara langsung, termasuk kemampuan dalam mencermati dan mengantisipasi teknis atas risiko-risiko yang terjadi. Terlebih soal nyawa, jelas tidak bisa dipandang sebelah mata.
Apakah dengan demikian isu ini dapat menjadi upaya menjadi sarana delegitimasi KPU dan hasil Pemilu 2019? Tentu tidak bisa dilihat secara linier, karena hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab serta perhatian dan evaluasi para pihak terkait, termasuk KPU, pemerintah, dan DPR.
Aksi untuk menghormati 225 penyelenggara Pemilu 2019 yang gugur, di Bundaran HI, jakarta, (28/4). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Korban atau Pahlawan?
Sesuai dengan judul tulisan ini, antara nyawa dan suara, maka kematian anggota KPPS menjadi korban dari lemahnya mekanisme antisipasi risiko. Rentang persoalan dimulai dari mekanisme rekrutmen, penentuan batas umur, prasyarat kesehatan, hingga pengaturan waktu dalam pelaksanaan teknis.
ADVERTISEMENT
Secara bersamaan, anggota KPPS yang gugur dalam tugasnya adalah pahlawan, karena memfasilitasi penyampaian suara publik. Karena itu pula harus terdapat upaya dalam menghargai jasa yang telah dilaksanakan sebagai kompensasi sepadan.
Prinsipnya secara reflektif perlu ada upaya perbaikan serta pembenahan proses Pemilu, hal itu menjadi penting dalam catatan demokrasi kita yang penuh dengan kepiluan kali ini.
Dengan segala kejadian dalam pemilu kali ini, teringat Michael Polanyi, seorang pemikir Hungaria tentang pola kerja dokter dalam menyingkap penyakit. Diperlukan kemampuan melakukan anamnesa metode tanya jawab, untuk menegakkan diagnosa serta memberikan terapi penyembuhan.
Demikian pula dalam melihat selimut duka Pemilu kali ini dengan kematian anggota KPPS. Sebagaimana Polanyi, pendekatan berbasis angka kuantitatif dalam perspektif positivistik dalam mencari realitas, hanya akan berhadapan dengan kegagalan memahami esensi kemanusiaan, yang tidak bisa dilepaskan dari aspek moralitas, estetis, dan ikatan sosial, atau dalam makna mendalam meninggalkan kesadaran.
ADVERTISEMENT
Jadi, sudahkah kita berkaca dari kejadian ini untuk melihat sentuhan kemanusiaan, melampaui kepentingan jangka pendek? Silakan dijawab.