Kritik dalam Labirin Informasi

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
1 Juli 2021 4:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kritik dalam Labirin Informasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Tipis! Batas kritik dan menghina menjadi amat tipis bila persepsi pemaknaan dilakukan melalui satu pintu. Padahal kritik bisa didekati melalui berbagai pintu interpretasi.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia yang saling terkoneksi melalui jejaring digital, kita memang tengah berhadapan dengan berbagai jebakan informasi. Kajian khusus Kompas (28/6) memperlihatkan hal itu.
Bersuara melalui platform media online yang saat ini relatif mudah diakses, bukan tanpa tanggung jawab. Terdapat norma dan aturan dalam kerangka legal maupun moral yang berlaku.
Kebebasan itu memiliki ruang batas. Pada titik itu kita menyepakati kritik dan menghina adalah dua hal yang terpisah dan berbeda. Harus ada etika yang mengikat dalam upaya menyampaikan kritik.
Pada beberapa hari terakhir, kita disuguhi berita tentang meme yang dirilis BEM UI di media sosial tentang posisi Presiden sebagai King of Lip Service. Pihak otoritas kampus bertindak sigap.
Pemanggilan dilakukan, organisasi mahasiswa dianggap keluar dari koridor hukum. Amplifikasi isu juga terjadi melalui pro-kontra media sosial, apa yang dilakukan BEM UI disambut ramai.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, justru rangkap jabatan Rektor UI terkuak berhadapan dengan statuta kampus. Publik menangkap tambahan informasi justru di luar substansi kritik yang disampaikan.
Sebagian pihak yang berposisi kontra menganggap apa yang disampaikan BEM UI melalui meme tidak layak menjadi argumen, tendensinya dianggap bermuatan sebagai hinaan.
Pada saat yang bersamaan, di media sosial ada pula pernyataan Komisaris BUMN yang ingin meludahi seorang pejabat. Hinaan atau kritik?
Ilmu komunikasi menyebut bila tafsir sebuah teks sesungguhnya multimakna sesuai dengan perspektif yang digunakan. Dengan begitu, makna sebuah teks bergantung posisi Anda.
Kritik dan Menghina
Apa bedanya? Dalam bahasa yang lugas, menghina berkonsekuensi pada aspek hukum, sementara kritik dengan mengungkap fakta serta data adalah hal yang lumrah di alam demokrasi.
ADVERTISEMENT
Kritik berkaitan dengan posisi dan kedudukan, diarahkan pada kelembagaan, berkaitan dengan kebijakan.
Sebagian menyebut bila kritik harus menyertakan solusi, itu bersifat opsional alias tidak wajib, karena kekuasaan justru diberi legitimasi untuk mencari penyelesaian dari masalah publik.
Sementara, menghina bersifat individual, tendensinya ancaman fisik, dibumbui dengan berbagai kata yang tidak pantas dalam standar moral yang berlaku di publik.
Problemnya, bagaimana memisah posisi pribadi dari jabatan yang melekat? Hal ini menjadi menarik dalam konteks diskusi rancangan perubahan UU ITE.
Tulisan Ariel Heryanto, Gila Hormat, Kompas (28/6) memberikan gambaran historis dalam spirit kolonial mengenai pasal haatzaai artikelen di era Hindia Belanda yang disebutnya bak penyakit gila hormat dan bersifat menular.
Jadi berdebat tentang kritik atau hinaan akan menjadi sebuah kesia-siaan bila warisan wabah gila hormat masih tersisa.
ADVERTISEMENT
Ariel membalik logika, bagaimana bila publik yang justru dihina bukan pemangku kekuasaan? Mengapa publik justru tidak terlindungi? Kenapa kekuasaan lebih penting untuk membentengi dirinya? Rentetan tanya itu sunyi dalam jawaban.
Pesan pokok terpenting, perlu dibenahi persepsi bahwa kekuasaan itu tidak anti kritik, bahkan lebih jauh lagi harus siap untuk berhadapan dengan kritik publik.
Sensitivitas kekuasaan dipakai bukan untuk memberangus kritik, melainkan berfokus pada solusi atas pokok pikiran yang termuat di dalam kritik publik, melalui bukti kinerja.
Mistifikasi kekuasaan seolah menjadi ruang yang tidak pernah berlaku salah, seakan menyangkal bila pada banyak kasus kursi kekuasaan memang seringkali berkebalikan dari kehendak publik.
Suara publik bukan hanya dihitung sebagai jumlah suara dalam kontestasi pemilu semata, melainkan juga pada soal pengambilan kebijakan yang terkait dengan hajat publik itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kita memang ada dalam labirin informasi, dan peta jalan keluarnya dapat dibentuk bila pintu komunikasi semakin terbuka, publik dapat bersuara dan kekuasaan mampu mendengarkan!