Medan Ilmiah dan Kemanusiaan Vaksin Covid-19

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
20 Agustus 2020 21:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Tahap akhir. Uji coba vaksin Covid-19 sudah memasuki periode puncak. Fase ketiga sedang dilakukan, untuk mendapatkan konsistensi hasil positif yang ditujukan untuk menangkal virus.
ADVERTISEMENT
Dunia sedang menunggu datangnya kepastian vaksin. Di saat yang bersamaan, seluruh negara juga tengah berupaya keras untuk menemukan formula vaksin yang tepat sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Segera setelah vaksin berhasil ditemukan, tantangan besar sudah menanti. Terkait proses produksi hingga distribusi. Tentu yang paling krusial adalah tahap vaksinasi itu sendiri, siapa yang akan didahulukan? Bagaimana teknisnya?
Pertanyaan itu masih menggantung, harus segera diselesaikan. Fokus dari target pencapaian jangka pendek, adalah menuntaskan kepastian produk vaksin yang ampuh dalam mengalahkan virus. Menjadi penyambung harapan.
Persoalan yang akan muncul kemudian merujuk pada perbedaan kapasitas akses produk vaksin, terlebih ada kemungkinan potensi nasionalisme vaksin. Hal itu sudah diperingatkan Dr Tedros Adhanom, Dirjen WHO tentang potensi konflik yang akan terjadi, bila vaksin dipergunakan dalam kerangka nasionalisme sempit.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya, pandemi adalah masalah dunia, menjadi persoalan bersama umat manusia di muka bumi, sudah seharusnya vaksin menjadi penawar dari penularan wabah, yang dapat berlaku global dan dipergunakan bagi semua.
Perlombaan Riset
Pada bagian akhir riset vaksin, maka uji klinis tahap ketiga menjadi hal yang paripurna, terkait dengan dua hal penting; (i) keamanan vaksin, dan (ii) efektivitas vaksin. Tentu dibutuhkan kaidah ilmiah yang berbasis ilmu pengetahuan, dengan penekanan pada etika kemanusiaan.
Sebelumnya, Rusia menjadi negara paling awal dalam klaim keberhasilan temuan virus Covid-19 bernama Sputnik V, nama tersebut identik dengan satelit pertama dunia asal Moscow. Hal ini pula yang seolah mencoba mengembalikan memori dunia, tentang kemampuan teknologi negara beruang merah tersebut.
ADVERTISEMENT
Problemnya tidak berhenti disitu, informasi yang tertutup terkait penelitian vaksin asal Rusia menimbulkan banyak pertanyaan. Ruang gelap informasi ilmiah mengenai Sputnik V, mengingatkan kita pada kasus The Lancet, jurnal ilmiah terkemuka yang kecolongan hasil penelitian bodong terkait model pengobatan Covid-19, yang lolos tanpa proses peer review dari para pakar dan peneliti lain.
Geliat riset serupa juga terjadi di dalam negeri, yang lebih maju adalah kerjasama BioFarma dan Sinovac. Selain itu, perusahaan Kalbe Farma juga menjajaki kerjasama dengan Genexine, Korea Selatan. Termasuk juga penelitian vaksin merah putih yang dijalin melalui kerjasama BioFarma dengan lembaga Eijkman. Berbagai ikhtiar itu tentu memunculkan harapan, tetapi menyebut periode pasti pelaksanaan vaksinasi, tanpa evaluasi hasil uji klinis jelas kesalahan.
ADVERTISEMENT
Salah satu negara yang paling agresif dalam memburu hasil penelitian vaksin adalah negeri Paman Sam, dengan menggelontorkan dana baik bertindak sebagai sponsor penelitian, maupun melakukan reservasi hak istimewa untuk pembelian pertama, bila vaksin memulai tahap produksi. Hal ini yang disebut filsuf Slavoj Zizek sebagai barbarisme.
Nasionalisme vaksin, memungkinkan terjadinya potensi konflik pasca pandemi. Termasuk menjadikan vaksin sebagai alat diplomasi dalam kerangka relasi global. Dalam kondisi tersebut, kemampuan untuk bersikap mandiri, sesuai prinsip Berdikari ala Bung Karno perlu kembali diteguhkan. Sembari tetap melakukan penjajakan peluang kolaborasi dalam kerangka kerjasama global.
Terjerumus Sains Semu
Kepanikan publik disebabkan ketidakpastian durasi masa pandemi, mengakibatkan terjadinya tekanan psikologis. Kelelahan mental, untuk terus berdisiplin dalam membatasi interaksi sosial secara fisik, mengakibatkan publik kerap menerima tanpa daya informasi yang keliru.
ADVERTISEMENT
Klaim atas produk herbal anti Corona ala Hadi Pranoto, hingga kalung anti virus baik yang di import maupun hasil produksi berbasis aromatik eukaliptus, adalah bentuk-bentuk dari respon sains yang bersifat setengah dan belum utuh.
Termasuk untuk hal yang sejenis terkait hasil penelitian obat yang diinisiasi perguruan tinggi nasional, bekerjasama dengan beberapa lembaga negara, yang mendapatkan beberapa catatan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan -BPOM, terkait kelengkapan proses penelitian yang dilalui.
Dalam situasi penuh ketidakpastian akibat pandemi, tetap dibutuhkan pencerahan rasionalitas melalui prinsip ilmiah ilmu pengetahuan yang berbasis bukti yang teruji, dan mampu direplikasi. Sehingga dibutuhkan proses yang transparan, dilengkapi prinsip etik dari kejujuran sebuah penelitian dengan kredo, "boleh salah, tetapi tidak boleh berbohong".
ADVERTISEMENT
Terlebih bila sebuah penelitian dilakukan dengan penuh tekanan, bahkan intervensi kekuasaan serta upaya manipulasi. Pernah pada masa Soviet, kita mengenal kegagalan sistem pertanian Lysenko, yang menyatakan kekuatan dari kerapatan sosial, lantas diterapkan secara ideologis pada bidang pertanian, hasilnya krisis pangan karena mengingkari prinsip ilmiah.
Karena itu pula Dr Tedros sang Dirjen WHO mengemukakan pokok fundamental dari sebuah penelitian ilmiah dalam upaya penemuan vaksin, yakni; (i) berbasis ilmu pengetahuan -science, (ii) menghadirkan pemecahan masalah -solution, dan (iii) mengembangkan solidaritas dan sikap bekerjasama -solidarity, ke semua hal tersebut semestinya ditempatkan bersamaan demi kebaikan bersama seluruh umat manusia tanpa terkecuali. "We do it best, when we do it together".